Berita

Foto: net

Adhie M Massardi

TENDANGAN BEBAS

Jangan Bicara Peringkat, Apalagi Mengutak-atik Statistik

SENIN, 02 JULI 2018 | 16:41 WIB | OLEH: ADHIE M. MASSARDI

BANYAK yang terkecoh di Piala Dunia 2018 Rusia ini. Tata nilai seolah jungkir balik.

Sejarah, skill, prestasi, nama besar dan perjuangan panjang menjadi seperti kehilangan arti. Sehingga material yang dimiliki sebuah tim, yang bisa diutak-atik untuk memprediksi hasil pertandingan, yang membuat sepakbola menjadi asyik, sudah bukan lagi faktor.

Pendek kata, kata mereka, di Rusia ini sepakbola telah kehilangan ghirah-nya. Ghirah (baca: ghiroh) terjemahannya bukan sekedar “gairah”, lebih dari itu. Ghirah adalah semacam sumber daya atau “energi” yang membuat “hidup”. Pusat dinamika yang jadi sumber segala rasa cinta, fanatisme, yang bisa menimbulkan sedih, cemburu, tapi juga asyik.

Betul, sepakbola memang sudah mengalami perubahan. Meskipun tidak secara fundamental, tapi FIFA telah mengubah syariat sepakbola yang berdampak pada perubahan filosofi sepakbola.

Sebelum Piala Dunia digelindingkan (pertengahan Juni 2018), diam-diam FIFA mengampanyekan “Living Football” melalui berbagai media. Dalam kampanye audio visualnya, FIFA mengklaim: “sepakbola adalah kehidupan”, dan “kehidupan adalah sepakbola”,

Orang miskin, orang kaya, yang sehat jasmani maupun yang mengalami keterbatasan fisik (difabel, disabilitas), di negara miskin atau di negara kaya, bisa menikmati sepakbola dengan rasa (kegembiraan) yang sama. Paling tidak, lewat siaran televisi di rumah masing-masing.

FIFA tampaknya ingin membuat sepakbola menjadi rahmatan lil alamin, berkah bagi semua orang, semua bangsa di semua negara di muka bumi. Syarat menjadi “rahmatan lil alamin” sepakbola harus mencerminkan keadilan bagi semua, baik di lapangan maupun di luar lapangan.

Itulah sebabnya mulai Piala Dunia 2018 Rusia ini, FIFA menerapkan fairplay yang keras di lapangan. Agar tidak melahirkan keputusan kontroversial yang bisa menimbulkan ketidakadilan, wasit dikasih fasilitas VAR (video assistant referee). Bagi penggemar bola sebagai game, VAR memang menurangi ketegangan di lapangan. Tapi di Rusia ini kita melihat inovasi teknologi VAR ini sangat membantu dalam menegakkan fairplay.

Sedangkan di luar arena permainan, FIFA mengawasi secara seksama berbagai hal yang bisa membuat sepakbola manjadi “najis”. Misalnya, rasisme, ujaran kebencian mulai dari agama, perbedaan gender hingga orientasi seksual. Semua dinyatakan terlarang di ranah sepakbola. Kalau ada penonton melakukan perbuatan terlarang itu, FIFA tak segan-segan menghukum tim atau klub yang didukungnya. Tegas!

Mengutak-atik Statistik

Jadi, menonton sepakbola yang filosofinya sudah dikemas ulang FIFA, terutama di putaran final Piala Dunia 2018 Rusia ini, setiap partainya memang menjanjikan kejutan dan ketegangan yang mengasyikkan. Karena segala macam indikator menjadi non-faktor.

Karena itu, tak pernah terbayangkan sebelum-sebelumnya ada laga yang mempertemukan tim peringkat 1 FIFA yang juga juara dunia (Jerman), dengan tim peringkat ke-52 (Korea Selatan), dan sang juara dunia dipecundangi dengan skor 2-0, yang membuat tim ini tak bisa melanjutkan misinya mempertahankan gelar.

Makanya, ketika turnamen memasuki “musim gugur” seperti sekarang ini, setiap laga (Perancis vs Argentina, Uruguay vs Portugal, Spanyol vs Rusia dan Kroasia vs Denmark) semuanya beraroma real final. Bahkan dua partai terakhir, disudahi dengan adu penalti yang ketegangannya serupa final.

Makanya, nanti malam (pk 21.00), saat Brasil ketemu Meksiko, jangan lagi kita mengutak-atik statistik. Situs resmi FIFA memang mencatat Brasil dan Meksiko sudah 40 kali berlaga. Brasil menang 23 kali, Meksiko 10 kali, dan 7 laga sisanya berakhir imbang. Karena dengan format baru ini, bisa saja nanti menjadi kemenangan ke-11 bagi Meksiko, dan bukan tambahan catatan kesuksesan bagi Brasil.

Demikian juga halnya dalam partai Belgia vs Jepang yang digelar Selasa (3/7) dini hari (01.00). Sebagai tim terakhir perwakilan Asia, Jepang pastinya akan melakukan jibaku habis-habisnya untuk memperbaiki Curriculum Vitae (CV) yang pada 2002 dan 2010 tersingkir di babak ke-2, menjadi meningkat ke babak ke-3. Syukur-syukur berlanjut ke fase semi-final.

Sepakbola adalah kehidupan. Kehidupan adalah sepakbola. Living football. Segala kemungkinan bisa terjadi. Tergantung yang melakukannya di lapangan. Karena segala kecurangan sudah dieliminir FIFA. Kita tinggal menonton.

@AdhieMassardi


Populer

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Jokowi Kena Karma Mengolok-olok SBY-Hambalang

Jumat, 07 Februari 2025 | 16:45

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Alfiansyah Komeng Harus Dipecat

Jumat, 07 Februari 2025 | 18:05

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

Pengamat: Bahlil Sengaja Bikin Skenario agar Rakyat Benci Prabowo

Selasa, 04 Februari 2025 | 14:20

UPDATE

CM50, Jaringan Global dan Pemimpin Koperasi

Rabu, 12 Februari 2025 | 04:45

Telkom Salurkan Bantuan Sanitasi Air Bersih ke 232 Lokasi di Indonesia

Rabu, 12 Februari 2025 | 04:15

TNI Kawal Mediasi Konflik Antar Pendukung Paslon di Puncak Jaya

Rabu, 12 Februari 2025 | 03:45

Peran para Bandit Revolusioner

Rabu, 12 Februari 2025 | 03:19

Pengecer Gas Melon Butuh Kelonggaran Buat Naik Kelas

Rabu, 12 Februari 2025 | 02:59

DPD Apresiasi Kinerja Nusron Selesaikan Kasus Pagar Laut

Rabu, 12 Februari 2025 | 02:39

Telkom Beri Solusi Kembangkan Bisnis Lewat Produk Berbasis AI

Rabu, 12 Februari 2025 | 02:19

Pengangkatan TNI Aktif sebagai Dirut Bulog Lecehkan Supremasi Sipil

Rabu, 12 Februari 2025 | 01:59

Indonesia Perlu Pikir Ulang Ikut JETP

Rabu, 12 Februari 2025 | 01:48

KPK Diminta Periksa Bekas Ketua MA di Kasus Harun Masiku

Rabu, 12 Februari 2025 | 01:35

Selengkapnya