Rendahnya nilai ekspor disinyalir disebabkan belum optimalnya Indonesia di dalam memanfaatkan potensi pasar. Pemerintah disarankan mengevaluasi produk tujuan perdagangan luar negeri.
Kekecewaan Presiden Jokowi terhadap kinerja perdagangan Indonesia harus dijadiÂkan alarm kepada pihak terkait untuk melakukan koreksi dan memacu kinerja untuk mengerek kinera ekspor.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional KaÂmar Dagang dan Industri (KaÂdin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani menilai, nilai ekspor Indonesia tertinggal dibanding negara asia tenggara lainÂnya disebabkan banyak faktor. Antara lain, pemanfaatan kerja sama perdagangan, free trade agreement (FTA) belum digrap optimal.
"Pemanfaatkan FTA baru 30 sampai 35 persen, padahal melalui kerja sama ini bisa meningkatkan kinerja ekspor. Vietnam telah banyak ambil (pangsa pasar kita) dari FTA (kerja sama). Saya kira kita harus lebih kompak untuk memÂperkuat, bagaimana bisa meÂmanfaatkan lebih banyak," kata Shinta kepada
Rakyat Merdeka, pada akhir pekan.
Lemahnya kinerja ekspor, lanjut Shinta, juga disebabkan Indonesia tidak piawai dalam memilah produk/komoditas yang tepat untuk tujuan ekspor. Pemerintah perlu melihat lebih dalam produk apa yang potenÂsial di negara tujuan. Selain itu, diharapkannya, pemerintah mempersiapkan mendukung penguatan daya saing produk tersebut di dalam negeri.
Untuk pangsa pasar, hinta melihat, tidak ada persoalan yang signifikan. Karena, upaya memÂperluas kerja sama perdagangan sebenarnya terus dilakukan Kementerian Perdagangan (KeÂmendag).
Menurutnya, saat ini ada 18 perundingan perdagangan bebas yang tengah dikejar Kemendag baik itu dengan negara-negara di Eropa, Asia, dan Afrika.
"Ini hanya tinggal masalah waktu saja untuk menyelesaikan kesepakatan. Dan, agar kesepakatan itu bisa meningkatkan ekspor maka produk kita harus siap, industrinya harus siap. Kita sudah ketinggalan kereta, semua harus dipercepat dan jalan secara paralel," ujarnya.
Dia menambahkan, untuk menciptakan produk berdaya saing maka iklim bisnis di dalam negeri harus baik mulai dari infrastruktur, upah buruh, dan dukungan pemerintah.
"Vietnam berkembang peÂsat, karena pemerintah di sana banyak memberikan dukungan, termasuk soal kemudahan perizinan," ungkapnya.
Bagaimana dengan kritik Presiden terhadap kinerja
IndoÂnesia Trade Promotion Center (ITPC)? Shinta mengaku tidak setuju dibubarkan. Karena, renÂdahnya nilai ekspor Indonesia, belum tentu kesalahan ITPC.
"Tidak perlu dibubarkan, cuÂkup dievaluasi," imbuhnya.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi belum lama ini mengÂkritik kinerja ekspor Indonesia. Karena, nilainya kalah denÂgan negara Asia Tenggara lain. Disebutkannya, nilai ekspor Indonesia pada 2017 hanya 168 miliar dolar AS. Jumlah itu kalah dengan Thailand sebesar 231 miliar dolar AS, Malaysia 189,5 miliar dolar AS dan Vietnam 160 miliar dolar AS. Padahal, jumlah penduduk dan sumber daya Indonesia jauh lebih besar dari negara-negara tersebut.
Menurutnya, lemahnya kiÂnerja ekspor Indonesia tidak lepas dari lemahnya kinerja Kemendag dalam membuka pasar baru dan melakukan proÂmosi di luar negeri. Jokowi meminta agar ITPC dibubarkan jika tidak produktif.
Jago Kandang Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D. SugiÂharto mengungkapkan, untuk sektor kendaraan bermotor, kinerja ekspor Indonesia kalah dengan negara Asia Tenggara karena produk yang dhasilkan tidak sesuai dengan selera pasar dunia.
"Infrastruktur dan teknologi industri di Indonesia juga masih tertinggal bila dibandingkan Malaysia dan Thailand. Orang kan beli produk melihat kualiÂtasnya. Akibatnya kita seperti sekarang hanya jago kandang," kata Jongkie.
Berdasarkan data Gaikindo, ekspor kendaraan bermotor Indonesia dalam kondisi utuh (CBU) selama 2017 tercatat sebesar 214.971 unit. Jumlah itu lebih kecil dari Thailand yang berhasil mengeskpor 1,2 juta unit, Malaysia 600 ribu unit, dan Vietnam sekitar 300 ribu unit.
Jongkie menambahkan, jika ekspor kendaraan meningkat maka kualitas mutlak perlu ditingkatkan. Selain itu harus pandai membaca selera pasar. ***