BEBERAPA waktu belakangan, Partai Golkar tak henti-hentinya diterpa angin ribut. Daun dan ranting beringin kusut masut. Penampakanya nyaris tak seperti pohon besar yang beringas lagi karena energi habis untuk menyuplai bahan bakar duel internal. Akibatnya Irama politik beringin silih berganti antara jazz dan dangdut. Beringin bak menari dalam keadaan setengah mabuk, sempoyongan. Terkadang terhuyung ke kiri, lalu tetiba condong ke kanan. Terkadang kaki di kiri, tapi bagian pinggang ke atas malah tafakur ke kanan. Kadang ditarik kadang pula diulur, kadang dorong-dorongan, lalu tarik-tarikan.
Pasca pilpres 2014, dualisme kepemimpinan menerjang Golkar. Kongres Bali berhadapan dengan Kongres Ancol. Ada ARB dan Agung Laksono, keduanya sama-sama lakon pada episode itu. Walhasil, riuh rentak pascapilpres bukan mereda, tapi semakin masut tak berbentuk. Di waktu yang tak berselang lama, kader andalan partai yang belum seumur jagung menjadi ketua DPR tetiba menjadi bulan-bulanan publik akibat rekaman terkait PT. Freeport. Topik "papa minta saham" menggelayuti dahan-dahan beringin. Daun dan ranting yang sudah mulai rapuh terancam berguguran. Itu lah harga yang harus dibayar. Terbukti sang ketua DPR akhirnya harus mundur dari jabatannya, diganti dengan kader yang lain.
Urusan belum kelar. Setelah keadaan sedikit mereda, suara publik mulai berganti arah, tetiba hasil pergantian kepemimpinan ternyata mendudukan sang mantan ketua DPR ke puncak beringin. Cibiran mulai berdatangan lagi. Pesimisme atas elektabilitas Golkar semakin terpupuk. Ditambah pula, pergantian kepemimpinan berarti pergantian arah politik. Golkar langsung tancap gas meninggalkan Koalisi Merah Putih (KMP). Pohon Beringin akhirnya condong ke istana.
Cibiran bermunculan dari publik yang sempat berharap agar Golkar ada di luar pemerintahan, tapi nampaknya tak terlalu signifikan. Celakanya lagi, kompetisi kepentingan di internal partai dimulai kembali. Para pihak seolah memiliki kelebihan energi untuk terus bertikai. Beringin tak pelak semakin terbebani. Saat ketua yang baru kembali merebut tahta di DPR, publik semakin was-was bahwa Golkar masih menyimpan boom waktu yang suatu saat akan meledak.
Pasalnya, masalah sang ketua ternyata bukan saja soal "papa minta saham", tapi ada game lama yang lain yang sedang menunggu di sekitar pohon beringin, yakni KPK. Di mata saya, urusan benar dan salah biarlah tetap berada di ranah hukum. Kita perlu menghargai kinerja KPK. Kita perlu memberikan support kepada KPK untuk tetap bekerja profesional. Dan kita perlu memberi appresiasi kepada semua institusi hukum di negeri ini untuk bekerja professional, sesuai kaidah-kaidah hukum positif yang berlaku.
Tapi di lain sisi, kita pun harus tetap berpegang teguh pada asas praduga tak bersalah (
Presummtion of Innocence). Jika putusan final belum dihasilkan, maka publik harus legowo untuk menghargai segala daya dan upaya yang dilakukan oleh SN untuk membuktikan dirinya tak bersalah, selama tetap dalam koridor hukum yang berlaku pula.
Namun demikian, secara politik dinamika yang seolah tak berujung tersebut terus menyudutkan Golkar, menenggelamkan elan dan kharisma positif partai. Sungguh sangat disayangkan. Sementara dari sisi internal, alih-alih muncul inovasi-inovasi politik yang diperkirakan berpotensi untuk menyelamatkan popularitas dan elektabilitas partai, justru segmentasi-segmentasi kepentingan semakin terbentuk.
Tak ayal, hasil survey terbaru Politracking seperti mengamini rentetan peristiwa yang melanda Golkar tersebut. Hasilnya tak berpihak banyak kepada pohon beringin. Popularitas dan potensi elektabilitas partai kian menciut. Gerindra menyalip dengan manis posisi yang semula diduduki Beringin. Golkar mulai kecolongan banyak potensi suara.
