Berita

Yusril Ihza Mahendra/Net

Wawancara

WAWANCARA

Yusril Ihza Mahendra: Gugatan Soal Cawapres, Kita Serahkan Sepenuhnya Ke Mahkamah Konstitusi...

JUMAT, 27 JULI 2018 | 09:00 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Bersama Andi Irman Putrasidin, bos Partai Bulan Bintang (PBB) ini masuk barisan tim kuasa hukum Wapres Jusuf Kalla (JK) yang sebelumnya mengajukan diri menjadi pihak terkait dalam gugatan uji ma­teri terhadap pasal 169 huruf n Undang-Undang Pemilu yang membatasi masa jabatan presi­den dan wapres dua periode.

Seperti diketahui, gugatan uji materi terhadap pasal 169 Undang-Undang Pemilu itu sebelumnya diajukan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Alih-alih Perindo mengajukan gugatan, katanya, partai besutan pengusaha Hary Tanoesodibjo itu berniat mengusung JK men­jadi bakal cawapres.

Nah, saat di persidangan awal pemeriksaan pada Rabu (19/7), Hakim MK Wahiduddin Adams meminta Partai Perindo mem­pertegas dukungannya terlebih dulu kepada JK sebagai bakal cawapres. Hal itu, menurut Hakim Wahiduddin sebagai bagian memperkuat dalil keru­gian konstitusional yang diderita penggugat. Dari situ JK baru terpanggil untuk menjadi pihak terkait dalam uji materi tersebut. Berikut ini pandangan Yusril Ihza Mahendra terkait gugatan tersebut.

Bagaimana ceritanya Anda masuk dalam barisan tim kuasa hukum Wapres Jusuf Kalla yang menjadi pihak terkait dalam gugatan uji materi tentang masa jabatan presiden dan wapres?
Begini ceritanya, Pak JK me­minta bantuan saya untuk mem­perkuat tim yang sudah ditun­juk, yang dipimpin Pak Irman Putrasidin. Setelah berdiskusi dengan Pak JK saya menyata­kan bersedia untuk memperkuat tim yang telah dibentuk.

Menurut Anda tafsir pasal 169 huruf n Undang-Undang Pemilu itu seperti apa?

Terkait hal itu saya berpenda­pat, dalam UUD 1945 memang menyatakan presiden dapat memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Nah yang tersisa dari gugatan Pak JK itu adalah apakah itu maknanya berturut-turut dua kali, ataukah tidak berturut-turut. Sampai hari ini penafsiran tentang itu masih simpang siur. Aturan yang te­gas itu baru tentang pilkada. Pada aturan pilkada dikatakan, bahwa calon kepala daerah tidak boleh mencalonkan diri kembali kalau sudah dua kali menjabat. Baik berturut-turut maupun tidak bertutut-turut, baik itu di tempat yang sama maupun di tempat berbeda juga tidak boleh.

Tapi buat masa jabatan presiden dan wakil presiden belum ada aturannya.

Jadi Anda melihat ada perbedaan mendasar antara aturan masa jabatan presiden-wapres dengan kepala daerah. Bukankah kedua jabatan itu sama-sama jabatan politik. Bagaimana itu?
Bisa saja ada aturan yang berbeda. Seperti misalnya salah satu syarat jadi anggota DPR itu sebelumnya tidak boleh terlibat dalam G30/S. Aturan itu kemudian dibatalkan oleh MK. Tapi dalam undang-undang tentang kementerian negara ada syarat serupa. Aturan tersebut menyatakan calon menteri tidak boleh terlibat G30/S. Artinya standar untuk jadi anggota DPR dengan jadi menteri itu ternyata berbeda. Jadi bisa saja nanti ada putusan MK yang menyatakan, dua kali berturut-turut atau tidak berturut-turut hanya berlaku bagi kepala daerah, tapi tidak presiden dan wakil presiden.

Tapi sebagian kalangan menilai tafsir konstitusi yang Anda utarakan tadi kental sekali nuansa politiknya. Bagaimana Anda menanggapi pandangan itu?
Jadi saya katakan (terkait gugatan ini) kita serahkan saja bagaimana putusan MK nanti kami terima. Jadi saya betul-betul bersedia menangani ini, karena bertindak sebagai lawyer, bukan politisi.

Saya tidak mempertimbang­kan aspek politiknya. Jadi janganada tafsiran aneh-aneh. Bahwa kemudian nanti Pak JK dipasangkan kembali sebagai wakil presiden itu saya tidak ikut campur. Itu masalah politik beliau. Saya hanya mengurusi persoalan legal semata.

Beberapa waktu lalu ada dua LSM mengajukan gugatan terhadap pasal yang sa­ma, namun ditolak oleh MK. Terkait gugatan Perindo yang menjadikan Wapres JK seba­gai pihak terkait apakah Anda melihat celah untuk menang?
Ada saja. Kan seperti yang sa­ya jelaskan sebelumnya. Bahwa kemudian setelah dikabulkan be­liau maju lagi sebagai cawapres, itu bukan urusan saya.

