Berita

Publika

Polemik Staf Khusus

JUMAT, 01 DESEMBER 2017 | 07:58 WIB

ANGGARAN Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta direncanakan naik, dari Rp 2,3 miliar menjadi Rp 28,5 miliar di tahun depan. Alhasil, perhatian publik mengarah pada besaran anggaran plus urgensinya. Tetapi, tanpa disadari, polemik memperlihatkan masalah yang lebih fundamental.

Karena bukan hanya milik DKI Jakarta, di banyak daerah dan tingkat pemerintahan perdebatan serupa sering terjadi.

Kondisi ini memperlihatkan kerancuan perspektif administrasi negara yang baur dengan  kacamata politik. Halini baru bisa diperjelas dengan mengurai dua hal. Pertama, bagaimana struktur dan logika regulasinya. Kedua, norma kerja pemerintahan dan etika politiknya. Jika tidak, kerancuan akan selalu menimbulkan conflict of norms dan political distrust yang mengganggu jalannya pemerintahan.


Struktur Regulasi
Apabila sering dipersoalkan, bagaimana struktur regulasi yang mengatur? Sebenarnya ada dua kelompok regulasi sebagai dasar keberadaan stafsus (supporting staff). Pertama, regulasi teknis. Di tingkat pusat, secara umum diatur Perpres No. 55/2015 dan Perpres No. 7/2015. Sedangkan, tingkat daerah diatur di PP No. 18/2016 tentang Perangkat Daerah.

Kedua, regulasi pokok. Kelompok ini mencakup aturan yang mendefinisi entitas
pemerintah (presiden, menteri, gubernur, dan bupati), pemerintahan (pusat hingga
daerah), dan peraturan perundangan. Entitas pemerintah (government) dan
pemerintahan (administration), tiga pilarnya adalah UUD 1945 Bab III, UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara, dan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan perundangan diperjelas lewat UU No. 12/2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundangan. Dilemanya, PP No. 18/2016 tidak eksplisit mengatur keberadaan stafsus di tingkat  daerah sebagaimana regulasi tingkat pusat. Padahal, kepala daerah bekerja dalam kompleksitas politis yang tinggi. Ranah tugasnya ganda. Kepala daerah bertugas mengatur pemerintahan (administrative governance) sebagai pimpinan seluruh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Di sisi lain, keberadaannya juga berada di wilayah political governance karena terpilih lewat mekanisme politik (Pilkada) dan rampung dalam pertanggungjawaban politik di akhir periode.

Dilema dapat dijawab dengan regulasi pokok (UU No. 23/2014 dan UU No. 12/2011)yang memungkinkan kepala daerah mengadakan posisi stafsus (individu atau tim). Aturan tingkat daerah (Pergub atau Perbup) cukup menjadi landasan perundangan yang kuat sebagaimana diatur UU No. 12/2011 (Pasal 8). Misalnya TGUPP yang dipayungi Pergub No. 411/2016. Dengan adanya regulasi, pembiayaan TGUPP dapat bersumber dari APBD. Contoh lain, di Kalimantan Selatan dengan penerbitan Pergub No. 12/2016 tentang Pembentukan Tim Stafsus. Relasi regulasi teknis dan pokok memberi kewenangan pimpinan institusi pemerintahan (presiden, menteri, atau kepala daerah) membentuk sistem supporting staf sesuai kebutuhan, sejauh tidak tumpang tindih dengan struktur organisasi yang ada.

Bagaimana pun, tugas staf terbatas di-input rekomendasi kepada pimpinan. Sehingga logika regulasinya adalah pengutamaan tata kelola kelembagaan birokrasi. Implikasinya, pimpinan institusi pemerintahan adalah subjek yang tidak lagi berpandangan kepraktisan politis, namun juga berpandangan sebagai administrator.

Norma dan Etika.
Struktur dan logika regulasi  melahirkan norma dan etika. Memang, sebagai pejabat politik, kepala daerah butuh dukungan yang melekat secara personal. Faktor subjektivitas dan spesifikasi informasi yang dibutuhkan adalah keniscayaan, tanpa mengesampingkan keberadaan staf ahli. Jamak terjadi, kebutuhan stafsus diadakan dengan dana operasional kepala daerah, bahkan dari sumber lain, dengan justifikasi "tidak membebani anggaran daerah". Hal yang harus diingat, terlepas dari tingkat urgensi, pembebanan anggaran, atau landasan Pergub/Perbup, terdapat norma dalam kerja pemerintahan. Saat Pilkada selesai, kepala daerah bukan lagi sekadar politisi, melainkan telah menjadi pejabat publik.

