Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) mendesak Presiden Joko Widodo untuk membubarkan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman menilai BPH Migas tidak efektif dan bahkan kontra produktif dengan berbagai kebijakan Pemerintah.
"Pengawasan mereka sangat lemah, tidak efektif. Bubarkan saja karena tidak ada manfaatnya, hanya membebani keuangan negara," ujarnya kepada wartawan, Selasa (20/3).
Yusri menambahkan BPH Migas tidak bekerja seperti yang diamanahkan melalui Perpres Nomor 141 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM. Dalam hal ini, seharusnya BPH Migas melakukan pengawasan secara menyeluruh terhadap distribusi BBM.
Tapi nyatanya, sambung Yusri, badan tersebut tidak bisa mendeteksi banyaknya dugaan pelanggaran distribusi.
Dia mencontohkan, di berbagai daerah banyak terjadi BBM yang tidak tepat sasaran. Semisal, banyaknya kalangan industri yang diduga menggunakan BBM penugasan. Harusnya, BPH Migas mendeteksi pelanggaran tersebut sejak awal. BPH Migas, lanjut dia, bisa bekerja sama dengan pihak kepolisian dan melakukan semacam operasi intelijen.
"Mereka punya anggaran tetapi diam saja atau pura-pura tidak tahu. BPH Migas baru teriak ketika sudah terjadi gejolak atau ketika mahasiswa melakukan demo," ujar Yusri.
Tidak hanya itu. Yusri juga menduga, bahwa BPH Migas tidak melakukan pengawasan terhadap kualitas BBM . Hal ini tentu sangat rawan, karena yang dirugikan adalah masyarakat sendiri.
"Pernah tidak mereka melakukan uji petik terhadap kualitas di tempat yang jauh dari kota? Sejauh ini tidak pernah. Padahal, yang seharusnya melakukan kontrol adalah BPH Migas," imbuhnya.
Di kesempatan yang berbeda, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin juga mendesak pembubaran BPH Migas.
Menurut Safrudin, banyak pernyataan BPH Migas yang tidak memperlihatkan kapasitas memadai. Salah satu contoh, ketika BPH Migas mempersoalkan sedikitnya konsumsi Premium. Padahal penurunan terjadi, antara lain karena perkembangan kendaraan terbaru yang memang diperuntukkan bagi BBM dengan oktan tinggi.
Belum lagi terbitnya Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.20/MENLHK/Setjen/KUM.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. Selain itu, tentu saja hasil penelitian antara KPBB dan Universitas Indonesia tentang emisi Premium yang menyebabkan kanker.
"Semua itu berpengaruh terhadap penurunan permintaan Premium," jelasnya.
Tentang kendaraan bermotor keluaran terbaru, misalnya, menurut Safrudin memang diperuntukkan bagi BBM oktan tinggi. Dan dari tahun ke tahun, akumulasi populasi semakin meningkat.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil keluaran tahun 2014-2017, adalah 879 ribu, 767 ribu, 862 ribu, dan 844 ribu. Sedangkan penjualan sepeda motor terbaru berdasarkan Asosiasi Sepeda Motor Indonesia (AISI) pada 2014-2017 adalah 7,9 juta, 6,5 juta, 5,9 juta, dan 5,9 juta.
Angka penjualan tersebut, tentu berpengaruh terhadap akumulasi populasi kendaraan bermotor keluaran terbaru. Dan untuk kota-kota besar, menurut dia bisa mencapai 80 persen.
"Dengan demikian, harusnya BPH Migas mengatakan bahwa Premium dihapus saja karena tidak sesuai dengan kendaraan bermotor baru. Bukan malah menghambat seperti sekarang" tutup Safrudin.
[nes]