INI soal Visa Waiver Jepang. Sejak 1 Desember 2014 pemerintah Jepang memberlakukan keringanan atau bebas VISA (VISA waiver) khusus untuk Warga Negara Indonesia (WNI) pemegang paspor-el yang akan berkunjung ke negeri matahari terbit itu.
Namun, ternyata tidak semua pihak punya pemahaman sama mengenai Visa Waiver itu. Bahkan, juga tidak oleh seluruh petugas maskapai penerbangan Jepang, All Nippon Airways (ANA) di Indonesia yang mestinya sudah katam soal itu.
Saya bersama istri dan seorang anak pun nyaris jadi korban tak bisa berangkat ke negeri Sakura itu, Sabtu (10/3) pagi. Dan, selama penerbangan tujuh jam Jakarta - Tokyo, kami betul-betul merasakan kecemasan hebat akibat "teror" mereka (pihak ANA).
Kami berangkat dari rumah sebelum salat subuh. Berharap bisa salat di bandara nanti. Tapi salat subuh pun lewat lantaran waktu habis berdebat dengan pihak ANA.
Saya tidak bisa membayangkan seperti apa kalau sampai menuruti mereka. Kami harus terpisah dengan rombongan besar, 18 orang yang terdiri menantu, anak, dan delapan cucu. Atau seluruh rombongan batal berangkat.
Tujuan pemerintah Jepang memberi Visa Waiver selain untuk mempererat hubungan Indonesia-Jepang, kebijakan itu juga diharapkan mendorong pariwisata Jepang. Agar semua wisatawan yang berasal dari Indonesia dapat berkunjung berkali-kali ke negeri sakura tersebut.
Kami check in di counter ANA pukul 04.30 WIB untuk jadwal keberangkatan 06.15 WIB. Visa Waiver disoal pihak ANA di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta. Visa Waiver Jepang kami dikeluarkan tahun 2015, berlaku tiga tahun hingga 26 Mei 2018. Sementara masa berlaku paspor kami bertiga hingga 30 Mei 2018.
Sesuai ketentuan, enam bulan sebelum berakhir, paspor harus diperpanjang untuk dapat berpergian ke luar negeri. Imigrasi tak akan mengizinkan keluar negeri apabila masa berakhir paspor tak sesuai ketentuan itu. Paling pahit, kalau toh memaksa berangkat juga diminta menandatangani formulir "seandainya ditolak oleh pihak Imigrasi negara tujuan maka seluruh akibatnya harus ditanggung sendiri."
Berdasar pertimbangan dan pengalaman itu kami memperpanjang paspor pada bulan Desember 2017 yang berlaku hingga 2022. Setelah itu kami mengajukan permohonan untuk mendapatkan Visa Waiver baru karena menganggap visa lama tidak berlaku. Pertimbangannya terulis pada ketentuan dalam sticker Visa yang melekat di paspor : "VISA waiver berlaku selama 3 tahun atau selama masa berlaku E-Paspor (mana lebih dulu)."
Mandiri Wisata, travel agent yang sudah bertahun-tahun jadi langganan kami yang mengurus pengajuan visa itu. Untuk ke Jepang kali ini bukan cuma kami bertiga, tetapi juga anak, menantu dan cucu -cucu. Jumlahnya 18 orang.
Namun, yang dapat visa cucu-cucu saya. Sedangkan kami bertiga, tidak. Kedutaan Besar Jepang di Jakarta seperti dikutip oleh pihak Mandiri Travel, beranggapan Visa Waiver saya masih berlaku. Tampaknya mereka berpegang pada masa berlaku paspor lama, berakhir 30 Mei 2018, sementara trip kami ke Jepang terjadi medio Maret. Clear.
Namun, kenyataan di lapangan lain. Subuh itu, pihak ANA bersikukuh kaku kami tak boleh berangkat. Mereka sudah mengontak pihak ANA dan Imigrasi di Tokyo, putusannya begitu. Visa sudah berakhir bersamaan dengan terbitnya paspor baru. Sebab, itu sama artinya, paspor lama tidak berlaku. Masuk akal juga.
Paspor lama memang saya lekatkan dengan paspor baru supaya mudah dibaca bersama apa ketentuan tertulis di situ. Saya ulangi : "VISA waiver berlaku selama 3 tahun atau selama masa berlaku E-Paspor (mana lebih dulu)". Tapi, paspor sebenarnya masih berlaku hingga 30 Mei 2018.
Lalu, bagaimana dengan pertimbangan pihak Kedubes Jepang RI di Jakarta? Mereka tak bisa menjawab. Inilah senjata saya. Setelah berdebat lebih satu jam, akhirnya mereka bikin solusi: boleh berangkat, tetapi harus menandatangani pernyataan di formulir yang mereka sediakan. Isinya : bersedia menanggung segala risiko jika ditolak pihak Imigrasi Jepang. Maksudnya, jika ditolak ya dideportasi dan seluruh biaya yang timbul menjadi tanggungan sendiri. Konsekuensi ini saya terima, daripada semua rombongan batal berangkat. Anak, menantu dan cucu-cucu tak bersedia berangkat tanpa kami ikut.
