Berita

Ilustrasi/Net

Bisnis

Tentang Ernst & Young (EY) Dan Penghargaannya Bagi Sri Mulyani

KAMIS, 15 FEBRUARI 2018 | 11:44 WIB | OLEH: GEDE SANDRA

SEPERTI diberitakan New York Times (16/4/2015), kantor akuntan publik Ernst & Young (EY) pernah memiliki rekam jejak membantu Lehman Brothers merekayasa penipuan akunting menjelang kebangkrutan Lehman Brothers pada September 2008.

Pemerintah Federal New York melakukan gugatan yang mengalahkan EY di pengadilan, sehingga mewajibkan EY membayar ganti rugi US USD 10 juta (Rp 130 miliar). Putusan pengadilan lebih kecil dari tuntutan Jaksa Federal, yang meminta EY membayar ganti rugi sebesar USD 150 juta (Rp 1,9 triliun).

Perlu diingat, badai besar Krisis Finansial 2008 dimulai oleh kebangkrutan Lehman Brothers. Artinya, EY turut berkontribusi menciptakan krisis Finansial 2008. Kini, kepada EY juga, publik Indonesia diminta mempercayai data yang ia terbitkan tentang kesuksesan Sri Mulyani sehingga dianugerahi Best Minister Awards di Dubai minggu lalu. Menteri terbaik dunia diberikan oleh kantor akuntan publik yang pernah menipu? Yang penipuannya telah menciptakan krisis finansial dunia? Luar biasa.

Apalagi setelah ditelusuri, sebagian indikator pemberian penghargaan terkesan mengada-ada, bila tak ingin dikatakan hoax. Pertama, kemiskinan turun 40 persen dalam lima tahun terakhir? Menurut data BPS kemiskinan turun kurang dari 6 persen sepanjang lima tahun terakhir. Jauh sekali kesalahan ini.

Kedua, utang turun 50 persen? EY jelas menghina nalar publik Indonesia. Dipikir EY mungkin publik Indonesia tidak baca berita-berita atau mencari publikasi dari situs resmi pemerintah, yang mengabarkan fakta utang Indonesia meningkat terus setiap tahun.

Ketiga, transparansi, dikatakan meningkat sebanyak 3 persen setiap tahun. Saya mencoba membuka situs Transparency International (TI), didapati bahwa sejak tahun 2014, 2015, dan 2016 indeks persepsi korupsi Indonesia memang meningkat dari 34 ke 36 kemudian ke 37.

Tapi peningkatan ke 37 di tahun 2016 pun masih belum mampu membawa Indonesia ke kelas negara-negara di Asia yang memiliki  indeks persepsi korupsi di atas 50, bersama Singapura (88), Hongkong (77), Jepang (72), Bhutan (65), Taiwan (61), Brunei Darussalam (58), dan Korea Selatan (53). TI sendiri menilai kenaikan indeks Indonesia terlalu lambat bila ingin mengejar target indeks 50 di tahun 2019.

Indikator keempat, ketimpangan pendapatan. Ketimpangan dibilang membaik oleh EY. Padahal selama masa Sri Mulyani menjadi Menkeu, akibat kebijakan austerity-nya, Gini Ratio masih stagnan di level 0,39. Perlu diketahui, Indonesia masih sangat jauh dari kelas negara-negara kesejahteraan yang yang memiliki Gini Ratio hingga di bawah 0,30.

Indikator kelima, cadangan devisa. Cadangan devisa kita memang mencapai rekor, tapi bila dibandingkan dengan diri sendiri, bukan dengan tetangga. Harus diakui cadangan devisa Indonesia (USD 130 miliar) di tahun 2017 masih kalah jauh dari Singapura (USD 280 miliar) dan Thailand (USD 240 miliar). Padahal jumlah penduduk Singapura hanya 1/40 Indonesia, dan Thailand jumlah penduduknya ¼ Indonesia.

Indikator keenam, lapangan kerja. Ekonom Dradjad Wibowo kemarin (14/2) di acara diskusi DPP Partai Amanat Nasional (PAN) mencermati lonjakan lapangan kerja hingga ke 3,25 juta yang bagian terbesarnya, 1,09 juta masih disumbang oleh sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan, alias informal. Penambahan tenaga kerja di sektor retail sebanyak 1 juta pun diragukan karena di lapangan retail terlihat menurun.

Jadi dari enam indikator, dua di antaranya (penurunan utang dan penurunan kemiskinan) dicurigai sebagai hoax, tiga indikator (transparansi, ketimpangan pendapatan, dan devisa) menjadi tidak masuk akal bila dibandingkan negara sekawasan, dan hanya satu indikator yang kalaupun benar perlu banyak dikritisi.
Keterlaluan. Wajar bila akhirnya publik Indonesia mempertanyakan: Apa gunanya diberikan penghargaan oleh lembaga yang pernah menipu, dan dengan indikator-indikator yang tidak kredibel pula!?[***]


Pengamat Politik dan Ekonomi Lingkar Studi Perjuangan



Populer

KPK Kembali Periksa Pramugari Jet Pribadi

Jumat, 28 Februari 2025 | 14:59

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

UPDATE

Sinergi Infrastruktur dan Pertahanan Kunci Stabilitas Nasional

Senin, 10 Maret 2025 | 21:36

Indonesia-Vietnam Naikkan Level Hubungan ke Kemitraan Strategis Komprehensif

Senin, 10 Maret 2025 | 21:22

Mendagri Tekan Anggaran PSU Pilkada di Bawah Rp1 Triliun

Senin, 10 Maret 2025 | 21:02

Puji Panglima, Faizal Assegaf: Dikotomi Sipil-Militer Memang Selalu Picu Ketegangan

Senin, 10 Maret 2025 | 20:55

53 Sekolah Rakyat Dibangun, Pemerintah Matangkan Infrastruktur dan Kurikulum

Senin, 10 Maret 2025 | 20:48

PEPABRI Jamin Revisi UU TNI Tak Hidupkan Dwifungsi ABRI

Senin, 10 Maret 2025 | 20:45

Panglima TNI Tegaskan Prajurit Aktif di Jabatan Sipil Harus Mundur atau Pensiun

Senin, 10 Maret 2025 | 20:24

Kopdes Merah Putih Siap Berantas Kemiskinan Ekstrem

Senin, 10 Maret 2025 | 20:19

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Airlangga dan Sekjen Partai Komunis Vietnam Hadiri High-Level Business Dialogue di Jakarta

Senin, 10 Maret 2025 | 19:59

Selengkapnya