Indonesia tak sendiri lagi dalam upaya melawan resolusi minyak sawit oleh Parlemen Uni Eropa. Asosiasi industri sawit Eropa yang tergabung dalam European Palm Oil Alliance (EPOA) menyatakan siap membela produk minyak sawit Indonesia melawan diskriminasi.
Ketua EPOA Frans ClaasÂsen mengatakan, alasan memÂbantu minyak sawit Indonesia melawan diskriminasi parlemen Eropa karena adanya rasa saling membutuhkan.
"Kami adalah kawan IndoneÂsia di Eropa. Kawan yang sesÂungguhnya adalah kawan yang saling membutuhkan," ujarnya dalam pertemuan dengan para pemangku kepentingan sektor kelapa sawit Indonesia di JaÂkarta, kemarin.
Hadir dalam pertemuan terseÂbut antara lain Ketua Komisi
Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) Aziz Hidayat, Ketua Harian
Asosiasi Produsen BioÂfuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan, dan Direktur EkÂsekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Danang Girindrawardana.
Menurutnya, masih banyak kesalahpahaman tentang minyak sawit di Eropa. Ini dibuktikan dengan masih banyak kebijakan yang diskriminatif termasuk implementasi
food labeling.
"Kami ingin memberikan panÂdangan yang seimbang dan objekÂtif tentang kelapa sawit. Kami juga memfasilitasi dan mendukung aliansi industri nasional pada komitmen minyak sawit berkelanÂjutan di Eropa," katanya.
Menurut Claassen, EPOA hadir bukan untuk mempromoÂsikan minyak sawit Indonesia di Eropa saja, tapi untuk menunÂjukkan fakta yang sesungguhnya tentang kelapa sawit Indonesia. Baik terkait dengan manfaat minyak sawit maupun terkait isu-isu keberlanjutan.
"Anda tidak bisa sendiri melaÂwan Uni Eropa. Ada 28 negara anggota Eropa yang berbicara daÂlam berbagai bahasa. Dan, setiap negara itu, harus didekati dengan cara yang berbeda," tuturnya.
Untuk mengurangi tekanan terhadap produk minyak sawit Indonesia, EPOA melakukan komunikasi dengan sejumlah LSM di Eropa yang selama ini kritis terhadap industri kelapa sawit. EPOA sendiri menolak diskriminasi dan penolakan terhadap minyak sawit oleh Parlemen Uni Eropa.
Menurutnya, produk minyak sawit yang masuk ke Eropa 69 persen adalah produk minyak sawit berkelanjutan. Dan, tren penggunaan minyak sawit di Uni Eropa terus meningkat seiring peningkatan produksi minyak sawit berkelanjutan dari IndoÂnesia dan Malaysia.
Dia menambahkan, sektor kelapa sawit Indonesia sudah berkelanjutan dan mendukung pencapaian tujuh kriteria
SusÂtainable Development Goals (SDGs). Antara lain pengenÂtasan kemiskinan, pengembanÂgan ekonomi wilayah, serta kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. "Karena kami berkomitmen untuk mencapai 100 persen sawit yang masuk ke Uni Eropa adalah sawit yang berkelanjutan," katanya.
Ketua Komisi ISPO Aziz HiÂdayat mengatakan, keberadaan EPOA sangat membantu kamÂpanye positif minyak sawit Indonesia di Eropa. Termasuk terkait perkembangan sertifikasi ISPO. EPOA juga memberikan informasi yang objektif tentang kriteria-kriteria di dalam ISPO.
"Kami senang karena EPOA adalah mitra yang tepat untuk menjelaskan fakta obyektif tentang perkembangan isu keÂberlanjutan minyak sawit di Indonesia dalam rangka meÂmenuhi
Amsterdam Declaration fully implemented pada 2020," kata Aziz.
Duta Besar RI untuk Italia Esti Andayani mengatakan, Negeri Pizza mendukung Indonesia daÂlam penggunaan minyak kelapa sawit sebagai salah satu biofuel di pasar kawasan Uni Eropa.
"Dari awal Italia itu penduÂkung kita, di mana pun, mau di WTO (
World Trade OrganiÂzation) atau di Uni Eropa dan di Parlemen Eropa. Untuk isu kelapa sawit, Italia juga menduÂkung kita," ujarnya.
Menurut Esti, pemerintah Italia mendukung penggunaan minyak kelapa sawit di kawasan Uni Eropa karena negara terseÂbut membutuhkan minyak sawit untuk bahan produk-produknya. Mulai dari produk makanan hingga kecantikan.
"Saya bertemu dengan PresiÂden Ferrero Rocher, produk cokelat dan Nutela mereka seÂgala macam, pakai minyak keÂlapa sawit. Karena minyak sawit dibandingkan minyak-minyak yang lain lebih tahan lama dan tidak berubah menjadi basi. Masa kedaluwarsa produknya menjadi lebih panjang," ungkap Esti. ***