AGAR mudah, dengan laju pertumbuhan penduduk konstan 1,27 persen per tahun untuk tahun 2016-2018, maka estimasi jumlah penduduk Indonesia sebanyak 265,3 juta jiwa tahun 2018.
Diketahui konsumsi beras sebesar 7,73 kg/kapita/bulan per Maret 2017. Apabila konsumsi konstan, maka kebutuhan konsumsi beras sebesar 2,05 juta ton per bulan atau 24,61 juta ton beras per tahun 2018.
Di sinilah persoalan perhitungan ekonomi surplus beras. Estimasi jumlah konsumsi beras sangat rendah. Rendah dibandingkan estimasi produksi padi, yang jumlah produksi diperoleh dari perkalian antara hasil survey produktivitas dikalikan survei luas lahan panen padi. Yang datanya tahun 2016-2018 tidak dipublikasian.
Ada proses dari gabah kering panen hingga menjadi beras. Beras disimpan selama 3-4 bulan tanpa pengawetan, selain pengeringan kadar air sehingga volume beras menyusut.
Luas panen dicocokkan menggunakan satelit. Memotret pada luasan terkecil 900 meter persegi. Penggunaan drone dapat menaikkan kualitas data luas panen padi, namun terkendala keterbatasan alokasi dana APBN. Bersikukuh pada metoda menghitung luas panen dibandingkan mensurvey neraca jumlah beras di penggilingan padi, stok yang disimpan di gudang petani produsen, gudang penggilingan padi, stok rumah tangga, gudang swasta, gudang Bulog, dan gudang kontainer di kawasan pelabuhan, kebutuhan benih, dan beras selundupan memperbesar kesalahan perhitungan surplus beras.
Apabila Perum Bulog diwajibkan untuk membeli semua beras petani dari pasca produksi hingga eceran di Indonesia sebagai negara etatisme dan dengan harga beras eceran sebesar Rp 11.425/kg, maka diperlukan anggaran sebesar Rp 281,17 triliun.
Apabila perhitungan anggaran menggunakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan beras, maka yang terjadi adalah kualitas beras Bulog menjadi rendah dan dana fleksibilitas pun tidak mampu membuat Bulog mampu mengisi gudang secara penuh. Ini karena HPP selalu ditetapkan lebih rendah dibandingkan harga beras berkualitas medium dan premium di pasar dalam negeri. HPP didisain lebih rendah selain karena alasan ketersediaan alokasi dana APBN, juga untuk menjaga stabilitas inflasi yang ditimbulkan atas kenakan harga beras eceran.
Beras berkutu, banyak pecah, berubah warna, dan berbau itu adalah konsekuensi tidak langsung disain HPP. Itu terjebak ketergantungan ketersediaan dana pembiayaan APBN yang likuiditasnya bersumber dari utang negara.
Permintaan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 5 triliun pun musti diberikan secara terlambat dalam dua tahap, sekalipun untuk perbaikan sistem pergudangan Bulog. Akibatnya adalah skenario Rp 281,17 triliun, setengahnya dalam skenario disain HPP, termasuk skenario penugasan stok beras 3,7 juta ton seharga Rp 42,27 triliun, atau setengahnya menjadi tidak implementatif. Sebuah tantangan manajemen beras Bulog sebagai pengendali harga pasar berkualitas prima.[***]
Sugiyono MadelanPeneliti INDEF; Dosen Pascasarjana Magister Manajemen Universitas Mercu Buana Jakarta, dan Tenaga Ahli Anggota DPR RI