Berita

Suhardi Somomoeljono/Humas BNPT

Pertahanan

UU Antiterorisme Disahkan, Kearifan Lokal dan Pengayoman Harus Dikedepankan

KAMIS, 31 MEI 2018 | 08:30 WIB | LAPORAN:

UU Antiterorisme telah resmi disahkan oleh DPR, Jumat (25/5) pekan lalu.

Keberadaan UU Antiterorisme itu dinilai sudah menjadi kebutuhan di tengah ancaman terorisme yang semakin mengglobal. Namun, penanggulangan terorisme harus tetap menjunjung tinggi prinsip kearifan lokal dan pengayoman.

"Harapan kita, dengan adanya UU Antiterorisme, penanganan masalah terorisme di Indonesia harus lebih baik. Para stakeholder yang terkait dalam masalah ini juga harus menggarisbawahi pentingnya kearifan lokal dan pengayoman, baik dalam melakukan pencegahan maupun penegakan hukum. Sifat pengayoman dan kearifan lokal harus diutamakan, tidak boleh berlebihan, apalagi overacting," ujar praktisi dan akademisi hukum, Suhardi Somomoeljono di Jakarta.

Menurutnya, keberadaan UU Antiterorisme sejatinya bertujuan untuk mengayomi masyarakat dari segala bentuk tindakan terorisme. Karena itu, seluruh pihak yang terkait juga harus bisa mengemban amanat UU ini agar tidak menimbulkan sikap tidak baik di mata publik.

Dengan mengedepankan pengayoman dan kearifan lokal, serta menghormati Hak Azasi Manusia (HAM), ia optimis penanganan terorisme bisa berjalan dengan baik.

Sekarang, lanjut Suhardi, sekarang tugas pemerintah adalah mempersiapkan Peraturan Pemerintah (PP) dalam rangka mengisi pasal-pasal dalam UU Antiterorisme yang masih menimbulkan tafsir.

Pembuatan PP itu sangat penting agar tidak menimbulkan tafsir hukum yang terlalu banyak dan bersifat deskrisioner. Apalagi definisi terorisme itu ditambah dengan motif yaitu politik, ideologi, dan gangguan keamanan.

"Ini harus dilakukan agar jangan sampai keliru memberikan definisi terhadap motif dan persepektif implementatifnya. Harus dirumuskan secara benar, karena kalau salah mengartikulasikan, terutama dalam penegakan hukum tidak mendekati rasionalitas dan tidak masuk akal, akan jauh dari harapan masyarakat," jelas Suhardi.

Terkait deradikalisasi, Suhardi menilai apa yang telah dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah bagus. Faktanya, cara-cara pendekatan lunak (soft approach) BNPT bisa meredam dan meyakinkan para mantan narapidana terorisme (napiter) agar sadar dan kembali ke UUD ’45.

"Sekarang, tinggal bagaimana menselaraskan program-program yang sudah bagus itu dengan UU Antiterorisme yang baru disahkan," imbuhnya.

Ia mencontohkan, proses deradikalisasi Umar Patek, yang dulu merupakan teroris internasional yang pernah diburu Amerika Serikat, bahkan kepalanya pernah dihargai Rp 5 miliar. Dalam hal ini BNPT, Densus 88, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dengan melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta tokoh-tokoh agama.

Belum lagi langkah BNPT yang juga ‘menyentuh’ keluarganya, terbukti berhasil ‘menyembuhkan’ Umar Patek.

Begitu juga para mantan teroris lainnya yang kini sudah kembali ke masyarakat seperti Ali Fauzi, Khairul Ghazali, Sofyan Tsauri, Iqbal Husaini, Tony Togar, Abu Thulut, dan lain-lain. Bahkan sebagian mereka juga terlibat aktif bersama BNPT, menggaungkan perdamaian dan anti terorisme.