Putusan ini diambil pada detik-detik menjelang pesawat take off. Seluruh penumpang sudah naik pesawat. Sudah last calling. Akhirnya kami pun berlarian memasuki pesawat.
Penerbangan Jakarta - Tokyo sekitar tujuh jam. Praktis selama itulah kami merasakan kecemasan yang hebat. Beruntung dalam kabin pesawat ada wifi. Selama masa penerbangan itu saya memanfaatkan waktu untuk mengontak semua kawan yang punya relasi dengan Jepang dan yang saya anggap mengetahui soal visa ini. Dari pihak Kedubes RI di Jepang saya hubungi termasuk Dubes Arifin Tasrif, yang menjawab belasan jam kemudian. Dubes hanya mengirim nomer kontak Bob Nasution, bagian protokol KBRI, tanpa komentar.
Saya hubungi kawan lainnya, Ananda Setiyo Ivananto, yang punya relasi di Jepang karena praktis sudah tujuh tahun terakhir tinggal di sana. Ivan juga tak lupa mengirim nomor kontak Andri Sumaryadi staf KBRI. Namun, yang bersangkutan sedang berada di tanah air. Ivan menyarankan kami berpegang pada pernyataan Kedubes Jepang di Jakarta.
Saya juga menghubungi Rinaldi Syarif, sahabat yang mantan Wakil Direktur Utama Panasonic Gobel. Pendapatnya sama dengan Ivan. Tapi dia tambahkan supaya perbanyak dzikir.
Meskipun hampir semua memberi jawaban normatif, tidak bisa memastikan secara hukum dan adab diplomatik, namun cukup berperan mengurangi kecemasan.
Pernyataan Kedubes Jepang di Jakarta yang disampaikan pihak Mandiri Wisata memang tidak tertulis. Maka itu sulit sekali jadi pegangan. Inilalah pemicu kecemasan: bagaimana seandainya pihak Imigrasi Jepang menolak masuk. Ini jelas pekerjaan berat buat kami.
Pihak Mandiri Wisata yang saya kontak sejak awal, sejak pagi untuk menkonfirmasi pernyataan Kedubes Jepang, tidak membalas-balas WA hingga penerbangan sudah berjalan lima jam. Artinya sisa dua jam lagi penerbangan, sisa sekitar dua jam lagi drama di loket Imigrasi Jepang akan terjadi.
Saya mencoba tidur, tapi tak bisa. Penerbangan sisa 30 menit lagi, tiba-tiba muncul sapaan dari Sofyan pimpinan Mandiri Wisata via WA. " Siap, Pak! Ada yang bisa dibantu?"
Alhamdulillah. Saya ceritakan problem kami. Inilah jawaban Sofyan.Sisa waktu untuk landing tinggal 20 menit.
Saya kutip seutuhnya. "Pak Ilham mohon maaf sekali sepertinya orang saya ada salah penyampaian dengan orang bagian dokumen kami. Teddy tanya ke orang yang urus dokumen kalau Visa Jepang masih ada di paspor lama dan paspor lamanya sudah habis masa berlakunya apakah dengan paspor baru perlu urus visa Jepang lagi atau tidak apabila Visa Jepang yang di pasport lama masih berlaku. Orang saya yang urus dokumen bilang tidak perlu tinggal bawa saja visa yang masih berlaku di paspor lama. Yang jadi masalah adalah Teddy tidak memberitahu visa Jepang yang Pak Ilham punya adalah Visa Waiver bukan visa biasa. Mohon maaf sekali lagi Pak Ilham atas kesalahan dr Teddy. Mudah- mudahan Pak Ilham diizinkan masuk ke Jepang oleh Imigrasi Tokyo."
Masya Allah. Tidak banyak yang bisa dilakukan di saat genting seperti ini kecuali memanjatkan doa minta pertolongan Allah SWT. Persis dengan anjuran Rinaldi Syarif tadi, banyak berzikir. Sofyan memang menginformasikan juga masalah ini kepada Pak Rachmat Gobel ahli Jepang, utusan khusus Presiden RI untuk Jepang. Heru San, salah stafnya di Panasonic Gobel diutus ke Narita untuk membantu menjelaskan kepada pihak Imigrasi dalam bahasa Jepang.
Bismillah! Tiba di counter Imigrasi. Saya pelihara semangat. Istri saya duluan diproses, aman. Lalu putri saya, beres. Kini giliran saya. Petugas Imigrasi melembar-lembar paspor saya mencari sticker Visa Waiver. Saya tunjukkan di paspor lama. Dia tersenyum. Cop. Langsung dia lekatkan sticker izin landing untuk 15 hari di Jepang.
Sekali lagi terima kasih yaa Allah. Ini semua berkat pertolonganMu. Termasuk menenangkan jiwa dari rasa geram terutama pada agen travel Mandiri Wisata.
Saya tulis ini setelah tiba kembali di Tanah Air, Minggu (18/3) tengah malam, dengan pesan kita harus ekstra hati-hati mengurus dokumen perjalanan via agen, meskipun sudah langganan belasan tahun. Pihak ANA pun yang pelayanannya lamban dan kaku baik di Jakarta dan Jepang sendiri mesti belajar dari kasus ini. Sikap mereka kontraproduktif dengan tujuan pemerintan Jepang memberlakukan Visa Waiver.
[***]