2 Jenderal Polisi Jadi Gubernur Sementara Keputusan Mendagri Tjahjo Kumolo mengusulkan dua jenderal polisi sebagai penjabat (Pj) Gubernur menuai polemik. Beragam kalangan menolak karena dianggap bertentangan dengan UU Polri. Presiden Jokowi yang sedang melakukan lawatan ke luar negeri kena getah karena ikut diseret-seret dalam polemik ini.
Polemik mencuat setelah Kabagpenum Kombes Martinus Sitompul mengungkapkan ada dua perwira tinggi Polri yang akan menjadi penjabat gubernur. Mereka adalah Asisten Operasi Kapolri Irjen M Iriawan yang akan menjadi pelaksana tugas Provinsi Jawa Barat dan Kadiv Propam Polri Irjen Martuani Sormin untuk Provinsi Sumatera Utara. Hal ini disampaikan Martinus usai rapat pimpinan Polri di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Kamis, kemarin.
Dikonfirmasi terpisah, Mendagri Tjahjo Kumolo membenarkan informasi ini. Dia bilang, dua nama tersebut memang usulannya sendiri setelah berdiskusi dengan Menkopolhukam, Kapolri dan Wakapolri. Pj Gubernur ditunjuk untuk menggantikan peran gubernur yang habis masa jabatannya.
Kenapa memilih jenderal polisi? Menteri asal PDIP ini beralasan Kemendagri kekurangan sumber daya terutama pejabat madya. Sementara dalam aturan disebut penjabat (Pj) Gubernur diisi oleh pejabat tinggi madya atau setara dengan eselon I A dan eselon I B. Menurut Tjahjo, dua orang calon Pj tersebut dengan setara pejabat tinggi madya. Dia bilang tak mungkin melepas pejabat eselon I untuk mengisi Pj gubernur di 17 Provinsi. Bisa-bisa Kemendagri kosong karena kehabisan pejabat madya. Tjahjo juga menegaskan, dua nama jenderal tersebut baru sebatas usulan, dan baru akan benar-benar resmi ketika ada keputusan dari Presiden.
Kapuspen Kemendagri Arief M Edie menambahkan pemilihan polisi sebagai penjabat gubernur sudah pernah dilakukan yaitu di Sulawesi Barat dan Aceh yang diisi oleh Irjen Carlo Tewu dan Mayjen Sudarmo. Dua provinsi diisi oleh jenderal polisi karena tergolong rawan. Dia juga menyebut, Jabar dan Sumut termasuk daerah yang rawan konflik di Pilkada nanti. Jika direalisasikan, M Iriawan atau biasa disapa Iwan Bule akan menggantikan Ahmad Heryawan yang habis masa tugasnya per 13 Juni 2018 nanti. Sementara Martuani ditugaskan menggantikan Tengku Erry yang habis masa jabatannya per 17 Juni 2018.
Usulan langsung menuai polemik. Sejumlah kalangan ramai menolak karena dianggap bertentangan dengan Undang-undang Polri. Ketua Advokasi Hukum Demokrat Ferdinand Hutahean menilai keputusan Tjahjo tersebut rawan memunculkan konflik kepentingan di Pilkada 2018.
Soalnya, di Pilgub Jabar PDIP mencalonkan jenderal polri aktif yaitu Irjen Anton Charliyan sebagai cawagub yang berpasangan dengan TB Hasanuddin. Selain itu, kebijakan Tjahjo juga dinilai melanggar undang-undang Polri yang melarang anggota Polri aktif terlibat dalam kegiatan politik dan menempati jabatan di luar instansinya.
