Isu kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) untuk penganut aliran kepercayaan muncul dalam sesi penyampaian materi Training of Trainers Empat Pilar MPR untuk kalangan dosen se-Surakarta yang berlangsung di Hotel Paragon, Solo, Jumat (24/11).
Seorang peserta mempertanyakan putusan Mahkamah Konstitusi soal aliran kepercayaan. Menjawabnya, Wakil Ketua Lembaga Pengkajian MPR RI, Ahmad Farhan Hamid, yang menjadi narasumber, mengakui bahwa keputusan MK pada prinsipnya ingin memberi ruang bagi hak asasi manusia sesuai pasal 28A sampai 28J UUD NRI Tahun 1945.
Karena itu, MK memutuskan untuk memberi identitas kepada warga Indonesia penganut kepercayaan. Tetapi, belakangan ini keputusan MK menimbulkan banyak penafsiran dan pro kontra masyarakat.
"Padahal, pemberian identitas untuk penganut aliran kepercayaan tidak harus dalam kolom agama," kata Ahmad Farhan Hamid.
MK mengabulkan permohonan gugatan judicial review UU 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam putusannya pada Selasa (7/11), MK menyebut negara harus menjamin setiap penghayat kepercayaan dapat mengisi kolom agama dalam KTP dan KK. Dengan keputusan ini, penghayat kepercayaan memiliki hak yang sama seperti para penganut enam agama besar yang ada di Indonesia dalam hal pencatatan status keagamaannya dalam KTP.
Menurut Ahmad Farhan Hamid, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri sedang membahas tindak lanjut dari putusan MK tersebut.
"Tidak harus dalam kolom agama (di KTP). Ini yang sekarang sedang didiskusikan antara Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri," ujarnya.
Farhan mencontohkan, bagi penganut kepercayaan yang sudah jelas alirannya maka tidak perlu ada kolom agama pada KTP-nya.
"Namun, dalam KTP disebutkan sebagai penganut aliran kepercayaan sesuai dengan nama aliran kepercayaannya. Ini sudah cukup. Kalau seperti ini tentu tidak akan membuat keresahan. Penyelenggara negara harus merumuskan begitu rupa untuk agar jangan sampai menimbulkan keresahan di masyarakat," katanya.
[ald]