SEBAGAIMANA kita ketahui, perseteruan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) selalu terjadi. Perubahan komisioner tidak mengubah budaya pertengkaran antar dua lembaga. Sehingga muara seteru menjadi beban bagi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk menyelesaikan masalah.
Dengan kewenangan mengadili sengketa administrasi, Bawaslu menyelenggarakan proses peradilan administrasi antar 10 pemohon yang menggugat KPU terkait pendaftaran parpol calon peserta pemilu.
Dalam hal ini, Bawaslu seharusnya sudah memiliki Perbawaslu beserta tata cara peradilan administrasi. Akan tetapi, Bawaslu bekerja lamban sehingga menjadikan pelaksanaan kewenangan seakan ujicoba.
Bahkan terkesan Bawaslu merasakan kenikmatan mengadili saat proses memeriksa sampain penetapan keputusan.
Atas hal ini, KPU dan/atau para pembela KPU untuk melaporkan Bawaslu ke DKPP. Alasannya adalah Bawaslu tidak melaksanakan kerja efektifitas dan efisiensi yang mengarah kepada kepastian hukum. Karena proses mengadili sengketa administrasi tidak dijalankan dengan ketentuan secara detil sebelum melaksanakan proses mengadili.
Jadi, dasar pelaksanaan kewenangan mengadili yang tidak jelas tersebut lah sebagai dalil melaporkan Bawaslu ke DKPP.
Di lain sisi, putusan Bawaslu yang menerima 9 permohonan parpol atas KPU menyatakan bahwa KPU telah melakukan pelanggaran administrasi.
Kata "pelanggaran administrasi" menandakan bahwa ada pelanggar (subjek) dan ada yang dilanggar (objek). Sehingga yang melanggar bisa dikatakan melakukan suatu perbuatan yang salah menurut fakta persidangan administrasi.
Kata pelanggaran administrasi menjadi dalil bahwa KPU melakukan kesalahan. Artinya KPU tidak menjaga asas kepastian hukum dan rasa keadilan.
Dengan demikian, Bawaslu dan/atau sembilan parpol yang dimenangkan oleh Bawaslu dalam sengketa administrasi bisa menjadikan putusan Bawasku untuk melaporkan KPU kepada DKPP.
Dengan begitu, baik Bawaslu dan KPU, kedua lembaga penyelenggara tersebut sama-sama bisa dilaporkan ke DKPP oleh pihak yang merasa dirugikan.
Oleh sebab itu, isu saling men-DKPP-kan harus dipertimbangkan kembali. Karena, kerja-kerja penyelenggaraan pemilu akan terganggu akibat sidang di DKPP.
Selain itu, untuk menyelesaikan masalah. Sebaiknya DKPP, Bawaslu dan KPU segera mencari waktu duduk bersama secara keseluruhan untuk menyelesaikan semua kekusutan masalah antar lembaga. Sehingga tidak perlu ada sidang-sidang yang mengganggu konsentrasi penyelenggaraan pemilu.
Apabila tidak bisa mencari solusi yang saling menguatkan. Maka disarankan agar DKPP sebagai tali penghubung untuk mencairkan masalah antara KPU dengan Bawaslu.
Apabila tidak juga bisa saling menahan dan menjaga hubungan baik. Maka perlu dipertanyakan sikap antar anggota Bawaslu dan KPU.
Seandainya ada yang saling lapor ke DKPP. Maka kita mengharapkan DKPP memberikan putusan yang seberat-beratnya yaitu pemecatan. Dengan alasan tidak ad itikad baik untuk menguatkan hubungan antar lembaga yang pada sisi lain menjatuhkan marwah kelembagaan.
Dengan pemecatan, semoga ada pembelajaran ke depan bagaimana menjaga ego kelembagaan. Bahwa sebagai komisioner tidak perlu saling mempertontonkan siapa yang paling kuat atau siapa yang paling pintar yang pada kenyataannya terlihat di status-status facebook antar anggota.
Selain itu, pemecatan akan menimbulkan penyesalan yang mendalam. Hal ini bisa dijadikan pembelajaran untuk para PAW anggota, baik Bawaslu dan KPU. [***]
Andrian HabibiPenulis adalah Deputi Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia