. Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyarankan kepada Pemda Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara agar membekukan izin perusahaan PT Rendi Permata Raya (RPR) di Madina.
Hal ini terkait belum ada titik penyelesaian sengketa tumpang tindih lahan antara warga Trans Singkuang SP 1 dan SP 2 dan PT RPR di Desa Singkuang, Kecamatan Muara Batang Gadis, Madina.
Kepala Biro Humas Kementerian ATR/BPN RI Arwin Baso mengatakan permasalahan tumpang tindih lahan antara warga transmigrasi dengan PT RPR sudah sampai ke Kementerian ATR/BPN begitu juga ke Kementerian Desa, PDT dan transmigrasi, bahkan ke Kementerian Sekretariat Negara. Menurutnya, Pemda Madina sebaiknya membekukan izin lokasi maupun izin perkebunan sampai keluar putusan incrakht di pengadilan dalam hal ini PN Madina.
"Mestinya kalau sudah terjadi sengketa tumpang tindih lahan, kedua belah pihak bersengketa harus berhenti dulu, apalagi sengketanya sudah dalam persidangan, dan si perusahaan mestinya mengalah. Tetapi, yang punya wewenang menghentikan itu kan kepala daerah. Bupati sebaiknya membekukan perizinan perusahaan itu dulu sampai ada putusan yang incrakh," ujar Arwin di kantornya, Jakarta, Jumat kemarin (24/11).
Kemudian, ia menerangkan, dalam dokumen dan kronologi persoalan sengketa tumpang tindih lahan, PT RPR pernah membuat pernyataan dan berjanji mau mengeluarkan areal seluas 358 Ha dari areal Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan untuk warga transmigrasi SP 1 dan seluas 342 Ha untuk transmigrasi SP 2. Sehingga luas keseluruhannya 700 Ha itu dikerjasamakan antara warga dengan perusahaan.
"Dari dokumen yang ada perusahaan kan pernah berjanji akan mengeluarkan lahan 700 ha yang bermasalah, mestinya itu yang dilaksanakan mereka. Kalau permasalahannya adalah HGU sudah punya sertifikat, itu hanya bukti penguasaan lahan, sedangkan aktivitas perusahaan itu kaitannya ke izin. Nah, Bupati seharusnya membekukan perizinan perusahaan itu, khususnya lahan yang tumpang tindih. Karena, bila Bupati membekukan perizinannya pasti perusahaan akan cepat-cepat menyelesaikan masalahnya," ungkap Arwin.
Arwin juga menerangkan, Kementerian ATR/BPN sudah menindaklanjuti permasalahan tersebut dengan menyurati kantor wilayah BPN di Sumut. "Permasalahan ini memang sudah sampai ke kami, dan sudah ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Termasuk berkordinasi dengan Kementerian lainnya," tambahnya.
Sementara itu, Analisis Direktorat Sengketa dan Konflik Tanah dan Ruang Wilayah 2 Kementerian ATR/BPN M. Saragih kepada wartawan mengatakan, mengenai HGU yang sudah dikeluarkan BPN, pihaknya menunggu putusan pengadilan dikarenakan permasalahan tersebut sudah berada dalam proses peradilan.
"Kami sifatnya menunggu putusan, enggak bisa berbuat apa-apa, kalau seandainya putusan pengadilan bilang BPN mengeluarkan sertifikat lahan masyarakat, itu akan BPN lakukan. Dan, kami sudah memberikan penjelasan atas surat dari pak Bupati terkait permasalahan tumpang tindih lahan itu, surat kami terakhir supaya BPN Provinsi Sumut melakukan pengukuran ulang lahan," ucapnya.
Bupati Madina Dahlan Hasan Nasution melalui Kepala Dinas Pertanahan Madina Faizal Lubis sebelumnya menerangkan, Pemkab Madina sudah melakukan berbagai upaya dalam penyelesaian sengketa tumpang tindih lahan tersebut. Tujuannya supaya hak normatif masyarakat terpenuhi dan perusahaan juga dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Dia mengungkapkan, penetapan pembangunan transmigrasi ini sesuai dengan SK Gubernur Sumut pada tahun 1983, dan pada tahun 1998 dibuatlah rencana tata ruang transmigrasi dengan daya tampung 350 KK untuk SP 1 dan 325 KK untuk SP 2. Saat itu, kelanjutan pembangunan transmigrasi terhenti karena ada pemangkasan anggaran di kementerian. Lalu, program tersebut dilanjutkan pada tahun 2002. Yang mana transmigran ini berasal dari Aceh dan trans lokal. Dan, program tersebut dilanjutkan kembali pada tahun 2004 untuk 325 KK.
Sementara, PT RPR memperoleh izin lokasi pada tahun 2005 dan dilanjutkan Izin Usaha Perkebunan pada tahun 2006. Lalu, dilakukan pengukuran keliling kadesteral tahun 2006, dalam pengukuran tersebut, menurut Faizal Lubis warga Trans Singkuang begitu juga Dinas Transmigrasi Madina dan Dinas Transmigrasi Sumut tidak ada dilibatkan. Sejak itulah muncul sengketa dimana warga transmigrasi dan perusahaan saling mengklaim kepemilikan lahan. Sengketa sudah beberapa kali dibahas dan dicarikan penyelesaiannya, seperti beberapa kali menyurati Kementerian ATR/BPN RI dan kementerian terkait guna menyelesaikan sengketa tersebut.
Anggota DPRD Madina, Arsidin Batubara juga pernah mengungkapkan, permasalahan sengketa tumpang tindih lahan tersebut sudah ditindaklanjuti DPRD Madina dengan membentuk Panitia Khusus. Pansus sudah mengeluarkan rekomendasi pada 2016 yang intinya meminta kepada Pemerintah dan BPN supaya meninjau ulang izin dan luas lahan serta permasalahan tersebut diselesaikan dengan mengembalikan hak normatif warga transmigrasi.
"Namun, sampai sekarang belum ada solusi penyelesaian juga. Kami sudah menyurati Sekjen DPR RI supaya permasalahan ini dibahas di Komisi II. Inilah yang sedang kami tunggu dengan harapan permasalahan ini dapat diselesaikan di tingkat pusat," kata Arsidin.
[rus]