Di penghujung jabatan, Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Janet Yellen kemarin memutuskan menahan suku bunga bunga acuan (Fed Funds Rate/FFR). Keputusan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) ini dipastikan pasca The Fed dipimpin Jerome Powell. Lantas bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?
Direktur Group Surveilans dan Stabilitas Sistem Keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) M Dody Ariefianto meÂnilai, keputusan Yellen di akhir jabatan memang sudah dipredikÂsi. Karena kenaikan FFR akan ada di masa kepemimpinan Jerome Powell, yang resmi menÂjabat mulai 3 Februari.
Doddy menyebut, The Fed kemungkinan menaikkan suku bunga acuan hingga tiga kali tahun ini, yaitu Maret, Juni, dan September. Karena itu dia cemas, kenaikan suku bunga global akan mengganggu upaya penurunan suku bunga di dalam negeri.
"Padahal, tren penurunan suku bunga domestik sudah dimulai sejak Oktober 2014. Namun tren tersebut sebenarnya akan terus berlanjut sampai ada tekanan dari
The Fed," ucapnya kepada
Rakyat Merdeka. Doddy lalu membeberkan, sejak Oktober 2014 hingga akhir 2017 suku bunga deposito indusÂtri perbankan menurun sebanyak 164 basis poin (bps). Sedangkan selama 2017, ketika BI menuÂrunkan dua kali suku bunga acuan masing-masing 25 bps, rata-rata suku bunga deposito bank turun 56 bps, dari 6,08 persen menjadi 5,52 persen.
"Hal itu juga menunjukkan liÂkuiditas bank semakin membaik. Likuiditas akan tetap longgar hingga tahun ini. Sedangkan tren penurunan suku bunga akan berlangsung hingga Mei 2018, meskipun cenderung melandai," kata Dody.
Berdasarkan riset LPS, selama 2017 terjadi penurunan suku bunga khusus perbankan (
speÂcial rate) yang signifikan dan masih akan berlanjut.
"Tren suku bunga ini penting bagi LPS untuk menentukan keÂbijakan penjaminan nantinya," tutur Dody.
Sementara, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk (PermaÂtaBank) Josua Pardede melihat, Indonesia akan jauh lebih siap saat FFR dikerek. Sebab, kata Josua, ekonomi Indonesia masih positif dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga dalam kondisi stabil, sehingga diharapÂkan dapat menjadi penopang dari tiap dampak kebijakan AS.
"Reformasi pajak yang diÂlakukan AS akan mendorong pertumbuhan ekonomi AS jadi 2,2-2,5 persen. Dengan ekonomi AS membaik dapat mendorong penguatan dolar AS untuk jangÂka pendek dan menengah. KonÂdisi ini masih positif dampaknya bagi Indonesia," ujarnya kepada
Rakyat Merdeka.
Josua kemudian memprediksi dengan adanya reformasi pajak itu dapat mendorong Federal Reserve menaikkan suku bunga sebanyak 2-3 kali pada 2018.
Meski begitu, katanya, IndoneÂsia perlu mengantisipasi dampak kebijakan reformasi pajak AS tersebut. Dan Bank Indonesia (BI) sendiri, cenderung akan pertahankan suku bunga pada 2018. Ditambah BI juga pastinya menjaga kestabilan nilai tukar rupiah agar dapat menjadi katalis positif untuk Indonesia.
"Salah satu prasyarat investor global investasi, yaitu kestabilan nilai tukar. Bila investasi baik tetapi nilai tukar tak stabil, maka appetite jadi tidak terlalu besar," tambah Joshua.
Sebelumnya,
The Fed memÂpertahankan tingkat suku bunga tidak berubah dari level 1,25 persen hingga 1,5 persen. Namun, di sisi lain mereka juga menyataÂkan bahwa inflasi kemungkinan meningkat tahun ini. Hal terseÂbut meningkatkan ekspektasi biaya pinjaman akan terus naik di bawah pimpinan Powell.
Di bawah kepemimpinan PowÂell,
The Fed diharapkan menerapkan kebijakan yang sepandangan dengan Yellen, yang mempelopori langkah bertahap untuk menjauh dari suku bunga nol persen. Hal itu diadopsi untuk memulihkan ekonomi dan memacu pertumbuhan lapangan kerja setelah resesi 2007-2009.
"
The Fed, yang menaikkan suku bunga tiga kali tahun lalu dan pada Desember 2017, meraÂmalkan tiga kali kenaikan untuk tahun ini, dengan mengatakan bahwa tingkat kenaikan bertaÂhap lebih jauh akan diperlukan. Rentang target suku bunga federal saat ini adalah 1,25 persen sampai 1,50 persen," terang Yellen dalam keputusan
The Fed. ***