Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan menolak permohonan yang diajukan oleh tiga pasangan calon (paslon) dalam perselisihan Pilkada Kabupaten Jayapura. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut dibacakan pada tanggal 23 Oktober 2017 lalu.
Kuasa hukum paslon nomor 1, Budi Setyanto menegaskan jika MK menyisakan permasalahan yang menimbulkan ketidakpastian hukum, yaitu menyangkut rekomendasi Bawaslu RI yang membatalkan Mathias Awaitauw sebagai Calon Bupati karena melanggar Pasal 71 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016.
Rekomendasi Bawaslu tersebut dikeluarkan seblum persidangan MK dan hingga putusan sengketa Kabupaten Jayapura diputus MK, rekomendasi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh KPU Provinsi Papua. Padahal berdasarkan undang-undang, tindaklanjut pelaksanaan rekomendasi pengawas pemilu bersifat wajib.
"Sementara dalam pertimbangan putusannya, MK justru mengatakan lembaganya tidak berwewenang menilai rekomendasi yang dikeluarkan Bawaslu RI sehingga mahkamah pengenyampingkan rekomendasi tersebut," kata Budi kepada wartawan, Kamis (26/10).
Budi menambahkan, pertimbangan MK kali ini sangat berbeda dengan pertimbangan pada beberapa sengketa Pilkada yang telah diputus sebelumnya. Dimana saat itu MK justru mengenyampingkan ambang batas selisih suara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016 karena adanya rekomendasi pelanggaran yang dikeluarkan panwaslu.
Hal tersebut, imbuh Budi, seperti yang terjadi dalam sengketa Pilkada Kabupaten Tolikara. Dalam kasus pilkada Tolikara, walaupun selisih suara antara pemohon dan termohon sangat jauh, MK memutus dilakukan PSU di 18 distrik hanya karena alasan adanya Rekomendasi Panwaslu yang tidak dijalankan oleh KPU Kabupaten Tolikara.
"Jadi terkesan MK tidak konsisten dalam menerapkan ketentuan perundang-undangan. Kalau memang selisih suara itu menjadi syarat mutlak dalam pengajuan sengketa pilkada. Seharusnya seluruh sengketa pilkada yang melebihi ambang batas selisih sura itu ditolak, tidak boleh ada yang ditolak terus ada yang diterima. Ini kan kemudian menghasilkan putusan yang berbeda-beda," tegas Budi.
Dalam konteks putusan terhadap sengketa Pilkada Kabupaten Jayapura, Budi menilai masih ada aspek penting yang belum tersentuh hukum yaitu masalah Rekomendasi Bawaslu RI tentang diskualifiikasi calon petahana yang menurut klaim hakim MK bukan kewenangannya untuk menilai.
"Jika demikian berarti ada institusi atau peradilan lain yang lebih berwenang untuk memutus hal tersebut, karena memang rekomendasi Bawaslu RI ini tidak boleh dibiarkan menggantung, harus ada kepastian hukum," pungkas Budi.
Bawaslu menurut hemat Budi, merupakan produk hukum dari institusi yang memiliki otoritas dalam melakukan pengawasan dan penanganan pelanggaran Pilkada.
"Jika melihat kasus pilkada Jayapura, MK sedang membuat bom waktu bagi dan para pihak terutama yang kalah di MK untuk menempuh saluran hukum lain dalam mempersoalkan masalah rekomendasi bawaslu RI yang belum dilaksakan guna memperoleh kepastian dan keadilan hukum. Pilkada Jayapura juga pasti akan banyak masalah kedepan," demikian Budi.
[san]