Media sosial sekarang bagian dari sejarah manusia yang sulit dihindari dan sulit dibendung. Bahkan dalam menghadapi tahun politik 2018 ini sebagian besar masyarakat masih sering memakai media sosial yang ada di dunia maya untuk berkampanye memenangkan calon pemimpinnya.
Namun demikian, masyarakat diimbau untuk tidak memanfaatkan media sosial dengan membawa isu SARA.
"Agar media sosial itu dapat digunakan secara arif, tentunya dibutuhkan kecerdasan dari masyarakat pengguna media sosial itu sendiri. Lalu ketika ada informasi maka kita tidak serta merta menerima pesan informasi tersebut sebelum mengetahui secara jelas asal-usulnya," ujar Wakil Rektor III bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Universitas islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Waryono Abdul Ghafur.
Selain itu, masyarakat juga harus mempunyai kesadaran transendental yaitu sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu yang melampaui pemahaman terhadap pengalaman biasa dan penjelasan ilmiah ketika mau membuat berita. Apalagi berita itu kalau mau disampaikan ke orang lain.
"Kesadaran transendental ini saya pikir sebagai benteng kita agar kita tidak mudah membuat berita berita hoax, apalagi yang bertujuan untuk memecah belah. Ini akan gawat sekali bangsa kita nantinya kalau masyarakatnya terpecah belah," ujar peraih pascasarjana Konsentrasi Hubungan Antar Agama, Filsafat Islam dari UIN Sunan Kalijaga ini.
Ia khawatir penggunaan isu SARA di dunia maya ini sengaja dimainkan oleh kelompok-kelompok yang ingin membuat masyarakat bangsa ini terpecah. Apalagi kalau yang melihat informasi itu adalah orang yang awam.
"Ini yang harus kita waspadai. Dalam berbagai kesempatan saya juga sering menyampaikan bahwa kita tidak perlu menggunakan bahasa agama dalam Pilkada nanti. Karena bahasa agama itu sangat sensitif dan takutnya bisa disalahgunakan oleh kelompok-kelompok tertentu atau kelompok radikal untuk memecah belah masyarakat," katanya.
Pasalnya, lanjut dia, orang akan mudah tersentuh dan mungkin juga akan sangat emosional ketika agamanya itu merasa dihina, dicaci maki dan sebagainya.
"Jadi hindarilah menggunakan bahasa agama, tidak usah memakai dalil macam-macam misalnya mengatakan tidak usah memilih orang yang beda agama dari dalil ini, atau menyebut bahasa agama untuk dialamatkan kepada orang lain yang beda agama, tentunya itu tidak pas," kata pria kelahiran Cirebon, 10 Oktober 1972 ini.
[wid]