Melihat kecendrungan yang berlangsung saat ini, pergantian ketua umum atau Musyawarah Luar Biasa (Munaslub) akan menjadi satu exit strategy yang akan dipilih oleh petinggi-petinngi beringin. Asumsinya boleh jadi sangat sederhana, yakni popularitas bisa semakin merosot jika Ketua Umum terus-menerus berurusan dengan hukum. Jadi, memberi ruang kepada beliau untuk focus kepada penyelesaian-penyelesaian yang mungkin adalah jalan terbaik, tanpa membebankan lagi segala tanggung jawab dan kewajiban sebagai ketua partai. Saya secara pribadi juga tak mau berpsekulasi dan mencampuradukkan masalah politik dan hukum.
Terlepas banyak rumor politik yang berkembang bahwa kasus hukum demi kasus hukum yang melanda ketua umum adalah bagian dari political game para pihak yang tidak segaris dengan beliau, bagaimanapun untuk sementara waktu memang dibutuhkan separasi konsentrasi, agar imbas-imbas negatif dari pergulatan hukum ketua umum tidak semakin memperparah citra beringin ke depannya.
Opsinya bisa saja Munaslub atau sekedar penunjukan pejabat sementara, tergantung mekanisme dan dinamika politik internal yang ada. Apapun hasilnya, semua pihak harus berusaha searif dan sebijak mungkin untuk menerima, tanpa menanam benih-benih conflictual games baru yang akan semakin memojokan beringin ke posisi yang lebih buruk lagi.
Namun jika Munaslub memang harus diambil, maka Golkar harus berani melangkah dengan ayunan kaki yang lebih disruptif. Pembaruan sikap politik harus diambil. Golkar harus berani memberi ruang kepada generasi muda untuk duduk di pos-pos strategis partai. Mengapa? Jawabannya sangat sederhana, karena pemilih muda, terutama millennial voters, adalah pemilih dengan jumlah yang jumbo. Sementara saya melihat, sampai hari ini, belum ada tokoh-tokoh strategis partai beringin yang berhasil merepresentasikan segmen ini. Boleh jadi, meremehkan potensi pemilih millennial adalah salah satu penyebab merosotnya akseptabilitas dan elektabilitas Golkar pada survey-survey mutakhir.
Lihat saja data dari Badan Pusat Statistik yang menyatakan bahwa ceruk pemilih pada pemilu 2019 akan didominasi oleh pemilih millennial. Pemilih millennial adalah pemilih yang lahir pada rentang tahun 1981-1999 dan akan berusia antara 20-38 saat pemilu 2019 diadakan. Jumlahnya mencapai 86 juta jiwa (semua kita pasti sepakat bahwa angka ini bukanlah angka yang kecil). Jika dipersentase, 48 persen pemilih pada pemilu 2019 adalah generasi millennial (Hasanudin Ali, 2017). Oleh karena itu, tak ada alasan bagi Golkar untuk tidak focus dan concern pada segmen yang satu ini.
Proyeksi langkah ke depan harus didasarkan fakta dan angka, jika Golkar ingin menaikan kembali raihan suara dan mendapat tempat istimewa kembali di kancah perpolitikan nasional. Dengan melibatkan tokoh-tokoh muda yang memang sudah berjuang untuk Golkar selama ini adalah salah satu langkah strategis yang perlu diambil. Bukan karena ingin terlihat muda, trendy, sesuai jaman now, tapi karena memang langkah yang paling mungkin untuk menginklusi pemilih muda ke dalam partai adalah dengan menempatkan representator-representator muda di jajaran kepemimpinan Golkar alias bukan pura-pura ingin mengambil hati pemilih muda dengan isu dan gaya politik, tapi pada tataran praxis justru meminggirkan mereka di jajaran kepengurusan.
Last but not least, beringin adalah partai besar, partai yang telah terbukti mampu keluar dari lobang jarum lalu berjaya kembali setelah itu. Jika political will dari semua para pihak di internal masih ada, maka tak ada yang tidak mungkin. Golkar bisa membusungkan dada lagi, bisa menggeliat gagah di hadapan jutaan pemilih nasional, dan bisa “nongkrong cantik’ di top of mind para pemilih muda sebagai partai gaul dan terhormat. Dan bagi saya, dilihat dari kacamata apapun, Golkar pantas mendapatkan semua kehormatan itu, jika Golkar memang ingin meraihnya. Semoga. [***]
Dito AriotedjoKetua Angkatan Muda Pembaruan Indonesia (AMPI)