"Ini harus diapresiasi. Jangan diartikan penanggulangan terorisme dan penegakan hukum itu dengan membinasakan. Terbukti dengan cara-cara lunak diatas, mereka yang dulu sangat ‘keras’ bisa ‘dilunakkan’. Artinya deradikalisasi yang telah dilakukan sudah baik, meski belum sempurna," tutur Suhardi.

Menurut dia, banyak orang berpikir keliru tentang deradikalisasi dan tuduhan bahwa teroris itu adalah konspirasi internasional. Suhardi meluruskan bahwa pernyataan itu tidak salah, tapi tidak seluruhnya benar.

Ia menjelaskan bahwa ada dua metode dalam kerangka melakukan kejahatan atau terorisme. Pertama pendekatan konspirasi, di mana pelaku hanya sebagai obyek. Aksinya itu sudah ada yang mengatur yaitu aktor intelektualnya.

Kedua pendekatan fungsional, di mana pelaku meyakini dan memiliki referensi bahwa teror yang mereka lakukan itu sah sesuai ajaran yang ia yakini.

"Untuk mengubah pemikiran salah yang dianut pelaku fungsional, tidak mudah. Beda dengan konspirasi yang relatif lebih mudah dipatahkan karena tidak pakai akal sehat. Jadi jangan meremehkan apa yang dilakukan BNPT selama ini," tukas Suhardi yang pernah menangani napiter pelaku bom buku, Pepi Fernando dan beberapa napiter lainnya. [wid]
 

Populer

Jokowi Kumpulkan Kapolda Hingga Kapolres Jelang Apel Akbar Pasukan Berani Mati, Ada Apa?

Kamis, 12 September 2024 | 11:08

Jagoan PDIP di Pilkada 2024 Berpeluang Batal, Jika….

Minggu, 08 September 2024 | 09:30

Slank sudah Kembali ke Jalan yang Benar

Sabtu, 07 September 2024 | 00:24

Petunjuk Fufufafa Mengarah ke Gibran Makin Bertebaran

Kamis, 12 September 2024 | 19:48

Soal Video Winson Reynaldi, Pemuda Katolik: Maafkan Saja, Dia Tidak Tahu Apa yang Dia Perbuat!

Senin, 09 September 2024 | 22:18

AHY Tuntaskan Ujian Doktoral dengan Nilai Hampir Sempurna

Kamis, 12 September 2024 | 17:12

Ini Kisah di Balik Fufufafa Dikaitkan dengan Gibran

Rabu, 11 September 2024 | 01:15

UPDATE

Tawarkan Kerja di KAI, Oknum Polisi Diduga Tipu Warga Hingga Puluhan Juta

Sabtu, 14 September 2024 | 01:30

Anak Usaha Telkom Luncurkan Programmatic Advertising Berbasis Data Telco

Sabtu, 14 September 2024 | 00:59

Aktivis Buruh Dorong Zaken Kabinet Pemerintahan Prabowo-Gibran

Sabtu, 14 September 2024 | 00:48

Politik Sabar Prabowo

Sabtu, 14 September 2024 | 00:20

Tantangan Bangsa Makin Berat, Lawan Politik Jangan Ganggu Prabowo

Jumat, 13 September 2024 | 23:56

Pengawasan Internal yang Lemah Membuka Celah Percaloan Casis Bintara

Jumat, 13 September 2024 | 23:26

Anak Abah Coblos 3 Paslon Bentuk Kemarahan Tak Beralasan

Jumat, 13 September 2024 | 23:19

Prabowo Kunker ke Vietnam

Jumat, 13 September 2024 | 22:50

Sempat Berbeda Pendapat, Ulama Sepakat Fadhil Rahmi jadi Pendamping Bustami

Jumat, 13 September 2024 | 22:14

Anugerah Kebudayaan 2024 Siap Digelar untuk Penggerak Kebudayaan

Jumat, 13 September 2024 | 22:12

Selengkapnya