Baru-baru ini Kementerian Agama (Kemenag) merilis 200 nama mubalig yang direkomenÂdasikan pemerintah. Memang di dalam daftar itu banyak kiai yang mumpuni bertengger, namun tetap saja daftar itu memunculkan kontroversi di kalangan masyarakat. Sebab lebih banyak lagi kiai yang mumpuni dari sisi keilmuan yang tidak terkait paÂham radikal tidak masuk daftar.
Lantas apa pandangan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra dalam meÂnyikapi kontroversi listing reÂkomendasi kiai tersebut? Berikut penuturan Azyumardi Azra.
Baru-baru ini Kemenag merÂilis daftar 200 mubalig yang direkomendasikan pemerintah. Apa pandangan Anda terkait daftar mubalig itu?Menurut saya daftar itu bagus, tapi harus ada parameter yang jelas dulu. Karena ada mubalig yang ceramahnya hanya memÂprovokasi, sehingga harus jelas dibikin standardisasi, dibikin latar belakang pendidikannya di mana, berdakwah di mana dan lain sebagainya. Menurut saya hal itu penting. Tapi yang bikin jangan Kemenag, melainkan Mejelis Ulama Indonesia (MUI) atau ormas Islam, dan bekerja sama dengan universitas Islam sehingga bisa dipertanggungÂjawabkan secara akademis.
Tapi belakangan daftar mubÂalig itu malah justru memicu kontroversi di masyarakat, bahkan banyak yang menilai kebijakan itu malah membuat beberapa mubalig yang tidak masuk daftar tersudutkan karena dianggap berpaham radikal. Bagaimana itu? Tidak apa-apa (penerbitan daftar mubalig itu menimbulkan kontroversi), karena menuÂrut saya memang harus diatur. Kalau di Singapura, Malaysia, dan Mesir berceramah itu harus ada surat izinnya, ada SIM-nya istilahnya. Tapi di Indonesia kan tidak perlu, mereka bebas saja langsung berceramah. Tapi keÂbebasan itu sering disalahgunaÂkan ustaz-ustaz untuk memaki-maki siapa saja, makanya perlu diterbitkan. Hanya saja daftar tersebut harus disempurnakan.
Tapi kemunculan bibit radikalisme itu sebenarnya bukan hanya lewat ceramah mubalig, tapi banyak juga muncul di lingkungan kamÂpus. Apa tanggapan Anda terkait hal ini?Kalau itu harus ada diklat tenÂtang keindonesiaan. Jadi antara agama dan keindonesiaan, keisÂlaman dengan keindonesiaan. Karena masih banyak yang mempertentangkan keimanan, keagamaan dan keindonesiaan. Saya kira guru dan dosen, khususnya bidang ilmu alam. Karena bidang bidang inilah yang banyak dosen atau gurunya berpaham radikal.
Kita lihat dalam kasus bom bunuh diri itu banyak sekali kecurigaan bahwa itu rekayasa. Dan di kalangan dosen perguÂruan tinggi umum terkenal menÂganggap (kasus itu) rekayasa dari pemerintah. Paham itulah yang mesti direspons dengan pendidikan kebangsaan. Jadi harus ada diklat kebangsaan.
Berarti materi pembelajaÂran di lingkungan kampus harus ditambah lagi untuk menangkal tumbuhnya bibit-bibit radikalisme?Kalau di tingkat mahasiswa itu kan sudah ada pendidikan kewarganegaraan. Namun harus diintensifkan, dan dikontekÂstulisasikan dengan isu yang kita hadapi. Yang tidak pernah dapat latihan tentang pendidikan kebangsaan dan kaitannya keaÂgamaan itu ya dosen dan guru. Paling tidak, mereka menerima saat pendidikan prajabatan PNS. Setelah itu, berpuluh tahun tidak lagi dapat materi soal pancasila dan bhinneka tunggal ika, tidak lagi mendapat pendidikan menÂgenai NKRI. Makanya sebagian dari mereka terpapar paham-paham praksis transnasional yang radikal.
Dalam konteks perbaikan konsep pembelajaran itu lemÂbaga mana saja yang mesti dilibatkan menurut Anda? Jadi ada tiga kementerian yang harus didorong, yaitu Kemenristek Dikti, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Agama (Kemenag). Karena Kemenag bertanggung jawab untuk penÂdidikan di madrasah. Kalau madrasahnya ada di lingkungan pesantren itu tidak jadi masalah. Tapi kalau berdiri sendiri, lalu ada yayasan dan sebagainya, atau didirikan ustaz yang waÂhabi itu bahaya, karena bisa jadi tempat persemaian dan perkemÂbangan pemikiran wahabi yang radikal. Asal muasalnya di situ. Makanya tiga kementerian itu harus ikut bertanggung jawab.
Anda sudah usulkan hal ini kepada tiga kementerian tersebut?Mengenai hal ini saya sudah usulkan berkali-kali, tapi belum direalisasikan. Padahal sebetulÂnya realisasinya juga tidak sulit. Pertama bisa dilakukan training for trainers dulu. Nanti setelah trainers-nya siap, baru lakukan pelatihan secara bertingkat di kabupaten/kota masing-masing. Itu dulu. Makanya muncul trainÂers andal.
Menurut Anda perlukah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dilibatkan dalam program tersebut?BNPT itu punya peran lebih jelas. Tidak mungkin Densus 88 yang lakukan hal itu. Densus 88 masuk kampus itu tidak mungÂkin bisa. Makanya BNPT harus bekerja sama dengan Forum Rektor Indonesia. Kalau dengan satu orang setiap universitas kan repot, karena ada sekitar 3.000 universitas. Makanya perlu kerja sama dari Forum Rektor Indonesia untuk bisa maksimal.
Untuk mengoptimalkan program pencegahan radikaÂlisme itu perlu juga tidak kita merevisi Undang-Undang Diknas? Saya pikir bisa untuk tingÂkatkan semangat kebangsaan, karena mudah sekali pelajar kita terjerumus paham radikal. Saya kira kuncinya adalah ketidakÂpedulian pejabat tinggi di keÂmenterian itu. Saya kira perlu kerjasama dengan DPR soal anggarannya, karena akan butuh anggaran cukup besar.
Sekarang kan ada BadanPembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Apa masih kurang peran lembaga itu? Memang ada lembaga peÂmantapan ideologi pancasila pimpinan Yudi Latief, tapi badan itu masih belum mapan, jadi belum siap. Sehingga seharusÂnya BNPT dapat memainkan peran lebih sentral dalam hal ini. Misalnya dengan cara memasuÂkan materi tersebut dalam materi belajar. ***