Berita

Megawati Soekarnoputri/Net

Politik

Mega Tak Tersentuh

Setelah Ketua KPK Tak Akan Usut Kebijakan BLBI
SABTU, 21 APRIL 2018 | 08:49 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Sikap bulat Ketua KPK Agus Rahardjo yang tak akan mengkriminalisasi kebijakan penanganan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) diyakini membuat Megawati Soekarnoputri senang. Soalnya, ketum PDIP itu tak akan disentuh-sentuh dalam kasus yang terus heboh dan tak tuntas-tuntas ini.

Megawati memang terus diseret-seret dalam kasus BLBI. Sebab, Instruksi Presiden (Inpres) yang diterbitkannya menjadi dasar bagi penerbitan SKL(Surat Keterangan Lunas) untuk para obligor BLBI.

Adik Mega, Rachmawati Soekarnoputri heran dengan sikap KPK yang terkesan mengamankan kakaknya itu. Rachmawati menilai pernyataan Ketua KPK 'keblinger'.

"Tadi pagi saya baca koran, kata ketua KPK kebijakan di kasus BLBI itu tidak bisa dikriminalisasi. Ini kan bikin keblinger orang. Justru kebijakan itulah yang membuat kita ini salah," tegas Rachmawati saat menjadi pembicara kunci di diskusi "2019 Presiden Harapan Rakyat" di kawasan Buncit Raya, kemarin.

Karena itu, Rachmawati meyakini Syafruddin Arsyad Temenggung, eks Kepala BPPN yang sudah menjadi pesakitan dalam kasus ini, bukanlah pelaku utama. "Periksa bonggolnya. Siapa yang memberikan kebijakan Inpres No 8 tahun 2002, ini pada waktu Presiden Megawati," tuturnya. "Saudara tahu itu (Mega) memang saudara saya, tapi saya tetap sebutkan. Soal keadilan, kebenaran, itu tidak ada pardon," tegas Rachmawati.

Terpisah, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga menyebut, penyelesaian BLBI tidak bisa dilepaskan dari Inpres Nomor 8 tahun 2002 yang menjadi dasar SKL BLBI.

"Karena Inpres inilah yang melegitimasi pembayaran para obligor hanya mencapai 17 sampai dengan 21% dari nilai keseluruhan utangnya," ujarnya, kepada Rakyat Merdeka, semalam.

Fickar juga menyoroti pernyataan Agus Rahardjo yang terkesan tak akan menyentuh Mega. Dia menilai, pernyataan Agus bukanlah pernyataan yuridis. "Itu bahkan cenderung sebagai pernyataan politis," imbuhnya.

Karena itulah, Fickar mengingatkan, sepanjang ditemukan bukti-bukti yang cukup untuk mengusut dan menempatkan seserang sebagai tersangka, tidak ada alasan menghentikan perkara ini.

"Kecuali SP3, tapi itu tidak dipunyai KPK atau perintah putusan praperadilan," tandasnya.

Sementara itu, Ketua DPP PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno meminta publik tidak menyeret-nyeret Mega dalam kasus SKL BLBI. Hendrawan mengingatkan, sebagai presiden, Mega adalah mandataris MPR yang terakhir. Dalam posisi demikian, Mega harus menjalankan perintah dalam Tap MPR dan UU yang terkait dengan percepatan penyelesaian krisis, termasuk restrukturisasi perbankan, restrukturisasi utang swasta dan tugas-tugas BPPN.

"Kebijakan pemberian SKL yang dilakukan, turun dari perintah Tap MPR dan Undang-undang," jelas Hendrawan kepada Rakyat Merdeka, semalam.

Inpres terbit berdasarkan Tap MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang rekomendasi yang berkaitan dengan perjanjian PKPS yang berbentuk Master of Settlement Agreement And Acquisition Agreement (MSAA); Master Of Refinancing And Note Issuance Agreement (MRNIA); dan Perjanjian PKPS serta Pengakuan Utang.

Kemudian pada 30 November 2006, BPK menyerahkan 11 laporan audit terhadap seluruh kegiatan BPPN, termasuk pemberian SKL kepada 21 PKPS (penyelesaian kewajiban pemegang saham. "Disimpulkan, SKL telah sesuai dengan kebijakan pemerintah, Inpres 8/2002 dan tidak ada kerugian negara. Audit yang dilakukan BPK sudah jelas dan tegas," tegas Hendrawan.

Karena itu, Hendrawan heran ketika tetiba KPK pada Desember 2014 menengarai ada penyimpangan dalam penerbitan kepada Pemegang Saham Pengendali (PSP) BDNI, Sjamsul Nursalim.

Kemudian Maret 2017, KPK menetapkan Syafruddin Temenggung sebagai tersangka dan menahannya pada Desember 2017.

Alasannya, dalam audit investigatif Agustus 2017, tiba-tiba ditemukan kerugian negara dalam kasus SKL untuk BDNI sebesar Rp 4,58 triliun. "Kita terhenyak, 2 audit dari lembaga yang sama, melahirkan kesimpulan berbeda. Ada apa ini Sudahlah, kita jangan bermain-main atau mempermainkan hasil audit. Hukum jangan dijadikan alat untuk politik praktis," tandasnya. ***

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Kaki Kanan Aktor Senior Dorman Borisman Dikubur di Halaman Rumah

Kamis, 02 Mei 2024 | 13:53

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

UPDATE

2.700 Calon Jemaah Haji Jember Mulai Berangkat 20 Mei 2024

Sabtu, 04 Mei 2024 | 13:49

Bertahun Tertunda, Starliner Boeing Akhirnya Siap Untuk Misi Awak Pertama

Sabtu, 04 Mei 2024 | 13:39

Pidato di OECD, Airlangga: Indonesia Punya Leadership di ASEAN dan G20

Sabtu, 04 Mei 2024 | 13:27

Jokowi: Pabrik Baterai Listrik Pertama di RI akan Beroperasi Bulan Depan

Sabtu, 04 Mei 2024 | 13:09

Keputusan PDIP Koalisi atau Oposisi Tergantung Megawati

Sabtu, 04 Mei 2024 | 12:49

Sri Mulyani Jamin Sistem Keuangan Indonesia Tetap Stabil di Tengah Konflik Geopolitik Global

Sabtu, 04 Mei 2024 | 12:40

PKB Lagi Proses Masuk Koalisi Prabowo-Gibran

Sabtu, 04 Mei 2024 | 12:26

Menko Airlangga Bahas 3 Isu saat Wakili Indonesia Bicara di OECD

Sabtu, 04 Mei 2024 | 12:11

LPS: Orang yang Punya Tabungan di Atas Rp5 Miliar Meningkat 9,14 Persen pada Maret 2024

Sabtu, 04 Mei 2024 | 11:58

PKS Sulit Gabung Prabowo-Gibran kalau Ngarep Kursi Menteri

Sabtu, 04 Mei 2024 | 11:51

Selengkapnya