Berita

Hukum

Pemerintah Dan DPR Ingin Menarik Kembali Hukum Penjajah

SABTU, 03 FEBRUARI 2018 | 09:49 WIB | LAPORAN: ALDI GULTOM

Pemerintah dan DPR seolah membawa kembali zaman kolonialisme ke era sekarang lewat pembahasan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Hal itu dikatakan Ahli Hukum Pidana, Hery Firmansyah Yasin, dalam diskusi "RKUHP Anti Demokrasi?" di Gado-gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu pagi (3/2).

Padahal, tahun 2006 silam, Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP) melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Kala itu uji materidiajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum alias pasal karet.


Herry katakan, pasal penginaan penguasa sudah diatur dalam KUHP buatan penjajah Belanda dua abad lalu. Kalau menyinggung putusan MK tahun 2006, pasal-pasal karet  tersebut dicabut, dengan kata lain pasal itu sudah tidak mengikat lagi. Berarti, MK menganggap ada nilai norma lebih tinggi yang diganggu oleh keberadaan pasal itu.

"Ssemangat yang harus kita tangkap dalam pasal ini adalah digunakan oleh kolonial untuk membungkam aktivis yang menyerang kepentingan kolonial. Kalau dihidupkan kembali, apakah akan kembali menarik hukum zaman kolonial?" jelas Herry.

Tambahnya, pemerintah seolah mencemaskan kebebasan berpendapat yang terlalu longgar. Padahal, dalam alam menyatakan pendapat yang bebas, ada beda jelas antara kritik dan hinaan.

"Kalau singgung kebijakan presiden dan wapres, tiap orang akan bisa ditarik ke ranah pidana. Dengan melihat sejarah hukum kolonial, LSM akan kesulitan sekali dengan pasal-pasal ini. Ketika memberi kritik dengan satu kasus, dianggap harus punya bukti kuat lalu setiap manusia di Indonesia akan jadi penyidik," ucap Herry..

Upaya penghidupan lagi pasal penghinaan presiden dan wakil presiden terungkap dari Pasal 263 draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018. Dikatakan di sana, seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dapat dipidana penjara paling lama lima tahun.

Namun, konten yang disebarluaskan tidak bisa dikategorikan sebagai penghinaan apabila dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran dan pembelaan diri. [ald]

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

UPDATE

KPK Siap Telusuri Dugaan Aliran Dana Rp400 Juta ke Kajari Kabupaten Bekasi

Rabu, 24 Desember 2025 | 00:10

150 Ojol dan Keluarga Bisa Kuliah Berkat Tambahan Beasiswa GoTo

Rabu, 24 Desember 2025 | 00:01

Tim Medis Unhas Tembus Daerah Terisolir Aceh Bantu Kesehatan Warga

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:51

Polri Tidak Beri Izin Pesta Kembang Api Malam Tahun Baru

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:40

Penyaluran BBM ke Aceh Tidak Boleh Terhenti

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:26

PAN Ajak Semua Pihak Bantu Pemulihan Pascabencana Sumatera

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:07

Refleksi Program MBG: UPF Makanan yang Telah Berizin BPOM

Selasa, 23 Desember 2025 | 23:01

Lima Tuntutan Masyumi Luruskan Kiblat Ekonomi Bangsa

Selasa, 23 Desember 2025 | 22:54

Bawaslu Diminta Awasi Pilkades

Selasa, 23 Desember 2025 | 22:31

Ini yang Diamankan KPK saat Geledah Rumah Bupati Bekasi dan Perusahaan Haji Kunang

Selasa, 23 Desember 2025 | 22:10

Selengkapnya