Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapÂkan, anggaran belanja barang dan jasa senilai Rp 86 triliun lebih tidak diumumkan kepada publik dari total anggaran beÂlanja barang dan jasa pemerÂintah tahun 2017 sebesar Rp 994 triliun.
Padahal pada 2017 ada 241 kasus korupsi pengadaan baÂrang dan jasa yang menjerat 119 orang dengan kerugian negara senilai Rp 1,5 triliun.
Staf Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah memaparkan, ada beberapa kementerian dan lembaga yang tidak menguÂmumkan sebagian lelangnya kepada publik dan ada pula yang tidak mengumumkan total anggaran belanja barang dan jasanya kepada publik.
Di antaranya, Kementerian Keuangan senilai Rp18 triliun, Kementerian Kesehatan sebeÂsar Rp 6 triliun, dan Pemprov DKI Jakarta Rp 5 triliun.
Sementara, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian PUPR, dan KKP total anggarannya tidak dibuka pada publik sehingga tidak bisa dihitung berapa anggaran beÂlanja barang dan jasa yang tidak diumumkan kepada publik.
"Anggaran belanja barang dan jasa yang tidak diumumÂkan pada publik berpotensi dikorupsi karena tidak transÂparan," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Padahal berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) no. 54 tahun 2010, seluruh belanja barang dan jasa harus diumumÂkan dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) melalui
monev.lkpp.go.id. Namun berdasarkan situs tersebut, belanja barang dan jasa pemerintah tahun 2017 hanya senilai Rp 994 triliun dan yang diumumkan di RUP hanya Rp 908,7 triliun. "Jadi, ada sekitar Rp 86 triliun lebih anggaran belanja barang dan jasa tidak diumumkan pada publik," kata Wana.
Sementara, pada 2017 koÂrupsi pengadaan barang dan jasa ada sebanyak 241 kasus dengan 119 pelaku yang seÂluruhnya berlatar belakang sebagai panitia pengadaan. Nilai kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp 1,5 triliun. Modusnya antara lain,penyalahgunaan anggaran sebanyak 67 kasus, mark up sebanyak 60 kasus, dan kegiaÂtan atau proyek fiktif sebanyak 33 kasus.
Terkait hal ini, ICW merekoÂmendasikan agar pemerintah bersama Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) mengoptiÂmalkan penggunaan
e-catalog, e-purchasing untuk meminimalisir terjadinya potensi koÂrupsi mulai dari tahap perencanaan.
Kemudian agar setiap keÂmenterian, lembaga, dan peÂmerintahan mematuhi rekoÂmendasi yang dikeluarkan LKPP bila ditemukan adanya potensi pelanggaran atau keruÂgian negara yang ditimbulkan terkait dengan pengadaan baÂrang dan jasa.
"Selanjutnya, institusi penegak hukum juga perlu menerapkan pengenaan pasal pencucian uang bagi korporasi yang terbukti melakukan tinÂdak pidana korupsi agar aset yang dimiliki dapat dirampas dan dikembalikan ke negara," tandas Wana.
Direktur Penanganan Permasalahan Hukum LKPP, Setya Budi, mengaku prihatin dengan fakta yang diungkap ICW. Dia menyatakan data tersebut benar adanya, bahkan masyarakat bisa mengecek langÂsung di situs
monev.lkpp.go.id. "Saya melihat data tadi prihatin, karena di tengah keterbukaan ini tetapi masih ada yang tidak melaporkan," katanya. ***