NAMA saya dr. Nella Erika, saya lulus sebagai dokter umum dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1998.
Pada akhir tahun 2000 saya mengikuti tes seleksi masuk Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Kebidanan dan Kandungan (Obstetri dan Ginekologi) di almamater saya dan lolos seleksi yang terdiri dari tes ujian teori tertulis, tes TOEFL, psikotes dan wawancara.
Kemudian saya mulai mengikuti pendidikan dokter spesialis Kebidanan dan Kandungan pada 1 Januari 2001. Namun di dalam program pendidikan tersebut berlaku sistem feodalisme seperti layaknya STPDN Jatinangor dahulu namun bukan dalam bentuk fisik, di mana mahasiswa senior berkuasa atas mahasiswa yang lebih yunior. Bahkan bentuk feodalisme tersebut bisa dikatakan berupa bullying atau persekusi. Misalnya mahasiswa yunior tidak boleh membantah/menjawab perkataan mahasiswa senior.
Saya termasuk mahasiswa yang menentang sistem feodalisme di lingkungan PPDS Obgin FKUI karena tidak selayaknya program pendidikan setingkat S2 apalagi menyandang nama besar Universitas Indonesia memberlakukan sistem feodalisme yang ketinggalan zaman.
Kampus adalah tempat orang beradu argumentasi dan saling berbantahan secara bebas bukan tempat melakukan persekusi jika berbeda pendapat atau argumentasi. Tetapi akibat menentang sistem feodalisme tersebut saya dihujani berbagai fitnah oleh mahasiswa senior yang disampaikan kepada dosen dan ketua Program Studi.
Di dalam sistem akademik resmi pada program pendidikan dokter spesialis Obgin tersebut dikenal sistem kartu seperti halnya permainan sepakbola. Di dalam Buku Panduan Program Pendidikan Dokter Obstetri & Ginekologi FKUI tahun 1996 tercantum pada halaman 100 huruf G, Butir (a) nomor 4 menyatakan: "Setiap kali peserta PPDS melakukan kesalahan, akan diberikan surat peringatan di atas kertas berbeda warna (misalnya warna biru, kuning atau merah), sesuai dengan derajat kesalahan yang dilakukan. Warna biru untuk kesalahan yang sifatnya ringan, warna kuning untuk kesalahan sedang dan warna merah untuk kesalahan berat."
Pemberian Surat Peringatan (Kartu) ini harus disahkan melalui Rapat Pendidikan. Bahwa selama saya mengikuti pendidikan dokter spesialis Obgin FKUI tersebut saya tidak pernah mendapatkan Surat Peringatan (Kartu) baik yang berwarna biru, kuning ataupun merah. Salah satu contoh mahasiswa yang mendapatkan Surat Peringatan di atas kertas berbeda warna (Kartu) tercantum dalam Berita Acara rapat tanggal 11 Desember 2001 bagian 'Masalah PPDS - dr. AG (nama inisial) (tahap IIC). Melakukan kesalahan tidak mengeksplorasi adnexa saat diseksio yang ternyata terdapat kista ovarium. Diberikan kartu biru dan menulis karya ilmiah mengenai kista dalam kehamilan dinilai oleh Prof. Gulardi.'
Pada akhir bulan Agustus 2003 saya dipanggil oleh ketua Program Studi. Saat itu saya diberi sebuah kertas bermaterai dan diminta untuk menandatanganinya. Surat tersebut berjudul 'Surat Perjanjian' yang isinya menyatakan bahwa saya ditetapkan di dalam Rapat Staf tanggal 22 Agustus 2003 untuk mengikuti bimbingan khusus yang ketiga kali dan jika setelah mengikuti bimbingan khusus tersebut saya dinyatakan tidak layak melanjutkan pendidikan maka saya harus mengundurkan diri secara sukarela.
Saya terkejut dengan surat tersebut karena bimbingan khusus adalah salah satu tahap dalam memberhentikan pendidikan mahasiswa, sedangkan selama saya menjadi mahasiswa PPDS Obgin FKUI tidak pernah mendapatkan Kartu. Artinya saya tidak pernah melakukan kesalahan/pelanggaran. Apalagi dalam surat perjanjian tersebut dinyatakan bimbingan khusus ketiga artinya sebelumnya ada bimbingan khusus ke satu dan kedua.
Karena saya tidak pernah menerima Kartu (Surat Peringatan) maka saya merasa heran jika ditetapkan mendapatkan bimbingan khusus ketiga juga ke satu dan kedua sebelumnya. Karena bagi saya bimbingan sebelumnya yang saya ikuti bukan merupakan bimbingan khusus yang merupakan bentuk hukuman apabila seorang mahasiswa melakukan kesalahan dan akan diberhentikan sebagai mahasiswa PPDS Obgin FKUI.