Wakil Ketua Dewan Pembina Demokrat, Agus Hermanto juga menilai kebijakan telah mencederai demokrasi. Pasalnya, PJ kepala daerah saat Pilkada merupakan tupoksi (tugas, pokok dan fungsi) pejabat sipil eselon I atau II. Sementara, kata Agus, tupoksi utama dari kepolisian adalah untuk menegakkan hukum yang harus didahulukan daripada tugas-tugas lainnya. "Memang Plt (pelaksana tugas) gubernur itu kewenangan dari Mendagri. Namun kita harus menggunakan mahzab yang jelas," kata Agus, di gedung DPR, kemarin.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah juga mempertanyakan keputusan tersebut. Dia bahkan menyeret-nyeret Presiden Jokowi dalam polemik ini. Dia meminta Jokowi menjelaskan keputusan Tjahjo tersebut. "Saya kira ya mestinya sih Pak Jokowi yang mengambil keputusan. Apa maksudnya, apa argumennya?" kata Fahri di Kompleks DPR, Jakarta kemarin.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai alasan Tjahjo memilih dua jenderal polisi untuk mencegah konflik, tidak tepat. Dia menegaskan masalah penanganan konflik maupun gangguan keamanan merupakan tugas dari aparat penegak hukum, bukan tugas pemerintahan. Fadli menilai langkah Tjahjo ini bisa menimbulkan berbagai keraguan di masyarakat untuk Pilkada yang demokratis. "Kalau itu terjadi maka bisa mengarah pada Pilkada curang dengan mengerahkan mesin birokrasi dan sebagainya," kata Fadli.
Ada pun Wasekjen PPP Achmad Baidowi menilai keputusan tersebut sah-sah saja asalkan memenuhi persyaratan dari aspek kemampuan maupun aspek kepangkatan. Menurut dia, yang terpenting adalah perwira Polri tersebut bisa menjaga netralitas. "Tinggal sekarang apakah Presiden setuju atau tidak," kata Baidowi, kemarin.
Menanggapi beragam penolakan tersebut, Tjahjo bergeming. Dia tak akan mengubah keputusannya tersebut. Malah ia berani untuk mempertaruhkan jabatannya untuk menjamin netralitas para jenderal polisi yang akan ditunjuk sebagai Pj Gubernur. "Saya pertaruhkan pertanggungjawaban saya pada Presiden. Tahun kemarin juga aman, Sulawesi Barat, Aceh, aman, Ini (semata-mata) perlu figur yang gampang berkoordinasi," kata Tjahjo, kemarin. Tjahjo yakin betul netrallitas Pj gubernur karena penunjukkan baru dilakukan pada pertengahan Juni, jelang berakhirnya proses Pilkada 2018. "Kecuali sekarang diganti, orang boleh curiga," katanya.
Sementara, Wakapolri Komjen Syafruddin membantah institusinya mengusulkan pemilihan dua nama jenderal polisi tersebut. Ia juga membantah telah mengeluarkan pernyataan dalam penutupan rapat pimpinan Polri pada Kamis kemarin. "Itu wacana dari Martinus. Bukan dari saya," kata Syafruddin, kemarin.
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto juga irit bicara mengenai polemik ini. "Itu sudah dijelaskan Pak Martinus. Saya tidak mau komen," kata Setyo, kemarin.
Pengamat kepolisian dari UI Prof Bambang Widodo Umar mengatakan, meski hanya menjadi penjabat sementara, Iriawan dan Martuani berpotensi melanggar aturan. Dalam UU No 2/2002 tentang Kepolisian disebutkan dalam Pasal 23 bahwa anggota Polisi harus netral dalam menjalankan tugas. Pasal 28 juga menyebutkan anggota polisi tidak boleh melibatkan diri pada kegiatan politik praktis dan jika akan menduduki jabatan di luar Polri harus mengundurkan diri lebih dahulu.
Bambang menegaskan, bahwa tugas kepolisian sebagai alat negara yang berperan sebagai penegak hukum, bukan alat politik. "Jadi kalau mau menjabat harus keluar dulu meski sementara," kata Bambang, saat dikontak
Rakyat Merdeka, tadi malam.
Terkait alasan keamanan yang disampaikan Kemendagri, Bambang menilai alasan tersebut tak logis. Menurut dia, persoalan keamanan dan ketertiban adalah tugas Polri dalam hal ini Kapolri dalam lingkup nasional dan Kapolda di daerah. ***