Kalau JK boleh maju seba­gai bakal cawapres setelah dua kali menempati posisi wapres, apakah ada kemungkinan jika gugatan ini dikabulkan nanti berarti SBY bisa maju lagi dong sebagai capres?
Tidak, karena beliau sudah jelas dua kali berturut-turut. Kalau dua kali berturut-turut itu sudah pasti tidak. Tapi kalau tiga kali tapi tidak berturut-turut itu masih ada kemungkinan.

Semangat dari aturan itu kan agar ada regenerasi kepemimpinan. Apa tanggapan Anda terkait hal ini?
Saya juga berfikir seperti itu. Makanya perubahannya hanya untuk membatasi masa jabatan. Tapi ini sudah jadi persoalan konstitusi, maknanya apakah berturut-turut atau tidak. Itu yang bisa di utak-atik dalam permohonan Pak JK ini. Tapi kalau sudah berturut-turut sudah pasti tidak bisa lagi.

Tapi maju laginya sebagai capres bisa?
Kalau jadi capres enggak masalah. Pak SBY sama Pak Boediono misalnya. Pak SBY kan sudah dua kali berturut-turut jadi presiden. Kalau dia maju lagi tapi jadi wapres enggak dilarang.

Oh ya ngomong-ngomong Anda sebagai Ketum PBB apakah sudah memutuskan akan mendukung capres yang mana dalam Pemilu 2019 nanti?
PBB sampai hari ini belum ambil keputusan. Jadi kami memang diundang ke sekretariat bersama partai-partai itu, tapi PBB sampai hari ini belum me­nyatakan diri masuk ke koalisi. Karena bagi kami masuk ke koalisi, apalagi mendukung seseorang sebagai presiden itu harus ada pembicaraan yang jelas.

Harus ada negosiasi yang jelas terlebih dahulu. Pengalaman kami selama ini karena terlalu ikhlas, karena terlaku baik ya begitu. Tidak ada deal, tidak ada kesepakatan tiba-tiba ditarik ke sana.

Tapi sudah ada yang ngajak untuk koalisi belum?
Oh iya sudah ada, kan saya diundang resmi untuk meng­hadiri rapat koalisi, katanya koalisi antara PAN, PKS, PBB, kemudian Partai Berkarya. Kami merasa diundang dalam rapat, jadi kami datang saja. Tapi kami tidak membentuk sebuah koalisi, ataupun menjadi bagian dari koalisi itu. ***

Populer

Fenomena Seragam Militer di Ormas

Minggu, 16 Februari 2025 | 04:50

Asian Paints Hengkang dari Indonesia dengan Kerugian Rp158 Miliar

Sabtu, 15 Februari 2025 | 09:54

Bos Sinarmas Indra Widjaja Mangkir

Kamis, 13 Februari 2025 | 07:44

PT Lumbung Kencana Sakti Diduga Tunggangi Demo Warga Kapuk Muara

Selasa, 18 Februari 2025 | 03:39

Temuan Gemah: Pengembang PIK 2 Beli Tanah Warga Jauh di Atas NJOP

Jumat, 14 Februari 2025 | 21:40

Pengiriman 13 Tabung Raksasa dari Semarang ke Banjarnegara Bikin Heboh Pengendara

Senin, 17 Februari 2025 | 06:32

Dugaan Tunggangi Aksi Warga Kapuk Muara, Mabes Polri Diminta Periksa PT Lumbung Kencana Sakti

Selasa, 18 Februari 2025 | 17:59

UPDATE

Kejanggalan LHKPN Wakil DPRD Langkat Dilapor ke KPK

Minggu, 23 Februari 2025 | 21:23

Jumhur Hidayat Apresiasi Prabowo Subianto Naikkan Upah di 2025

Minggu, 23 Februari 2025 | 20:56

Indeks Korupsi Pakistan Merosot Kelemahan Hampir di Semua Sektor

Minggu, 23 Februari 2025 | 20:44

Beban Kerja Picu Aksi Anggota KPU Medan Umbar Kalimat Pembunuhan

Minggu, 23 Februari 2025 | 20:10

Wamenag Minta PUI Inisiasi Silaturahmi Akbar Ormas Islam

Minggu, 23 Februari 2025 | 20:08

Bawaslu Sumut Dorong Transparansi Layanan Informasi Publik

Minggu, 23 Februari 2025 | 19:52

Empat Negara Utama Alami Krisis Demografi, Pergeseran ke Belahan Selatan Dunia, India Paling Siap

Minggu, 23 Februari 2025 | 19:46

Galon Polikarbonat Bisa Sebabkan Kanker? Simak Faktanya

Minggu, 23 Februari 2025 | 19:34

Indra Gunawan Purba: RUU KUHAP Perlu Dievaluasi

Minggu, 23 Februari 2025 | 19:31

Kolaborasi Kunci Keberhasilan Genjot Perekonomian Koperasi

Minggu, 23 Februari 2025 | 19:13

Selengkapnya