Karena keheranan tersebut lalu saya meminta klarifikasi kepada Ketua Program Studi atas dasar apa saya ditetapkan mengikuti bimbingan khusus ketiga, kedua dan ke satu. Tetapi yang saya dapatkan bukan klarifikasi tapi intimidasi dari ketua Program Studi yang memaksa saya untuk menandatangani surat perjanjian tersebut.
Kemudian pada tanggal 2 September 2003, ketua Program Studi memberikan surat pemberhentian saya sebagai mahasiswa PPDS Obgin FKUI. Surat tersebut menjadi dasar Surat Keputusan Rektor No.095/SK/R/UI/2004 tanggal 16 Februari 2004 yang memberhentikan pendidikan saya. Pada tahun 2004 setelah saya mendapatkan SK Rektor tersebut saya mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pada pengadilan tingkat pertama dan kedua gugatan saya tidak dikabulkan. Kemudian saya mengajukan kasasi di Mahkamah Agung. Pada saat Kasasi tahun 2006 saya meminta hak saya kepada pihak Universitas Indonesia atas transkrip akademik yang telah saya ajukan sejak tahun 2003 namun tidak pernah diberikan kepada saya. Akhirnya pihak UI pada tanggal 27 Maret 2006 memberikan transkrip akademik kepada saya.
Namun kembali saya terkejut melihat transkrip akademik yang saya terima karena terdapat catatan akademik yang isinya menempatkan saya seolah-olah telah melakukan banyak kesalahan/pelanggaran. Padahal faktanya selama saya menjadi mahasiswa Obgin FKUI tidak pernah menerima Kartu (Surat Peringatan) baik berwarna biru, kuning ataupun merah.
Kemudian dr. Agus Purwadianto, SH, SpF, Msi, DFM melalui kuasa hukum saya saat itu menyampaikan pesan jika saya ingin mendapatkan nilai transkrip akademik tanpa berisi catatan akademik maka saya harus mencabut terlebih dahulu gugatan Kasasi di Mahkamah Agung. Karena begitu pentingnya pendidikan bagi saya yang akan menggunakan transkrip akademik tersebut untuk pindah ke universitas lain, maka dengan sangat terpaksa saya mencabut gugatan kasasi di Mahkamah Agung.
Kemudian pada tahun 2015, saya kembali membuka seluruh dokumen berkaitan pemberhentian saya sebagai mahasiswa Obgin FKUI dan menemukan berbagai dugaan tindak pidana dalam proses pemberhentian saya. Sehingga akhirnya saya membuat laporan polisi di Polda Metro Jaya melalui Laporan Polisi Nomor LP/1531/IV/2015/PMJ/Piket Dit Reskrimum tanggal 22 April 2015 yaitu melaporkan Dr. dr. Soegiharto Soebijanto, SpOG (K) atas dugaan tindak pidana Pemalsuan sebagaimana pasal 263 KUHPidana yaitu membuat surat nomor: 201/PT.02.FK.09/I/’03 tanggal 2 September yang menjadi dasar Rektor Universitas Indonesia memberhentikan pendidikan saya melalui Surat Keputusan Rektor nomor 095/SK/R/UI/2004 tanggal 16 Februari 2004.
