Berita

Donald Trump/Net

Bisnis

Amerika Tidak Nantang Indonesia Perang Dagang

Banyak Yang Salah Paham Warning Donald Trump
SENIN, 09 JULI 2018 | 09:04 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Negeri Paman Sam tersebut han­ya sekadar evaluasi dagang biasa saja. Ketua Umum Asosiasi Pertek­stilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menyayangkan berkembangnya isu AS mengancam perang dagang dengan Indonesia.

"Itu salah kaprah dalam men­gartikan istilah perang dagang. Akibatnya kini muncul kepani­kan di kalangan pelaku usaha. AS hanya perangi China. Kalau hubungan dagang Indonesia dengan AS tidak dalam posisi kompetisi, tapi sifatnya saling melengkapi," kata Ade kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Ade menuturkan, evaluasi perdagangan yang dilakukan AS hal yang biasa. Dijelaskan Ade, di dalam perdagangan internasional ada aturan disebut Generalized System of Prefer­ences (GSP). Yaitu, sebuah sistem tarif preferensial yang membolehkan satu negara secara resmi memberikan pengecualian terhadap aturan umum WTO (World Trade Organization). Artinya, melalui GSP, suatu negara bisa memberi keringanan tarif bea masuk kepada eksportir dari negara-negara tertentu. Biasanya keringanan diberikan untuk ekspor dari negara miskin. Sementara untuk eksportir dari negara kaya tetap dikenakan aturan umum WTO. Menurut­nya, sejak tahun 2005, GSP ke tekstil sudah tidak ada.


Untuk produk elektronik masih ada yang menerima, tetapi nilai ekspornya tidak besar.

"GSP ke tekstil sudah dicabut karena Indonesia dianggap AS bukan lagi negara berkembang karena Produk Nasional Bruto sudah di atas 1.500 dolar AS. Berbeda dengan Bangladesh dan Kamboja, mereka masih mener­ima pengecualian karena masih di bawah kita," terangnya.

Ade menuturkan, rencana AS mengenakan 124 produk asal Indonesia lebih pada tujuan bentuk saling membutuhkan, bukan untuk membunuh atau membatasi produk Indonesia. "Betul itu adalah bentuk early warning dari Washington. Saya merasa itu bentuk kangen saja. Mereka ingin kita segera be­rangkat berunding bagaimana meningkatkan volume dan nilai neraca perdagangan yang baik untuk keduanya. Kalau nilainya naik, defisit perdagangan mereka tidak terasa lagi," ungkapnya.

Ade mengatakan, perundingan dengan AS memang sudah seharusnya dilakukan. Karena, sudah hampir 10 tahun tidak ada delegasi Indonesia melakukan perundingan dagang kedua negara. Sementara, perundingan kerja sama dilakukan Indonesia dengan Uni Eropa jauh lebih intensif.

Ade menyatakan tidak terlalu khawatir dengan kemungkinan terburuk kebijakan dagang yang akan diambil AS. Menurutnya, dampak negatif bila hubungan da­gang dengan AS terganggu tidak seperti yang orang proyeksikan.

"AS bukan pasar ekspor tektil terbesar Indonesia. Nilai ekspor ke AS 100 miliar dolar AS per tahun. Masih lebih besar ke Uni Eropa mencapai 346 miliar dolar AS," ungkapnya.

Namun demikian, Ade men­gakui, industri tekstil mengharap­kan hubungan dagang yang baik dengan AS terus terjalin. Karena, pangsa pasar di luar negeri penting untuk industri Indonesia. Karena di negeri sendiri, produk tekstil dibanjiri produk impor.

Soroti Soal Tenaga Kerja

Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani men­erangkan, ada dua aspek per­dagangan yang sedang ditunjau AS. Pertama, review atas kelaya­kan Indonesia untuk terus berada dalam daftar GSP dan menerima manfaat pembebasan bea masuk yang dilakukan oleh US Trade Representative (USTR). Kedua, peninjauan ulang atas lini-lini tarif AS yang dibebaskan bea masuknya bagi produk Indonesia dalam mekanisme GSP yang dilakukan oleh US International Trade Commission (USITC).

"Review pertama yang dilaku­kan oleh USTR jauh lebih krusial karena menyangkut keberlangsun­gan produk Indonesia mendapat­kan privilege atau keistimewaan dari AS dalam bentuk pembebasan bea masuk atas hampir 3.500 lini tarif," ungkapnya.

Shinta menjelaskan, ada tiga indikator dalam GSP yang se­lama ini menjadi kekhawatiran pemerintah AS, yakni kepatuhan Indonesia terhadap pemberian akses pasar bagi produk AS di dalam negeri, perlindungan hak kekayaan intelektual (intellec­tual property protection), dan perlakuan terhadap tenaga kerja.

Menteri Perdagangan Eng­gartiasto Lukita baru-baru ini mengungkapkan, pihaknya te­lah mengirimkan surat kepada Pemerintah AS. Surat sudah dikirimkan melalui Kedutaan Besar AS serta United State Trade Representative (USTR). ***

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

UPDATE

Perbankan Nasional Didorong Lebih Sehat dan Tangguh di 2026

Senin, 22 Desember 2025 | 08:06

Paus Leo XIV Panggil Kardinal di Seluruh Dunia ke Vatikan

Senin, 22 Desember 2025 | 08:00

Implementasi KHL dalam Perspektif Konstitusi: Sinergi Pekerja, Pengusaha, dan Negara

Senin, 22 Desember 2025 | 07:45

FLPP Pecah Rekor, Ribuan MBR Miliki Rumah

Senin, 22 Desember 2025 | 07:24

Jaksa Yadyn Soal Tarik Jaksa dari KPK: Fitnah!

Senin, 22 Desember 2025 | 07:15

Sanad Tarekat PUI

Senin, 22 Desember 2025 | 07:10

Kemenkop–DJP Bangun Ekosistem Data untuk Percepatan Digitalisasi Koperasi

Senin, 22 Desember 2025 | 07:00

FDII 2025 Angkat Kisah Rempah Kenang Kejayaan Nusantara

Senin, 22 Desember 2025 | 06:56

Polemik Homebase Dosen di Indonesia

Senin, 22 Desember 2025 | 06:30

KKP Bidik 35 Titik Pesisir Indonesia Buat KNMP Tahap Dua

Senin, 22 Desember 2025 | 05:59

Selengkapnya