. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami keterangan terpidana M. Nazaruddin soal adanya jatah alias persenan yang diterima ketua fraksi dari pembahasan anggaran proyek pengadaan KTP elektronik yang bernilai Rp 5,8 triliun.
"Begini, kalau informasi tentang dugaan jatah pada pihak-pihak tertentu itu sudah kita dapatkan sejak penyidikan," kata Jurubicara KPK, Febri Diansyah di Jakarta, Senin (19/2).
Dalam dakwaan Andi Narogong, disebutkan bahwa Demokrat mendapat jatah Rp 150 miliar, Golkar mendapat Rp 150 miliar, sementara PDIP Rp 80 miliar.
Adapun Ketua Fraksi Golkar saat itu dijabat oleh Setya Novanto, PDIP dijabat Puan Maharani, sementara Demokrat dijabat oleh Anas Urbaningrum.
Febri menerangkan, nama-nama penerima aliran uang haram dari proyek KTP-el ini juga sudah diuraikan dalam dakwaan Irman dan Sugiharto. Dalam dakwaan itu disebutkan bahwa proyek KTP-el dikuasai oleh tiga partai yakni PDIP, Partai Golkar dan Partai Demokrat.
"Sudah kita uraikan di dakwaan tapi kita kan perlu membedakan antara misalnya dalam satu pertemuan pihak-pihak tertentu dikatakan ada rencana jatah atau lokasi untuk orang-orang tertentu itu kita uraikan sebagai bentuk pembuktian ada indikasi persekongkolan sejak proses pembahasan anggaran ataupun proses pengadaannya," terangnya.
Meski telah diuraikan dalam dakwaan, KPK tetap harus berhati-hati dalam menjerat pihak yang diduga ikut terlibat. Menurut Febri, pihaknya perlu waktu untuk membuktikan semua keterlibatan pihak-pihak tersebut.
"Apakah orang-orang tersebut akhirnya menerima sejumlah uang atau sejumlah fasilitas hal itu tentu perlu pembuktian lebih lanjut itulah yang sedang kita lakukan saat ini," kata Febri.
"Ada proses yang tidak sebentar cukup panjang jadi ketika ada saksi yang mengatakan misalnya Nazaruddin mengatakan sesuatu hal itu tentu harus kita kroscek dan kita lihat kesesuaiannya dengan bukti-bukti yang lain poin pentingnya," imbuhnya.
Dalam perjalanan kasus ini, KPK sendiri belum pernah memeriksa Ketua Fraksi PDIP Puan Maharani. Sedangkan, Setya Novanto dan Jafar Hafsah, serta Anas Urbaningrum sudah pernah masuk ruang penyidikan. Bahkan, Setya Novanto sudah jadi pesakitan dalam kasus korupsi yang merugikan uang negara hingga Rp 2,3 triliun tersebut.
[rus]