Surat yang dibuat Dr. dr. Soegiharto Soebijanto, SpOG (K) tersebut diduga mengandung keterangan-keterangan tidak benar atau palsu dengan uraian dan bukti sebagai berikut:
Perihal: Pengunduran Diri atas nama dr. Nella Erika, padahal faktanya saya tidak pernah menyatakan mengundurkan diri baik secara lisan maupun tertulis sebagaimana dimaksud surat nomor: 201/PT.02.FK.09/I/’03 tanggal 2 September 2003 tersebut serta selama persidangan di PTUN pihak UI tidak bisa membuktikan atau menunjukkan surat yang menyatakan bahwa saya telah mengajukan pengunduran diri;
Dalam surat nomor tersebut menyatakan Perihal : Pengunduran Diri atas nama dr. Nella Erika, sedangkan faktanya isi dari surat dimaksud “diberhentikan atau dipecat.â€
Bahwa Dr. dr. Soegiharto Soebijanto, SpOG menyatakan pengunduran diri saya dengan cara memanipulasi atau mengubah hasil keputusan rapat staf tanggal 22 Agustus 2003. Sedangkan menurut Berita Acara Rapat Staff Bagian Obstetri Ginekologi 22 Agustus 2003 rapat tersebut yang dipimpin oleh dr. Wachyu Hadisaputra, SpOG selaku Sekretaris Program Studi dan dr. Kanadi Sumapraja, SpOG selaku notulen rapat tidak menyatakan memberhentikan pendidikan melainkan memberikan bimbingan kepada saya;
Surat yang diduga palsu tersebut menyatakan
attitude saya buruk. Sedangkan fakta objektifnya tertera dalam Transkrip Akademik yaitu dalam hal Sikap (S) dengan kata lain yaitu
attitude, Pengetahuan (P) ataupun Keterampilan (K) seluruhnya memiliki nilai rata-rata di atas angka 65 atau termasuk kategori “Lulus†dan tidak ada satupun nilai tersebut termasuk dalam kategori “Buruk†(Buruk = angka 1-39 menurut Buku Panduan Program Pendidikan Dokter Obstetri & Ginekologi FKUI tahun 1996 di halaman 92);
Surat yang diduga palsu tersebut menyatakan bahwa saya sudah dua kali mendapat peringatan. Padahal faktanya saya tidak pernah mendapat Surat Peringatan (Kartu). Selama persidangan,PTUN pihak UI tidak pernah bisa menunjukkan/membuktikan adanya Kartu kepada saya.
Bahkan pihak UI mengakui sendiri bahwa saya tidak pernah mendapat Surat Peringan (Kartu) yaitu tercantum dengan jelas pada surat JAWABAN TERHADAP GUGATAN No. 085/G.TUN/2004/PTUN-JKT antara Rektor Universitas Indonesia sebagai Tergugat melawan dr. Nella Erika sebagai Penggugat tanggal 12 Juli 2004 halaman 4 nomor 7: “Bahwa dalam hal ini Penggugat telah mendapatkan peringatan dari Ketua Program Studi, meskipun peringatan tersebut tidak diberikan dalam bentuk tertulis...dst.â€
Peringatan yang berlaku di PPDS Obgin FKUI adalah Surat Peringatan (Kartu) yang bentuknya seperti yang tertera dalam Buku Panduan Program Pendidikan Dokter Obstetri & Ginekologi FKUI tahun 1996 di halaman 103;
Surat yang diduga palsu tersebut menyatakan saya sudah dua kali mendapatkan bimbingan khusus. Padahal faktanya saya bukan mahasiswa yang memenuhi kriteria mendapat bimbingan khusus, karena saya tidak pernah melakukan kesalahan/pelanggaran yang dinyatakan dalam bentuk Kartu.
Surat yang diduga palsu tersebut menyatakan Rapat Pendidikan tanggal 1 Agustus 2003 menghasilkan keputusan menghentikan proses pendidikan saya, sedangkan berdasarkan Buku Panduan Program Pendidikan Dokter Obstetri & Ginekologi FKUI tahun 1996 halaman 104 menyatakan bahwa yang memutuskan penghentian pendidikan adalah Rapat Staf bukan Rapat Pendidikan. Selama di persidangan di PTUN pihak UI tidak pernah menunjukkan berita acara Rapat Pendidikan tanggal 1 Agustus 2003 tersebut;
Dr. dr. Soegiharto Soebijanto, SpOG, selaku Ketua Program Studi PPDS Obsgin FKUI sebagai pribadi dengan jabatannya tersebut tidak memiliki kewenangan untuk memberhentikan mahasiswa. Yang berhak memberhentikan pendidikan mahasiswa adalah Rapat Staf sebagaimana tercantum pada Buku Panduan Program Pendidikan Dokter Obstetri & Ginekologi FKUI tahun 1996 di halaman 99 bagian F nomor 4c butir nomor 1 menyatakan : “Diputuskan atas dasar hasil penilaian setelah pembahasan tuntas dalam rapat staf pengajarâ€. Kemudian dipertegas pada halaman 104 tentang butir A nomor 3 tentang Rapat Staf Bagian Obstetri & Ginekologi FKUI/RSUPNCM yaitu “Keputusan tentang penghentian pendidikan oleh rapat ini harus dinilai tuntas (final)â€;
Dr. dr. Soegiharto Soebijanto, SpOG mengakui sendiri telah mengubah hasil keputusan rapat staf tanggal 22 Agustus 2003. Pengakuan tersebut dinyatakan dalam surat nomor 201A/PT.02.FK.09/I/’03 tanggal 10 September 2003 (“....akan tetapi surat pemberhentian pendidikan ybs sudah dikirim ke Dekan. Mohon tanggapan dari Kepala Bagian dan para Pembimbing mengenai hal ini.â€). Surat tersebut merupakan pengakuan bahwa tindakan pemecatan saya adalah tindakan pribadi Dr. dr. Soegiharto Soebijanto, SpOG tetapi mengatasnamakan lembaga (institusi) dan sekaligus memohon dukungan atas tindakannya merubah hasil keputusan rapat staf tanggal 22 Agustus 2003 secara sewenang-wenang. Karena jika rapat staf yang bersifat final (tuntas) memberhentikan pendidikan saya maka Dr. dr. Soegiharto Soebijanto, SpOG tidak perlu bertanya atau meminta tanggapan lagi kepada seluruh staf.
