DESMOND Doss, tentara AS berpangkat kopral yang turut berperang melawan Jepang pada PD II. Keunikan Doss adalah dia tidak ingin menggunakan senjata api dan tidak ingin membunuh saat turun di medan perang. Dia hanya ingin menjadi anggota tim medis di tentara.
Sikap tersebut sudah diwujudkan saat latihan. Membuat atasannya bingung dan menggunakan segala macam alasan untuk memecat Doss. Tetapi UU di Amerika Serikat memihak Desmond Doss. Sehingga dia diijinkan tetap sebagai tentara dan turut berperang meskipun tanpa senjata.
Saat bertempur melawan Jepang di Okinawa, Doss berhasil menyelamatkan nyawa 75 rekan tentaranya. Termasuk atasannya yang pernah meminta Doss dipecat. Atas sikap heroiknya Doss, dia mendapat "Medal of Honor" dari Presiden Harry S. Truman dan beberapa penghargaan lainnya.
Apa yang dilakukan Desmond Doss adalah contoh sebuah sikap kepemimpinan bermakna. Seseorang yang memiliki sikap ini tidak semata mencari kesuksesan dalam tugas maupun jabatan. Melainkan makna apa bisa diperoleh orang lain dari tugas yang dibebankan. Kepemimpinan bermakna (significance leadership) pernah dikemukakan oleh John C. Maxwel yaitu sikap seseorang yang selalu mengedepankan orang lain. Bukan mengedepankan kepentingannya sendiri.
Sikap kepemimpinan bermakna, yang mendahulukan kepentingan rakyat banyak, juga diperlihatkan Presiden Jokowi selama tiga tahun memimpin Republik Indonesia. Terutama keberanian dan komitmennya mewujudkan salah satu cita cita dibentuknya negara Republik Indonesia yaitu terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk itu Jokowi memprioritaskan dan menggenjot pembangunan infrastruktur, jalan raya, pelabuhan, listrik bahkan menetapkan harga bensin yang sama di seluruh Indonesia. Pada saat membuka Rakernas Partai Nasdem 15 November 2017 lalu,dengan gamblang Presiden Jokowi menyatakan bahwa langkah-langkah tersebut akan membawa pertumbuhan ekonomi daerah di masa mendatang.
Jokowi juga secara serentak membangun beberapa pos perbatasan termasuk kantornya. Dengan luas dan kualitas yang tidak boleh kalah dari pos perbatasan milik negara tetangga. Karena ini menyangkut martabat dan harga diri bangsa kita.
Tentu saja banyak kritik atas keberanian Jokowi memilih prioritas pembangunan infrastruktur. Sementara kondisi ekonomi Indonesia, juga dunia pada umumnya, belum membaik. "Kita tidak boleh menunggu pertumbuhan ekonomi dulu baru membangun infrastruktur. Ini seperti telur atau ayamnya dulu. Tapi saya percaya kita harus mempercepat pembangunan infrastruktur, karena ini menyangkut pemerataan dan keadilan sosial yang jauh lebih penting," demikian Jokowi.
DifferensiasiAdalah hal yang biasa apabila setiap pemimpin memiliki diferensiasi dalam diri dan programnya. Saat Indonesia baru merdeka, Soekarno tahu persis bahwa merajut persatuan merupakan prioritas utama bagi dirinya. Saat itu infrastruktur masih menjadi kendala utama. Padahal kawasan Indonesia sangat luas. Itu sebabnya Soekarno mengutamakan keahlian pidato sebagai diferensiasi yang ditonjolkan. Rakyat bisa terkesima dan bersedia mendengar pidato Soekarno ber jam jam meskipun hanya lewat radio.
Kali ini Jokowi lebih mengedepankan hasil kerja untuk pemerataan dan keadilan sosial sebagai diferensiasinya. Jokowi menempatkan kepentingan rakyat Indonesia, terutama yang berada di Indonesia Timur, untuk merasakan keberpihakan pemerintah kepada mereka.
Memiliki sikap kepemimpinan bermakna dengan mengedepankan kepentingan orang lain bisa dilakukan siapapun. Tidak harus karena memiliki jabatan dan posisi yang tinggi.
Bagi Jokowi selain pembangunan infrastruktur, sikap tegas terhadap tindakan korupsi juga merupakan bagian dari pewujudan keadilan sosial. Sayangnya keteladanan Jokowi untuk tidak korupsi dan menghambur-hamburkan uang negara, baik melalui APBN/APBD, masih belum berjalan baik. Alokasi anggaran masih banyak terserap untuk belanja pegawai, biaya operasional atau perjalanan. Sementara porsi anggaran untuk pembangunan masih lebih kecil.
Saat debat capres/cawapres lalu Jokowi berjanji akan mengkunci anggaran kementerian atau kepala daerah yang tidak mendukung upaya pemerintah pusat untuk mengedepankan keberpihakan kepada rakyat. Langkah nyata atas janji ini masih belum terlihat. Mungkin penggunaan aplikasi E-Budgeting bagi seluruh lembaga pemerintahan sudah mutlak diterapkan. Memang sudah beberapa daerah melakukannya. Bahkan Banyuwangi memiliki sistem "E-Village Budgeting" untuk program pembangunan di desa desa. Mempercepat standarisasi E-Budgeting akan membantu anggaran pemerintahan yang lebih transparan penggunaannya dan pencegahan tindak korupsi.
Kit harapkam Jokowi, sebagai Presiden, turun tangan dan memberi prioritas tinggi dalam membangun infrastruktur internet sampai ke desa dan penggunaan aplikasi-aplikasi E-Budgeting, laporan kerja online, harga satuan onlie dan lain-lainnya.
Kalau ini terjadi maka rakyat Indonesia benar-benar akan memperoleh manfaat atas sikap kepemimpinan bermakna di seluruh jajaran di pemerintahan.
[***]
Penulis adalah Sosiolog, Anggota Senat Indonesia Marketing Association dan tinggal di Jakarta