Nasaruddin Umar/Net
Nasaruddin Umar/Net
IDEALNYA, semua pelangÂgaran hukum harus dapat dikenakan sanksi. Namun jika sebuah kasus memiliki nuansa teologis harus hati-hati di dalam menerapkan sanksi. Dalam kasus tertentu, sungÂguhpun peristiwa itu melangÂgar hukum tetapi itu perinÂtah Tuhan yang datang dari orang yang representatif, maka tidak bisa dihuÂkum, bahkan tidak bisa dianggap pelanggaran hukum. Al-Qur'an mencontohkan sebuah perÂistiwa menarik, yaitu kasus Nabi Ibrahim yang nyata-nyata menggorok leher anak semata wayangnya, Nabi Isma'il, dengan pisau tajam sebagaimana diceritakan di dalam Al-Qur’an: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sangÂgup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." Tatkala kedÂuanya telah berserah diri dan Ibrahim membarÂingkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesÂabaran keduanya). (Q.S. al-Shafat/37:102-103).
Kasus Nabi Ibrahim ini dilihat dalam pandangan hukum positif sudah memenuhi syarat untuk diÂjatuhkan sanksi. Namun demikian, kasus ini diangÂgap tidak perlu ada sanksi bahkan dianggap seÂbagai sebuah sunnah yang harus diikuti. Perintah penyembelihan itu diyakini dari Tuhan disampaikan melalui mimpi Nabi Ibrahim As. Penyembelihan itu sesungguhnya sudah terlaksana, hanya pisaunya Nabi Ibrahim saja yang tidak bisa memotong leher anaknya. Secara hukum positif, perbuatan Nabi Ibrahim sudah masuk kategori perbuatan pidana. Al-Qur’an tidak menjelaskan apa tujuan perintah penyembelihan itu dilakukan. Kita hanya bisa meÂmahami bahwa Nabi Ibrahim sedang dicoba oleh Tuhan dengan disuruh menyembelih sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya, yaitu putra yang sudah lama dimimpikan.
Untung saja pisau Nabi Ibrahim tidak mampu menggorok leher anaknya dan selanjutnya diganti dengan seekor qibas. Sampai sekarang ini penyemÂbelihan hewan qurban melekat di dalam hari raya Idul Adha setiap tahun. Hukumnya wajib bagi yang memiliki kemampuan. Seandainya tidak digantikan dengan (domba) gibas berarti anak kandung yang harus disembelih, maka sudah barang tentu akan menjadi masalah kemanusiaan sekarang. Khitan anak permpuan yang hanya dianjurkan menggores secara formalitas pada kelamin anak perempuan sudah diributkan oleh pegiat Hak Asasi manusia, karena dianggap mutilasi, apa lagi setiap kepala keluarga harus mengurbankan seorang anak kandÂungnya, seperti yang pernah berlaku di dalam seÂjumlah kabilah di Timur Tengah di masa lalu.
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Senin, 08 Desember 2025 | 19:12
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46
Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25
Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00
UPDATE
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:15
Rabu, 17 Desember 2025 | 08:00
Rabu, 17 Desember 2025 | 07:48
Rabu, 17 Desember 2025 | 07:23
Rabu, 17 Desember 2025 | 07:01
Rabu, 17 Desember 2025 | 06:46
Rabu, 17 Desember 2025 | 06:35
Rabu, 17 Desember 2025 | 06:22
Rabu, 17 Desember 2025 | 06:11
Rabu, 17 Desember 2025 | 05:48