Pemerintah Amerika Serikat disebut mengetahui peristiwa 1965. Pengungkapan itu didasarÂkan oleh rangkaian kawat diploÂmatik Kedutaan Besar AS sepanÂjang tahun 1964-1968 di Jakarta. 39 dokumen dengan total 30 ribu halaman itu dipublikasikan lembaga non-profit National Security Archive (NSA), lemÂbaga National Declassification Center (NDC), dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA) pada 17 Oktober.
Komnas HAM pernah menanÂgani peristiwa '65 itu. Berikut pandangan Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron terkait dokumen itu;
Apa tanggapan Komnas HAM terhadap dokumen tersebut?
Tentu saja itu kabar bagus ya. Dokumen itu menambah referÂensi dan informasi kami atas perÂistiwa 65, yang selama ini sangat terbatas, yang memang sengaja dibatasi. Selama ini kita melihat peristiwa 65 itu seolah-olah pelaku dan dalangnya adalah kelompok komunis atau PKI.
Tentu saja itu kabar bagus ya. Dokumen itu menambah referÂensi dan informasi kami atas perÂistiwa 65, yang selama ini sangat terbatas, yang memang sengaja dibatasi. Selama ini kita melihat peristiwa 65 itu seolah-olah pelaku dan dalangnya adalah kelompok komunis atau PKI.
Beberapa dokumen yang semÂpat saya lihat dari media itu ada beberapa petunjuk, tentang siapa sebetulnya pelaku dari peristiwa 65 yang menyebabkan banyak korban, khususnya dari kalanÂgan eks PKI. Dokumen itu ada yang menyampaikan terlibatnya Soeharto. Itu kan berarti mengubah pandangan selama ini. Menujukan bahwa pelakunya tidak dari kelompok PKI. Itu kan pandangan lain yang tidak kita ketahui.
Dokumen itu bisa dijadikan novum enggak? Jadi begini, kalau dikaitÂkan dengan Undang-Undang Komnas HAM itu menyebutkan tugas Komnas HAM melakukan penyelidikan atas dugaan pelangÂgaran HAM berat. Penyelidikan kasus 65 sudah kami serahkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Meskipun masih ada berkas yang bolak-balik ke Komnas HAM. Nah, kalau itu mau dijadiÂkan bukti baru (novum-red), ada beberapa syarat.
Apa saja syaratnya? Pertama, berupa surat keteranÂgan yang otentik. Misalnya di sana ditujukan kalau Soeharto terlibat aksi kekerasan 65. Itu berupa apa? Kalau klipingan koran atau media ya tidak bisa. Kalau cuma kabar dari Kedubes itu baru petunjuk. Kalau untuk novum itu harus ada keteranÂgannya, bisa keterangan ahli atau surat-surat yang otentik. Ada enggak surat keterangan misalnya berupa perintah dari Soeharto sendiri, atau keteranÂgan dari anak buahnya. Nah, itu bisa jadi tambahan bukti.
Sejauh ini apa saja bukti yang sudah dikantongi Komnas HAM terkait kasus itu? Alat bukti untuk menujukan peristiwa itu sebetulnya seÂbagian besar sudah dikumpulkan oleh Komnas HAM. Alat bukti kami itu dari keterangan saksi. Mungkin hampir seribu BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dari saksi dan korban yang sudah kami kumpulkan. Tapi keteranÂgan itu kan baru satu alat bukti. Sekarang tinggal bukti dokuÂmennya yang belum. Ini yang dibutuhkan buat novum.
Kalau temuan YPKP 65 kemarin bisa dijadikan novum enggak? Temuan apa? Kalau yang kuburan massal itu mau dijadiÂkan bukti harus melalui otopsi lagi. Dan itu masuknya sebagai bukti yudisial. Kalau mau dijadiÂkan bukti harus digali kembali, kemudian diidentifikasi mayatÂnya, penyebab kematiannya apa dan lain sebagainya. Nah, untuk sampai ke sana Komnas HAM tidak bisa sendirian. Untuk bisa membongkaran kuburan saja harus melibatkan pihak lain. Betul nantinya temuan itu bisa membantu memperkuat bukti. Tapi bukan bukti Komnas HAM, melainkan memperkuat bukti-bukti Kejagung. Jadi harus maju ke penyidikan dulu. Kalau kami sih merasa sudah cukup.
Itu kenapa tidak bisa maju ke penyidikan? Sebetulnya kalau menurut kami bukti-bukti yang selama ini diserahkan kepada Kejagung itu sudah cukup. Bukti yang menunjukkan siapa pelaku itu yang harusnya ditelusuri oleh Kejagung. Tugas Komnas HAM itu cuma menujukkan apakah sudah bisa dianggap sebuah peristiwa pelanggaran HAM. Kalau peristiwa itu kan belum bisa menujukkan siapa pelakunnya.
Nah, untuk menunjukan siapa pelakunya itu sudah tugas peÂnyidik. Mereka yang harusnya memperkuat dugaan itu. Mestinya lebih tepat kalau Kejagung yang lakukan, bukan kami. Bagi Komnas HAM sendiri, karena tugasnya hanya penyelidikan, kami merasa cukup. ***