Selain itu jika Rapat Staf tanggal 22 Agustus 2003 memberhentikan pendidikan saya maka tidak perlu ada surat perjanjian tanggal 25 Agustus 2003 karena “Keputusan tentang penghentian pendidikan oleh rapat ini harus dinilai tuntas (final)â€, sehingga setelah keputusan penghentian pendidikan yang bersifat tuntas (final) maka tidak ada lagi segala bentuk kegiatan atau proses pendidikan seperti halnya bimbingan khusus;
Bahwa surat nomor: 201/PT.02.FK.09/I/’03 tanggal 2 September 2003 yang diduga memuat keterangan palsu inilah yang diteruskan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia melalui surat No. 111/PT.02H4.FK/02/ 2004 tanggal 12 Januari 2004 kepada Rektor Universitas Indonesia yang kemudian menjadi dasar terbitnya Keputusan Rektor Universitas Indonesia No. 095/SK/R/UI/2004 tanggal 16 Februari 2004 yang memberhentikan pendidikan saya dan melahirkan objek perkara di PTUN;
Dr. dr. Soegiharto Soebijanto, SpOG juga diduga membuat surat keterangan palsu lainnya yaitu surat Kronologis Ketua Program Studi yang dijadikan Bukti T-13 di sidang PTUN tahun 2004. Kronologis tersebut dinyatakan dalam surat AKTA BUKTI TAMBAHAN TERGUGAT perkara No. 085/G.TUN2004/PTUN.JKT tanggal 23 Agustus 2004 butir no. 3 tentang T-13. Dalam Akta Bukti Tambahan tersebut dinyatakan, “Kronologis kasus ini menguraikan kesalahan yang dilakukan oleh Penggugat yang kemudian dikonfersikan dalam bentuk kartu serta tahapan Bimbingan Khusus yang diberikan untuk Penggugat.â€
Dalam kronologis tersebut Dr. dr. Soegiharto Soebijanto, SpOG menyatakan bahwa saya mendapat sembilan Surat Peringatan (Kartu) berwarna kuning dan satu Kartu Merah. Sedangkan faktanya saya tidak pernah mendapat Kartu dan sudah diakui oleh pihak UI seperti yang telah saya terangkan sebelumnya. Di sidang PTUN pihak UI tidak bisa membuktikan adanya 9 Kartu warna kuning dan 1 Kartu warna merah yang diberikan kepada saya.
Kemudian saya membuat laporan polisi atas dugaan tindak pidana Pemalsuan ke Polda Metro Jaya dengan Terlapor Dr. dr. Soegiharto Soebijanto, SpOG tanggal 22 April 2015 melalui Laporan Polisi Nomor LP/1531/IV/2015/PMJ/Piket Dit Reskrimum. Namun penyidikan tersebut dihentikan pada November 2016 oleh pihak Polres Metro Jakarta Timur dengan alasan tidak cukup bukti. Bahkan surat ketetapan SP3 tidak pernah diberikan kepada saya sampai saat ini.
