Peternak sapi mengeluhkan serbuan Susu impor. Pasalnya, untung jualan susu makin tipis. Peternak pilih banting stir. Produksi susu pun terancam makin turun.
Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI) Agus Warsito mengatakan, menyamÂbut baik keluarnya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 26 Tahun 2017 yang menÂgatur tentang penyediaan dan peredaran susu. "Terbitnya aturan ini memberikan angin segar buat peternak susu," ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut dia, dalam aturan ada kewajiban industri besar supaya menyerap susus segar dari peÂternak dalam negeri. Selain itu, perusahaan juga diwajibkan memÂbangun unit pengolahan susu.
"Dalam pasal 23 sudah diatur tentang kemitraan perusahaan dengan peternak untuk memanÂfaatkan susu dalam negeri," ujarnya.
Namun, kata Agus, efek dari aturan tidak bisa dirasakan langÂsung. Karena itu, dia pesimistis, jika swasembada susu bisa terÂcapai pada 2021. Masih butuh waktu tambahan lagi. "Jika lihat kondisi sulit swasembada pada 2021," katanya.
Untuk mencapai swasembada susu tidak bisa dilakukan seÂcara instan. Menurutnya, tanpa adanya perbaikan teknologi, penambahan populasi sapi perÂah, dan perubahan manajemen ternak maka swasembada susu sulit tercapai.
Saat ini, peternak sapi perah di Indonesia kebanyakan masih memproduksi susu secara manuÂal. Jika dibandingkan negara lain yang memproduksi susu seperti India, Brasil, Pakistan, dan lainÂnya dari sisi teknologi Indonesia sangat ketinggalan zaman.
"Teknologi perlu untuk memÂpercepat dan memperbanyak susu, karena 80 persen proses produksi susu sapi perah di kita masih manual," ujarnya.
Selain bantuan teknologi, peternak juga perlu membuat perubahan manajemen tujuanÂnya untuk meningkatkan volume susu segar menjadi 15 liter per ekor. "Cara ini bisa mempercepat swasembada susu," paparnya.
Selain itu, masih tingginya serbuan susu impor, membuat harga susu peternak turun. Menurunnya volume susu lokal juga disebabkan oleh berkurangÂnya jumlah peternak, karena bisnis susu sapi perah untungnya yang tipis.
"Peternak merasa rugi sehÂingga banyak yang beralih ke usaha lain," katanya.
Terlebih kualitas susu segar dari peternak lokal di mata inÂdustri pengolah atau pengguna susu masih rendah jika dibandÂingkan susu impor. Banyak pabrikan lebih suka susu impor dengan kualitas yang mereka percaya lebih baik. Jika dibiÂarkan terus maka makin habis susu yang diproduksi peternak lokal.
"Tidak mungkin kita bisa menyetop impor, tapi ya tolong berikan kesempatan dan diberiÂkan ruang jangan malah asing terus," keluhnya.
Dia berharap, dengan adanya program kemitraan dapat meÂnyelesaikan masalah peternak susu saat ini. Di Indonesia, hamÂpir 90 persen susu dari peternak diserap industri. Dengan harga dari peternak di kisaran Rp 4.500 hingga Rp 5.000 per liter.
Kebutuhan susu nasional ada di angka 4,5 juta ton. Namun, hal itu tidak diimbangi oleh susu lokal. Saat ini, produksi susu lokal baru mencapai 864,6 ribu ton atau sekitar 19 persen kebuÂtuhan nasional. Akibatnya impor susu jauh lebih besar atau berada di kisaran 3,65 juta ton atau(81 persen dalam bentuk Skim Milk Powder (SMP),
Whole Milk Powder (WMP),
Anhydrous Milk Fat (AMF),
Butter Milk Powder (BMP).
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar, Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian AbÂdul Rochim mengatakan, pola kemitraan perlu didorong untuk membangun industri susu yang kondusif. Apalagi, Pasokan Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) saat ini belum mampu meÂmenuhi kebutuhan, baik untuk konsumsi maupun bahan baku industri.
"Namun bisa perlahan-lahan diÂatasi dengan mendorong kemitraan antara indusri pengolahan susu dengan koperasi maupun kelomÂpok peternak," ujarnya. ***