“Di negeri ini kita adalah monyet yang hidup di terali besi"
Di Negara ini, setiap pemimpin di Papua kalau tidak racuni dan dimatikan selalu berakhir di terali besi!. Dalam catatan harian anakmu, Tokoh2 Papua Melanesia yang hebat sebagai pejabat negara ataupun pemimpin rakyat tetap akan diracuni dan dimatikan Saraf.
Sederet nama pemimpin besar dan kawakan sepeti: Yap Salosa, Theys Eluai, Agus Alua, Nataniel Badi, Wospakrik, Willem Mandowen, Pdt Awom, Abraham Ataruri, Jhon Rumbiak, Cosmas Pigai, Thom Beanal, Lukas Enembe dan lain2 adalah korbannya. Sementara rakyatnya ditangkap, dianiaya, disiksa, dibunuh saban hari tanpa henti. Sudah lebih dari ratusan ribu orang Papua mati sia2 di atas tanah airnya sendiri, Tanah Papua, bumi Melanesia.
Pada saat ini, Bunda kita Tanah Papua sedang beranda dalam goncangan besar karena adanya tsunami kemanusiaan. Jutaan rakyat yang ada di atas tanah Papua di lepas pantai, pesisir, pedalaman, pegunungan menjerit, merinti, sedih dan tangis.
Saban hari kita hanya bisa mendengar nyanyian dengan syair elegi karena tragedi kemanusiaan yg menimpa rakyat melanesia di Tanah Papua semakin lama semakin menua. Ratusan ribu orang menderita Karena penangkapan, penganiayaan, menyiksaan, pembunuhan.
Tidak ada legasi yang kita peroleh di negeri ini. Penuh diskriminasi, rasisme, orang Papua masih dianggap manusia jaman batu ( the stone age periode society), sudah ribuan orang secara lancang mengatakan bawah saya adalah monyet dan kita orang Papua adalah monyet dihadapan bangsa ini.
Meskipun demikian, anakmu tidak marah, justru mengucapkan terima kain karena secara terus terang menyatakan identitas saya dihadapan mereka. Di negeri ini kita adakah monyet yang berada di jeruji besi.
Belum lagi, perampasan kekayaan alam melalui; hutan kita yang paru-paru dunia dirampok (illegal loging), emas, perak, minyak, uranium bahkan plutonium di jarah (ilegal maining), ikan2 di laut dan segala biota dicuri (illegal fisihing).
Orang Melanesia tidak pernah mengenal kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme namun hari ini tikus-tikus berdasi merasuk sendi-sendi kehidupan politik dan Pemerintah di atas tanah kita yang suci diatas tanah Melanesia.
Adanya penetrasi kapital disertai penetrasi sipil dan militer mengesampingkan bumi putra Papua, Melanesia tersingkir karena tercipta segresi antara lokal Papua (blue colar) dan asing dan migran sebagai (white colar) melalui diskriminasi dan Rasisme.
Penetrasi sipil juga menyebabkan mereka menguasai sumber daya ekonomi di bandar-bandar seperti; Sorong, Manokwari, Biak, Serui, Nabire, Timika, Jayapura, Merauke dan Wamena, sementara putra bangsa melanesia tersingkir di pinggiran. Tingginya kematian ibu dan anak serta perlambatan pertumbuhan penduduk Papua adalah indikasi nyata secara perlahan sedang terjadi bahaya genosida (slow motion genocida). Itulah kejahatan kemanusiaan yang terabaikan dan Papua menjadi wilayah tragedi terlupa di abad ini.
Hari ini Pak Bas dan kawan-kawan ada didalam penjara kecil, saat keluar juga akan berada dalam pernjara besar, hidup dibawah tekanan, tantangan dan rintangan, ratapan, penderitaan dan kesedihan. Saban hari seperti biasanya, Anda akan selalu mendengar elegi (nyanyi sunyi kesedihan) dari rumah ke rumah dan kampung ke kampung di lepas laut, pesisir, pedalaman juga mereka yg hidup di gunung-gunung di bawah tebing-tebing terjal.
Akhirnya juga saya mengerti ketika belajar dari guru besar ilmu polemologi Jhon Galtung di Belgia dan Masri Singarimbun di Yogya bahwa ilmu pholemologi itu hanya mengajarkan kepada saya Kebebasan hanya bisa diraih melalui infinity war: perang dan damai.
[***]Dari anakmu,
Natalius Pigai, aktivis HAM