Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Bekasi tidak memberikan hak pilih kepada para pemilih penyandang disabilitas mental dalam Pilkada Serentak 2018 ini.
Protes pun menyeruak dari Koalisi Masyarakat Penyandang Disdabilitas (KMPD). Mereka mendesak KPU segera mendata ulang pemilih di Panti Penyadang Disabilitas Mental di wilayah Bekasi.
Jurubicara KMPD Yeni Rosa Damayanti mengatakan, selain pendataan yang tidak jelas, penyelenggara Pilkada juga tidak melakukan pengawasan yang efektif.
"Kami meminta agar segera dilakukan pendataan di panti penyandang disabilitas mental di wilayah Bekasi, dan segera melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan pendataan pemilih, khususnya terhadap para penyandang disabilitas, khususnya penyandang disabilitas mental," tutur Yeni Rosa dalam siaran persnya
Mereka juga menuntut agar segera dikeluarkan Surat Edaran KPU yang menegaskan bahwa penyandang disabilitas, khususnya penyandang disabilitas mental, wajib didata sebagai pemilih dalam Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.
Di Bekasi, lanjut dia, hampir 500 orang penghuni panti disabilitas mental tidak terdata sebagai pemilih adalah tindakan diskriminatif dari KPU. "Sebab, KPU sebagai pelaksana pendataan pemilih
loh," ujarnya.
Menurut Yeni, tindakan itu bertentangan dengan sejumlah produk hukum yang menjamin bahwa penyandang disabilitas mental juga bagian dari warga negara Indonesia yang berhak untuk menjadi pemilih dalam Pemilihan Umum, baik Pemilihan Kepala Daerah 2018 maupun Pemilihan Presiden 2019.
Dalam Pasal 148 ayat (1) UU 36/2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.
Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XIII/2015 secara tegas menyatakan bahwa Pasal 57 ayat (3) huruf a UU 8/2015 yang menyatakan bahwa pemilih yang terdaftar adalah yang tidak sedang tergganggu jiwa/ingatannya adalah inkonstitusional.
"Tidak didatanya penyandang disabilitas mental sebagai pemilih dalam Pilkada 2018 tersebut karena masih ada pandangan yang stigmatif diskriminatif, yaitu menganggap penyandang disabilitas mental adalah tidak cakap hukum," tutur dia.
Yeni menegaskan, anggapan ini jelas keliru, karena tidak semua penyandang disabilitas mental setiap saat dalam kondisi tidak mampu untuk mempertanggugjawabkan perbuatan atau pilihannya.
Yeni menambahkan, kondisi disabilitas mental tidak permanen, bahkan seharusnya segera untuk diobati atau diberikan tindakan agar kondisinya tidak berlangsung terus menerus. "Oleh karena itu, dalam hal ini pembatasan hak penyandang disabilitas mental adalah bentuk tindakan yang diskriminatif," kecamnya.
Selain itu, menurut dia, alasan bahwa tidak didatanya para penyandang disabilitas mental di panti karena tidak memiliki KTP elektronik justru menunjukan adanya praktik diskriminatif yang serius. "Seharusnya pihak panti bekerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat melakukan upaya jemput bola dalam menyelesaikan permasalahan tersebut,†ujarnya.
[wid]