Ketua DPR Bambang Soesatyo tak mau mengandalkan pencitraan dalam upaya memperbaiki lembaganya. Dia ingin mengubah citra negatif yang menempel di DPR menjadi positif dengan peningkatan kinerja dan kualitas produk, membangun suasana dialogis dengan pemerintah dan masyarakat, serta responsif terhadap persoalan bangsa dan negara.
"Peningkatan kinerja itu harus dimulai dengan menyamakan persepsi di antara semua unsur atau kekuatan politik di DPR. Semua fraksi harus menerima kenyataan tentang persepsi buruk masyarakat terhadap DPR seperti institusi paling korup, tidak produktif karena nyaris tidak pernah mencapai target program legislasi nasional (Prolegnas), dan juga dinilai malas karena tingkat kehadiran yang rendah pada rapat-rapat alat kelengkapan dewan (AKD)," kata politisi yang akrab disapa Bamsoet ini di gedung DPR, Jakarta, Senin (22/1).
Dia merasa, selama ini, nyaris tidak ada upaya maksimal untuk mengubah persepsi negatif itu. DPR bahkan memperlihatkan gelagat tidak peduli, sehingga kemudian dinilai publik tidak punya sensitivitas untuk menjaga marwahnya sendiri.
"Kecenderungan negatif seperti itu terpelihara karena DPR tidak berupaya membangun komunikasi yang baik dan efektif dengan publik. Dalam menyikapi keceman, seringkali reaksi bukannya atas nama institusi, melainkan cenderung personal dan partisan. DPR seperti tidak punya juru bicara yang sigap merespons ketika institusi menjadi target cercaan publik," tuturnya.
Bambang tak ingin membiarkan kondisi ini terus berlanjut. Kata dia, DPR harus segera memperlihatkan semangat perubahan, sejalan dengan perubahan persepsi publik terhadap pemerintah yang terus membaik. Semua elemen di DPR harus didorong untuk peduli dan prihatin terhadap persepsi negatif publik pada lembaganya. Selanjutnya, DPR harus mampu ada peningkatan kinerja di hadapan masyarakat.
"Jangan pernah berasumsi bahwa perbaikan citra DPR hanya diwujudkan melalui strategi pencitraan. Masyarakat tidak bisa dikelabui dengan strategi pencitraan. Adalah pepesan kosong jika kerja pencitraan tidak dilengkapi dengan kerja nyata atau produktivitas," ucapnya.
Pada November 2017, DPR dan Pemerintah sudah memutuskan 50 RUU masuk dalam Prolegnas 2018 prioritas. DPR mengajukan 31, Pemerintah mengajukan 16, dan DPD mengusulkan tiga.
Menurut Bamsoet, beban kerja ini tidak ringan. Sebab, 2018 adalah tahun politik. Ambisi semua parpol untuk meraih kemenangan pada Pilkada 2018 akan berdampak pada kinerja Dewan. Sebagai kader andalan terkadang harus menanggapi panggilan tugas dari partainya untuk kerja pemenangan.
"Karena itu, pimpinan DPR dan para ketua fraksi perlu duduk bersama untuk membahas pengelolaan beban kerja ini. Apakah jumlah RUU prioritas dalam Prolegnas 2018 perlu dipertahankan atau disederhanakan agar tampak realistis? Penyelesaian beban kerja ini juga tak bisa dipisahkan dari faktor kehadiran anggota Dewan. Karena itu, pimpinan DPR dan para ketua fraksi juga perlu menyepakati ketentuan mengenai wajib hadir anggota fraksi pada rapat-rapat AKD. Setiap fraksi akan diminta mengatur kegiatan anggota pada tahun politik ini agar kerja legislasi tidak terganggu," jelasnya.
Selain target, tambah Bamsoet, kualitas UU yang dihasilkan pun tidak boleh luput dari perhatian pimpinan DPR. Sebab, selama ini, banyak UU dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Pada 2012 misalnya, MK membatalkan 29 UU. Dua UU yang dibatalkan MK adalah UU Nomor 17/2012 tentang Perkoperasian dan UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air.
"Agar kualitas UU semakin baik, mau tak mau DPR harus lebih fokus dan mawas diri. Selain itu, kecenderungan DPR yang ambisius untuk menyelesaikan puluhan RUU dalam satu tahun kerja harus diakhiri. Demi kualitas UU, DPR harus realistis," tandasnya.
[nes]