Pemerintah diminta mewaspadai neraca perdagangan Indonesia. Jika dibiarkan defisit terus akan mengancam ekonomi nasional.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, sudah berulang kali mengingatkan pemerintah mengenai neraca perdagangan. Pasalnya, volume ekspor Indonesia boleh dibilang stagnan.
"Surplus perdagangan pada tahun lalu karena dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas. Begitu juga yang menyebabÂkan defisit pada 2016 karena anjloknya harga barang," ujarnya kepada Rakyat Merdeka di JaÂkarta, kemarin.
Menurut dia, volume ekspor tidak mengalami perbaiki seÂjak 2017. Karena itu, dia tidak heran jika neraca perdagangan Indonesia kembali defisit pada Januari 2018.
Selain itu, terjadi pergeseran struktur impor. Jika sebelumnya didominasi oleh bahan baku dan modal, maka belakangan ini impor didominasi oleh barang konsumsi.
"Memang berdasarkan data Bea Cukai, impor yang masih bahan baku. Tapi itu untuk otomotif yang tinggal pasang. Begitu juga bahan baku tekstil yang tinggal pasang," ujarnya.
Dengan kondisi ini, kata Enny, membuat industri dalam negeri terancam. Sebab, industri dalam negeri sulit bersaing dengan baÂrang impor. Selama ini, industri lokal dibebani dengan pajak dan biaya listrik mahal.
"Dengan daya beli yang menuÂrun, orang akan cari barang yang murah. Akibatnya banyak proÂdusen yang sekarang menjadi trader karena lebih menguntungÂkan," kata Enny.
Yang lebih mengerikan, kata dia, barang impor yang masuk ke Indonesia sudah bebas bea masuk alias nol persen. Hal ini membuat penerimaan negara juga berkurang.
Tertekannya neraca perdaÂgangan juga dipengaruhi oleh perjanjian perdagangan bebas (
free trade agreement/FTA). Sejak pemerintah ikut perjanÂjian perdagangan bebas dengan ASEAN, China, Jepang, dan lainnya membuat neraca perdaÂgangan semakin tertekan.
"Perdagangan bebas seharusnya bisa membuat kita memÂperluas perdagangan. Yang terÂjadi malah menjadi objek perdagangan karena basis produksi kita rendah," ujarnya.
Bahkan, dengan pembelakuan bea masuk nol persen membuat perusahaan asing yang mau investasi di Indonesia menguÂrungkan niatnya.
"Mereka lebih memilih inÂvestasi di Vietnam yang lebih aman, toh barang mereka tetap bisa masuk ke Indonesia gratis," katanya.
Dia menyayangkan, sikap pemerintah soal neraca perdaÂgangan ini seperti 'emang gue pikirin.' Pemerintah, kata dia, berpikirnya dengan barang muÂrah akan menekan inflasi, tapi mengancam industri.
"Inflasi boleh rendah, tapi nggak ada penyerapan tenaga kerja. Ini jadi bumerang juga," katanya.
Menurutnya, memang berÂdasarkan BPS jumlah tenaga kerja naik. Tapi yang naik sekÂtor informal dan hanya kerja sampai tujuh jam saja. Itu sama saja dengan pengangguran terseÂlubung. "Harus hati-hati baca data BPS," katanya.
Ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan, longgarÂnya standar dan kualitas barang impor menyebabkan neraca perdagangan Indonesia mengaÂlami defisit yang cukup dalam pada saat Indonesia membuka pasarnya ke internasional.
"Regulasi Indonesia sangat kurang, dan karena itu neraca perdagangan perdagangan menjadi korban karena FTA," katanya.
Heri mengatakan, saat ini Indonesia hanya memiliki 289 regulasi tentang impor, sedangkan Australia, India, dan Filipina masing-masing memiliki 909, 704, dan 674. Berdasarkan data trademap.org perdagangan InÂdonesia setelah mengesahkan FTA dengan ASEAN pada 2012 mengalami penurunan yang drastis.
Hal berbeda dilihat Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menurut dia, impor bahan baku dan bahan modal sepanjang Januari 2018 tercatat melonjak masing-masing sebesar 24,76 persen dan 30,90 persen menÂjadi indikator penguatan aktfitas produksi dan investasi industri dalam negeri.
Menurut Ani, peningkatan angka impor yang tajam, di satu sisi merefleksikan tingginya tingkat kebutuhan bahan baku untuk industri dalam negeri. Naiknya impor bahan baku dan barang modal menjadi indikaÂtor industri dan investasi yang sehat.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, total ekspor Indonesia sepanjang Januari mencapai 14,45 miliar dolar AS. Sedangkan, impornya sebesar 15,13 miliar dolar AS. Alhasil, neraca perdagangan Indonesia defisit 670 juta dolar AS. ***