Saya menduga penyidik tidak profesional dalam proses penyidikan tersebut dikarenakan bukti-bukti surat yang saya serahkan begitu banyak, gamblang dan jelas, serta bukti-bukti surat tersebut dibuat oleh pihak UI sendiri dan telah dijadikan bukti selama persidangan di PTUN. Sehingga jika pihak kepolisian mengatakan tidak cukup bukti maka hal ini menimbulkan pertanyaan bagi saya karena ada minimal 10 bukti surat yang dijadikan bukti yaitu:
1. Surat nomor surat nomor : 201/PT.02.FK.09/I/’03 tanggal 2 September 2003 yang dibuat oleh Dr. dr. Soegiharto Soebijanto, SpOG yang diduga palsu,
2. Berita Acara (Notulen) Rapat tanggal 22 Agustus 2003,
3. Surat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia kepada Rektor Universitas Indonesia tanggal 12 Januari 2004 No. 111/PT.02H4.FK/02/2004 yang meneruskan surat nomor : 201/PT.02.FK.09/I/’03 tanggal 2 September 2003 yang diduga palsu,
4. Surat Keputusan Rektor Universitas Indonesia No. 095/SK/R/UI/2004 tanggal 16 Februari 2004 yang didasari oleh surat Dekan dan surat nomor : 201/PT.02.FK.09/I/’03 tanggal 2 September 200 yang diduga palsu,
5. Surat nomor 201A/PT.02.FK.09/I/’03 tanggal 10 September 2003 yang isi suratnya berupa pengakuan Dr. dr. Soegiharto Soebijanto, SpOG telah membuat surat nomor : 201/PT.02.FK.09/I/’03 tanggal 2 September 200 yang pemberhentian saya (surat yang diduga palsu),
6. Akta Daftar Bukti pihak UI tanggal 2 Agustus 2004 yang menyatakan surat nomor nomor : 201/PT.02.FK.09/I/’03 tanggal 2 September 2003 yang diduga palsu sebagai alat bukti yang diajukan oleh pihak UI di PTUN
7. Jawaban, Duplik, dan Kesimpulan pihak UI di sidang di PTUN serta keputusan hakim yang mencantumkan surat yang diduga palsu dalam pembahasan-pembahasannya.
8. Pada tahun 2016 saya mengadukan kinerja penyidik Polres Jakarta Timur kepada Kapolri, Biro Wassidik Mabes Polri, Kapolda Metro Jaya, Irwasda Polda Metro Jaya, Propam Mabes Polri, Propam Polda Metro Jaya, Kompolnas, Komisi III DPR RI, dan Ombudsman.
Dari semua pengaduan saya tidak ada satupun institusi tersebut yang menjawab berupa kesimpulan atas pengaduan saya mengenai ada tidaknya unsur ketidakprofesionalan penyidik dalam menangani perkara saya. Sedangkan saat ini saya sedang mendaftarkan sengketa kepada Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia untuk mendapatkan Surat Ketetapan SP3 atas Laporan Polisi Nomor LP/1531/IV/2015/PMJ/Piket Dit Reskrimum tanggal 22 April 2015 yang dihentikan penyidikannya oleh pihak kepolisian.
10. Selain itu saya juga membuat laporan polisi nomor : LP/3721/VIII/2016/PMJ/Dit. Reskrimum tertanggal 04 Agustus 2016 dengan Terlapor Profesor dr. Endy M. Moegni, SpOG yang membuat Surat Nomor : 233/PT.02.FK.35/VI/2007 tanggal 13 Juni 2007 yang ditujukan kepada Profesor Arifuddin Djuanna,SpOG selaku Ketua Departemen Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar yang isi surat tersebut menyatakan saya seolah-olah buruk selama menjalani pendidikan di PPDS Obgin FKUI yaitu: "Bersama ini kami sampaikan bahwa dr. Nella Erika merupakan salah satu peserta PPDS Obsgin FKUI pada periode 1 Januari 2001 s/d 31 Juli 2003 (tahap I s/d tahap IIC). Yang bersangkutan sudah tidak menjalani pendidikan sejak 3 September 2003. Hal ini dikarenakan yang bersangkutan kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan berakibat pada proses pendidikan yang bersangkutan untuk lebih berkembang sehingga mempengaruhi performance yang bersangkutan sebagai peserta didik.â€
Sehingga diduga sebab ditolaknya saya oleh Profesor dr. Arifuddin Djuana, SpOG untuk melanjutkan pendidikan di bagian Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin Makasar disebabkan surat yang dibuat oleh Prof. dr. Endy M. Moegni, SpOG (K) tersebut.
Berdasarkan Surat Nomor B-6759/O.1.1/Epp.1/09/2016 tertanggal 30 September 2016 yang diterbitkan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menerangkan bahwa Prof. dr. Endy M. Moegni, SpOG (K) telah dinyatakan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana Pencemaran Nama Baik dan Fitnah. Namun sudah dua tahun proses penyidikannya oleh Polda Metro Jaya sampai saat ini masih jalan di tempat.
11. Pada Desember 2017 saya telah mengajukan permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung melalui PTUN mengenai Surat Keputusan Rektor Universitas Indonesia yang memberhentikan pendidikan saya dari PPDS Obgin FKUI. Saat ini saya masih menunggu keputusan Mahkamah Agung atas permohonan Peninjauan Kembali tersebut.
12. Pada tanggal 6 Juni 2018 saya juga mengajukan permohonan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap Universitas Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan saat ini sedang menunggu proses selanjutnya yaitu panggilan sidang.
[***]
dr. Nella Erika
Alamat dan nomor kontak penulis ada pada redaksi