Alan Frendy Koropitan/Net
Persoalan reklamasi Teluk Jakarta terus menimbulkan poÂlemik di masyarakat. Pertama, pencabutan moratorium reklaÂmasi menimbulkan kontroversi, di mana masyarakat banyak yang menolak pencabutan tersebut. Begitu juga dengan surat dari Djarot Saiful Hidayat sebagai Gubernur DKI Jakarta saat itu meminta DPRD untuk melanÂjutkan pembahasan rancangan perturan daerah (raperda) tenÂtang reklamasi.
Lantas, bagaimana para pakar memandang masalah reklamasi ini? Berikut penuturan Pakar Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), Alan Frendy Koropitan saat memberikan pandangannya dalam diskusi Selamatkan Teluk Jakarta di Kampus LIPI, Jakarta Selatan.
Sebagai pakar kelautan, pandangan Anda terkait masalah reklamasi?
Untuk memahami persoalan reklamasi ini, kita perlu melihat latar belakang kenapa reklaÂmasi ini ada, dan itu dimulai pada 1995 yaitu proyek Jakarta Waterfornt City itu. Dari sumÂber-sumber yang saya dapat itu niatnya adalah untuk revitalisasi pesisir dan Teluk Jakarta. Jadi memang pada saat itu Teluk Jakarta sudah tercemar.
Untuk memahami persoalan reklamasi ini, kita perlu melihat latar belakang kenapa reklaÂmasi ini ada, dan itu dimulai pada 1995 yaitu proyek Jakarta Waterfornt City itu. Dari sumÂber-sumber yang saya dapat itu niatnya adalah untuk revitalisasi pesisir dan Teluk Jakarta. Jadi memang pada saat itu Teluk Jakarta sudah tercemar.
Namun dalam perkembanganÂnya muncul reklamasi dan reviÂtalisasi Teluk Jakarta. Kenapa itu muncul? Saya tidak bisa menjawab dengan pasti, tetapi faktanya itu ada. Mungkin karÂena dana dari pemerintah, dari APBN tidak mencukupi, jadi dengan adanya tambahan reklaÂmasi bisa menutupi lah. Makanya mulai melibatkan swasta. Tetapi yang jelas niat awalnya revitalisasi. Persoalan utamanya adalah pencemaran laut.
Kemudian waktu berjalan terus, muncul temuan lain, yaitu penurunan muka tanah. Penurunan muka tanah ini ada yang 10 centimeter per tahun, ada yang sampai 25 centimeter per tahun. Ini kajian dari IPB. Artinya sudah ada dua persoalan utama. Pertama Teluk Jakarta sudah tercemar, sehingga sumber daya alamnya juga mengalami degraÂdasi. Jadi terus turun terus. Kalai tahun 70an dia masih alami, karena pembangunan yang intens dia mengalami degradasi.
Kemudian persoalan kedua yang jadi tantangan adalah oenuÂrunan muka tanah. Dengan deÂmikian, ini harus dilihat secara komprehensif. Pada 2012 ada kajian yang diinisiasi Bappenas dan KLH. Apa hasilnya? Jadi setelah dikaji terhadap pola arus dan lain sebagainya, terÂjadi perlambatan kecepatan arus disekitar pulau-pulau reklamasi. Akibatnya adalah kemampuan teluk untuk mencuci polutan, sendimen itu menjadi semakin lama. Sendimen dan polutan cenderung akan tertinggal lebih lama di situ.
Maksudnya sebetulnya reÂklamasi malah buat semakin tercemar? Betul. Akibat terjadinya perÂlambatan arus, bahan-bahan organik jadi menumpuk si situ. Lalu juga terjadi akumulasi logam berat.
Darimana sumber pencemaÂrannya? Ya dari darat. Karena perubaÂhan lahan besar-besaran, pemÂbangunan yang besar-besaran di DKI Jakarta sejak 70an sampai sekarang maka bisa menghasilÂkan bahan-bahan tadi. Kami pun jadi bertanya-tanya, masak persoalannya pencemaran dan penurunan permukaan tanah, dijawab dengan reklamasi. Dan ternyata reklamasi menimbulkan persoalan baru.
Apa persoalan barunya? Sendimentasi tadi. Laju sendiÂmentasi diketahui jadi meningkat 50-60 centimeter per tahun. Artinya terjadi pendangkalan yang cepat. Dan kita tahu puÂlau-pulau ini berada di muara. Makanya rekomendasi laporan itu ada potensi terjangan banjir. Akibat keberadaan pulau-pulau ini terjadi keterlambatan arus, sedimentasi meningkat, dan akhirnya banjir.
Makanya rekomendasi dari KLH pada 2012 menyatakan, ini tidak layak secara lingkungan. Namun sayangnya KLHS tidak langsung
fi follow up. Baru belakangan ini KLHS dibenahi setelag ada moratorium. Jadi keÂsannya moratorium itu dilakukan untuk mendetailkan kajian, tapi malah mempersiapkan KLHS. Itu pun tak bisa kami lihat. Kami kan jadi bertanya-tanya, ada apa ini?kalau terjadi sesuatu di kemudian hari siapa yang tangÂgung jawab?Kita kan mikirnya bukan hanya Jakarta lima tahun ke depan. Kita mikirnya pemÂbangunan berkelanjutan sebuah perkotaan.
Bicara soal pencemaran, klaim Pemprov DKI kan setÂelah ada reklamasi lautnya jadi lebih bersih? Itu kan klaim, ini kajian. Makanya kami selalu sebagai akaÂdeminsi tak mau terperangkap di masalah dukung mendukung. Kami ingin mengedepankan kebijakan yang didasari pada fakta ilmiah. Jadi dasarnya itu. Fakta ilmiahnya kan tidak begitu.
Jadi harus bagaimana ini? Kita harus kembali fokus menangani dua masalah utama, yaitu pencemaran dan penuÂrunan menurut saya itu akan meningkatkan SDA yang ada di Teluk Jakarta. Pertama masalah pencemaran. Notabene itu kan dari daratan. Drainasenya dibenÂerin, sungainya dibenerin, orang jangan buang sampah lagi di situ. Limbah cair, limbah oadat dipisahkan, tidak masuk melalui sungai. Tapi melalui semacam sistem intalasi. Itu harusnya fokusnya ke situ. Sehingga Teluk Jakarta tidak jadi tempat pembuangan.
Kalau kita ingat kondisi tahun 70an, bisa enggak kita kembaliÂkan kondisinya 50 persen saja seperti saat itu?Itu yang jadi usuÂlan saya. Kita revitalisasi Teluk Jakarta, kita restorasi Teluk Jakarta. Kita bisa kembalikan 50 persen saja saya yakin ekonomi baru akan muncul. Misalnua tourism, budidaya laut, penangÂkapan, dan lain-lain. ***