Secara eksplisit, norma kerja pemerintahan ini terlihat dalampenjelasan PP No. 18/2016 tentang Perangkat Daerah, bahwa tata organisasi terdiri dari lima elemen: strategic apex (kepala daerah), middle line (sekretaris daerah), operating core (dinas), technostructure (badan penunjang), dan supporting staff (staf pendukung).Model ala Mitzberg ini menempatkan staf (ahli atau khusus) sebagai pendukung personal, tanpa pengaruh struktural sama sekali. Sedangkan secara implisit, norma kerja pemerintahanadalah "kepentingan umum" (publicness) dan "basis kelembagaan" (institutional based).

Oleh karena itu, jika keberadaan stafsus justru dijadikan elemen krusial, artinya ada proses yang terlewat dalam pelembagaan tujuan pemerintahan pada perangkat yang ada. Walaupun itu dengan alasan "kepentingan umum" seperti percepatan pembangunan. Sederhananya, pimpinan belum menyatu sebagai kesatuan birokrasi.
Conflict of norms iniberimbas pada problem etika di internal dan eksternal
pemerintahan. Di internal, dominasi supporting staff beresiko menjelma menjadi
"superstruktur" yang mendistorsi kerja sistem birokrasi. Pada eksternalnya, terjadinya ketegangan dalam formulasi anggaran sebab polarisasi subjektivitas antara kepala daerah dan DPRD.

Polarisasi inilah yang berpotensi mengakibatkan saling tidak percaya (political distrust) di antara stakeholder secara laten. Buntutnya adalah kritik keberadaan
stafsus sebagai ruang bagi kader atau politik balas jasa. Lalu, bagaimana operasionalisasi pembentukan stafsus yang proporsional dalam norma dan etikanya? Salah satu cara dalam pandangan administrasi negara adalah dengan mengambil sifat ad hoc (jika yang dibentuk adalah tim). Sebenarnya relasi regulasi pun telah mengisyaratkan sifat ad hoc dalam kerja stafsus dengan pedoman basis kelembagaan, bukan kepraktisan. Tim stafsus akan "bertujuan khusus" mendukung pencapaian program kebijakan yang telah terdistribusi dan terlembaga di setiap SKPD.

Pendistribusian penting di awal, supaya kerja tim menjadi jelas: pemberi masukan
tentang masalah serta penyempurnaan birokrasi dan implementasi kebijakan langsung pada kepala daerah. Salah kaprah kalau menganggap stafsus adalah koordinator. Saat program kebijakan yang dimaksud telah tercapai pun, atau selesai masa jabatan kepala daerah, maka target kerja struktur tim stafsus telah terpenuhi.

Pengangkatan stafsus non-tim (yaitu individu), operasionalisasinya lebih sederhana. Dengan mempertimbangkan norma kerja pemerintahan, stafsus diperlukan dalam jumlah yang tidak melebihi staf ahli (maksimal tiga orang dalam PP 18/2016). Pada hakikatnya stafsus adalah input informasi, maka secara teknis fungsinya memang lebih dekat pada informasi dan rekomendasi alternatif (second opinion).

Intinya, menempatkan stafsus bukan pada proporsinya akan meningkatkan derajat
ketidakpastian (entropi) dalamjalannya pemerintahan. Tentu bukan itu yang diharapkan publik saat memberikan kepercayaannya pada proses pemilihan kepala daerah dulu.[***]

Sayfa Auliya Achidsti

Dosen Administrasi Publik Universitas Negeri Surakarta (UNS)

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

UPDATE

Pesan Ketum Muhammadiyah: Fokus Tangani Bencana, Jangan Politis!

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:13

Amanat Presiden Prabowo di Upacara Hari Bela Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:12

Waspada Banjir Susulan, Pemerintah Lakukan Modifikasi Cuaca di Sumatera

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:05

Audit Lingkungan Mendesak Usai Bencana di Tiga Provinsi

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:04

IHSG Menguat, Rupiah Dibuka ke Rp16.714 Pagi Ini

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:59

TikTok Akhirnya Menyerah Jual Aset ke Amerika Serikat

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:48

KPK Sita Ratusan Juta Rupiah dalam OTT Kepala Kejari HSU

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:28

Bursa Asia Menguat saat Perhatian Investor Tertuju pada BOJ

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:19

OTT Kalsel: Kajari HSU dan Kasi Intel Digiring ke Gedung KPK

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:05

Mentan Amran: Stok Pangan Melimpah, Tak Ada Alasan Harga Melangit!

Jumat, 19 Desember 2025 | 08:54

Selengkapnya