AKHIR-AKHIR ini muncul perdebatan bahkan pro-kontra terutama di media sosial tentang gagasan "Islam Nusantara". Sebagian besar baik para pendukung maupun penentangnya tidak melandasinya dengan argumen ilmiah berdasarkan pendekatan disiplin ilmu tertentu, bahkan lebih banyak menggunakan narasi yang saling mengolok-olok. Akibatnya, yang muncul justru perpecahan dan keretakan baru yang semakin memecah-belah ummat.
Jika kita pernah membaca buku berjudul Mukaddimah karya ilmuwan Muslim bernama Ibnu Khaldun yang sangat terkenal dan diakui sebagai pioner dalam ilmu sosial termasuk jadi rujukan para ilmuan sosial Barat. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa masyarakat termasuk masyarakat bangsa memiliki sifat dan kecendrungan untuk mengikuti bahkan mengidentifikasikan dirinya dengan bangsa yang unggul atau muncul sebagai pemenang. Hal ini terlihat dari minat bahasa, cara berpakaian, selera makan, musik dan seterusnya.
Pada awal kemunculannya, Islam yang dibawa oleh Bangsa Arab khususnya pada zaman keemasannya di bawah dinasti Umayyah dan Abbasiyah, ummat Islam begitu perkasa sehingga mampu mengalahkan super power Barat Romawi dan super power Timur Parsi atau Persia.
Saat itu ummat Islam unggul di bidang militer, sains dan teknologi, ekonomi, serta sosial dan budaya termasuk di dalamnya berbagai bentuk seni. Karena itu, bangsa-bangsa lain kemudian bukan saja belajar dari dunia Islam, akan tetapi juga mempelajari bahasanya, meniru pakaiannya, bahkan dalam bentuk yang paling jauh mereka mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari Dunia Arab.
Apa yang dikenal dengan Dunia Arab saat ini khususnya 22 negara yang tergabung dalam Liga Arab sejatinya adalah bangsa-bangsa yang ter-Arab-kan. Negara Siria/Suriah, Lebanon, Jordania, dan Palestina saat ini, pada saat awal kemunculan Islam disebut Syam yang berada di bawah kekuasaan Romawi. Begitu juga Mesir termasuk Sudan, Libya, Tunisia, Aljazair, dan Maroko yang berada di Afrika Utara. Yang disebut Bangsa Arab saat itu hanyalah Hejaz kini Saudi Arabia, dan Yaman.
Apabila logika yang ditawarkan Ibnu Khaldun di balik, saat suatu bangsa mengalami keterpurukan, maka masyarakatnya termasuk bangsa-bangsa yang mengidentifikasikan dirinya dengan bangsa tersebut akan berusaha menjauh dan melepaskan diri dari identitas atau simbol-simbol yang digunakannya.
Bangsa Arab kini mengalami keterpurukan yang luar biasa. Tertinggal dalam kualitas sumber daya manusianya dan tertinggal dalam penguasaan sain dan teknologi. Akibatnya, mereka lemah dalam politik dan tidak berdaya dalam militer. Lebih dari itu, kini dunia Arab juga dipecah-belah dan diadu-domba.
Dalam kondisi seperti ini tentu menjadi bagian dari Arab akan dikonotasikan sebagai bagian dari keterbelakangan atau ketertinggalan. Itulah sebabnya secara sistematis berbagai bangsa berusaha melepaskan simbol-simbol atau identitas terkait Dunia Arab.
Gerakan melepaskan simbol atau identitas berbau Arab dimulai oleh Kemal Ataturk di Turki dalam bentuk sekularisasi Turki. Gerakan ini kemudian diikuti oleh Mesir dan negara-negara muslim di Afrika Utara baik dalam bentuk gerakkan politik maupun dalam bentuk pemikiran keagamaan.
Kini dunia Arab terpuruk lebih dalam lagi akibat perang saudara yang berlarut-larut. Akibatnya, gerakan pelepasan identitas dan simbol-simbol berbau Arab berkembang semakin meluas sampai ke tanah air.
Apa yang kini berkembang dan dikenal dengan sebutan "Islam Nusantara" pada hakekatnya adalah sebuah gerakkan pemikiran untuk mengambil jarak dengan dunia Arab.
Belajar dari kegagalan yang dilakukan Ataturk di Turki yang hanya meninggalkan simbol Arab kemudian menggantinya dengan simbol Barat, sementara isi atau substansinya tidak berubah. Sementara Jepang melalui Restorasi Meji sukses karena berorientasi isi atau substansi, sementara tetap mempertahankan simbol-simbol tradisionalnya.
Karena itu, bagi Umat Islam perlu menyadari perlunya memperbaharui diri dengan memfokuskan perhatiannya pada isi atau substansi, bukan pada simbol atau kulit. Hentikan perdebatan yang hanya terkait simbol atau kulit yang hanya menguras energi yang tidak ada manfaatnya.
[***]Penulis adalah Direktur Eksekutif CDCC (Center for Dialogue and Cooperation among Civilization)