Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) mengangÂgap keliru jika Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (KeÂmenkeu) menjadikan pengusaha sebagai sapi perah. Seharusnya pemerintah justru memberikan insentif agar pengusaha bisa terus berekspansi.
Ketua Umum Hipmi Bahlil Lahadalia mengapresiasi kinÂerja Menteri Keuangan yang bisa memperoleh pajak Rp 1.147 triliun dari target Rp 1.283 triliun. Sebab masih tetap lebih besar sekalipun ada program tax amnesty.
Bahlil memiliki rumusan tersendiri menghitung peroleÂhan pajak. Dengan pertumbuhan ekonomi 2017 sebesar 5,07 persen, perolehan pajaknya Rp 1.147 triliun, maka 1 persen pertumbuhan ekonomi berkontribusi ke pendapaÂtan negara Rp 229 triliun.
"Artinya kalau pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4 persÂen, pendapatan pajaknya hanya berkisar Rp 1.200-an triliun. SeÂdangkan target pajaknya sendiri Rp 1.385 dari total Rp 1.618 triliun," ujarnya kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Bahlil meragukan rumus yang digunakan Ditjen Pajak. KekhaÂwatiran justru timbul dari dunia usaha, lantaran bisa dijadikan lumÂbung perolehan pajak negara.
"Jangan-jangan kami dijadiÂkan sapi perah, karena dianggap memberi kontribusi signifikan terhadap pajak. Saya yakin, Dirjen Pajak lebih ngerti, tapi itu pemahaman kami yang bukan pegawai pajak," ungkapnya.
Dia membeberkan ada anggota Hipmi yang ditahan lantaran penegakan pajak. Diakui Bahlil jika rekan seprofesinya membuat kesalahan. Namun seharusnya ada cara lain yang bisa digunakan untuk mengakomodir kepentinÂgan kedua belah pihak.
Artinya, Ditjen Pajak bisa menjalankan tugasnya. Di sisi lain, pemerintah juga harus memikirkan nasib pegawai jika pemilik perusahaan tersebut ditangkap. Kemudian Bahlil meminta agar Ditjen Pajak tidak tebang pilih dengan mengistimeÂwakan pengusaha kelas atas.
"Terindikasi konglomeerat banyak yang mengemplang paÂjak, banyak yang melarikan diri, dan itu rahasia umum. Kalau mau tanya siapanya, langsung ke Dirjen Pajak. Jadi kita setuju penÂegakan itu dilakukan, tapi jangan tebang pilih," tegas Bahlil.
Selain itu, Dia mengungkapÂkan jika pelaku usaha perlu kepastian. Misalnya pasca tax amnesty, wajib pajak tidak akan dikorek-korek lagi. Namun PerÂaturan Pemerintah (PP) Nomor 36/2017 mengenai pengenaan PPh atas penghasilan tertentu berupa harta bersih yang diperÂlakukan atau dianggap sebagai penghasilan. Aturan ini meruÂpakan tindak lanjut dari program amnesti pajak di mana bila fiskus menemukan harta yang masih tersembunyi, aturan ini akan dipakai sebagai alatnya.
Selanjutnya, Bahlil meminta agar penggodokan Undang-UnÂdang Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan (KUP), UUPaÂjak Pertambahan Nilai (PPN), dan PPh pro pengusaha. Misalnya tarif PPh badan dari 25 persen menjadi 18 persen. Nantinya selisih tarif tersebut bisa digunakan untuk ekspansi ke sektor lain.
"Tarif PPN juga masih memÂberikan ruang untuk dipangkas, agar perputaran ekonomi kita akan berjalan. Kalo Dia (Dirjen Pajak) mendengar apa yang kami sampaikan, berarti pro pengusaha. Kalau tidak ya Dia tidak pro," katanya.
Bahlil menganalogikan, jika ingin makan buah jangan tebang pohonnya. Namun pohon tersebut harus dipupuk dan diberi vitamin agar buah yang dihasilkan seÂmakin banyak dan berkualitas.
"Akan keliru jika kemudian negara menjadikan pengusaha sebagai sapi perah. Sebab 76 persen dari total belanja negara menggantungkan ke pajak. Pajak itu yang memberi kontriÂbusi besar adalah pengusaha," tuturnya. ***