Berita

Foto: net

Adhie M Massardi

Setelah Revolusi Industri, Hanya Ada Neraka Di Rusia

SELASA, 19 JUNI 2018 | 10:26 WIB | OLEH: ADHIE M. MASSARDI

FASE pertama dari tiga tahap penyisihan grup Piala Dunia Rusia hari ini ditutup oleh (partai ke-15) Kolombia vs Jepang (19.00) dan (partai ke-16) Polandia vs Senegal (22.00).

Memang tidak ada tim favorit dan nama besar di Grup H ini. Tapi bukan berarti malam ini tak ada yang nyaman ditonton.

Jepang, misalnya, pasti akan berusaha tampil lebih militan melawan Kolombia. Maklum, para samurai ini ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Jepang lebih baik dari Korea (Selatan), yang secara tradisional memang merupakan musuh bebuyutan, sama seperti persaingan kultural Indonesia dan Malaysia.


Tapi pengalaman menyaksikan 14 partai yang sudah lewat, kita bisa menyimpulkan semua pertandingan merupakan tontonan menarik kelas dunia, dan semuanya penting karena menentukan langkah selanjutnya dari tim-tim yang berlaga.

Buktinya, tak ada yang pernah menyangka, bahkan para analis bola paling canggih sekalipun, tim-tim favorit juara seperti Brasil, Jerman, Portugal, Spanyol dan Argentina bisa terseok-seok dan mengalami depresi berat di partai pembuka. Soalnya kalau tidak kalah seperti dialami juara bertahan Jerman sehingga gagal dapat poin, ya berakhir seri sehingga harus puas meraih satu poin saja.

Betul, Piala Dunia 2018 Rusia ini memang menjadi titik-balik hegemoni negara-negara adidaya sepakbola. Secara umum di Rusia ini kita bisa menjadi saksi fakta atas telah terjadinya pemerataan kualitas pemain dan pelatih pada (32) peserta putaran final.

Semua ini terjadi sebagai dampak “revolusi industri sepakbola” yang dimulai di Eropa pada pertengahan tahun 80-an.

Kita tahu saat itu di Eropa, terutama di Inggris, Italia, Spanyol, Jerman dan Perancis, sepakbola yang semula hanya tontonan bagi yang hobi belaka, berubah menjadi industri padat karya dan padat modal, yang kalau sukses menjadi mesin uang yang luar biasa besarnya (Manchester United, Real Madrid, Bayern Munich, AC Milan, dll).

Karena industri harus terus bergulir, klub-klub sepakbola di negara-negara (Eropa) itu haus akan pemain bertalenta yang secara periodik perlu diganti untuk penyegaran. Semua itu ternyata tak cukup disuplai dari kawasan Eropa saja. Maka tumbuhlah perusahaan brooker pemain yang memburu para pemain berbakat di seluruh negara di muka bumi, terutama di negara-negara yang punya tradisi sepakbola kuat di Amerika Latin dan Afrika.

Jadi sebelum revolusi pasar bebas ekonomi modern yang disponsori WTO pada awal 90-an, di dunia sepakbola FIFA dan UEFA sudah melakukannya. Makanya sejak tahun 80-an lalu lintas transfer pemain (profesional) di Eropa sudah dianggap sesuatu yang biasa-biasa saja. Hal ini kemudian menular ke negara lain yang memiliki kompetisi antar-klub, termasuk di negara kita.

Revolusi industri sepakbola inilah yang secara diam-diam tapi nyata, membuat kualitas pemain peserta putaran final Piala Dunia, yang secara tradisional merupakan sumber pemain bertalenta bagi klub-klub di Eropa, menjadi merata. Soalnya semua pemain andal yang dikontrak klub-klub itu, apabila ada hajatan bola antar-negara, FIFA dan UEFA mengizinkan mereka untuk mudik guna memperkuat tim nasional negaranya masing-masing.

Dari sisi inilah Piala Dunia 2018 Rusia akan dicatat sejarah sebagai dimulainya pemerataan kualitas timnas lintas negara. Itu pula sebabnya kenapa di Rusia ini istilah “grup neraka” (sebutan untuk grup yang dihuni negara-negara super dalam sepakbola) nyaris tak terdengar.

Sebelum ini, memang ada istilah grup neraka, dan grup surga yang di dalamnya ada timnas underdog yang gawangnya menjadi lahan subur sehingga timnas yang super bisa panen gol.

Tapi sekarang ini di Rusia hanya ada (grup) neraka, sebagaimana dirasakan timnas dari negara-negara yang semula disebut-sebut sebagai kandidat juara.

Dan panasnya neraka Rusia akan kian menyengat pada fase kedua babak penyisihan grup yang akan dimulai oleh laga Rusia vs Mesir Rabu (20/6) besok. [***]

Penulis adalah pemilik akun Twitter @AdhieMassardi

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

UNJ Gelar Diskusi dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10

Skandal Sertifikasi K3: KPK Panggil Irjen Kemnaker, Total Aliran Dana Rp81 Miliar

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04

KPU Raih Lembaga Terinformatif dari Komisi Informasi

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41

Dipimpin Ferry Juliantono, Kemenkop Masuk 10 Besar Badan Publik Informatif

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13

KPK Janji Usut Anggota Komisi XI DPR Lain dalam Kasus Dana CSR BI-OJK

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12

Harga Minyak Turun Dipicu Melemahnya Data Ekonomi China

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03

Kritik “Wisata Bencana”, Prabowo Tak Ingin Menteri Kabinet Cuma Gemar Bersolek

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56

Din Syamsuddin Dorong UMJ jadi Universitas Kelas Dunia di Usia 70 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54

Tentang Natal Bersama, Wamenag Ingatkan Itu Perayaan Umat Kristiani Kemenag Bukan Lintas Agama

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46

Dolar AS Melemah di Tengah Pekan Krusial Bank Sentral

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33

Selengkapnya