Nasaruddin Umar/Net
Nasaruddin Umar/Net
BENTUK kekerasan lain yang berbasis gender ialah kekÂerasan seksual. Bentuk kekÂerasan ini banyak menjadikan perempuan sebagai korban. Kekerasan seksual banyak dipicu oleh mitos-mitos tradisÂional tentang seksualitas, sepÂerti mitos selaput dara, seks tabu, sakralisasi khitan, misÂteri hubungan kelamin pertama, mitologisasi tubuh perempuan, mistikasi orgasme, fikih air mani, keperÂcayaan di balik erotisme, dan akhlak berhubungan seks, sampai kepada apa yang disebut dengan kenÂdali seksual dan kesenangan biologis (sexual drives and enjoyment). Kesemuanya ini ada yang merujuk kepada pemahaman agama dan lainnya merujuk kepada tradisi luhur.
edudukan perempuan dalam lintasan sejarah kultural kawasan Timur Tengah dan Eropa di masa lampau, berada di bawah subordinasi laki-laki. TangÂgung jawab, risiko, dan beban dalam proses reÂproduksi, sebagian besar berada di pundak peremÂpuan. Elemen-elemen seksual, seperti kenikmatan seksual (sexual enjoyment) seakan-akan hanya dapÂat dirasakan oleh masyarakat kelas atas. Dalam novÂel "Seribu Satu Malam (Alf Lai l wa Lail)," diceritakan perempuan bangsawan dapat menikmati kepuasan seksual dari kehebatan otot tegar budak laki-laki neÂgroid. Apalagi kaum laki-lakinya, mereka dapat meÂnikmati gadis-gadis perawan setiap malam, dengan berlindung di bawah institusi harem yang seolah-olah ditolerir oleh agama dan negara. (Geoffrey Parrinder, Sex in the World's Religions, h. 166).
erdapat beberapa ayat dan hadis yang sering disalah pahami dan dijadikan dalil untuk melegitiÂmasi kesewenang-wenangan hak seksual laki-laÂki, seperti dalam ayat: "Istri-istrimu adalah (sepÂerti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya". (Q.S. al-Baqarah/2:223). Ayat ini sering dijadikan sebagai dasar untuk meÂlegitimasi otoritas seksual laki-laki, padahal motif seperti ini jauh melenceng dari konteks dan sabab nuzul ayat di atas. Perempuan diumpamakan seÂbagai "kebun" yang dapat digarap kapanpun dan dengan teknik dan gaya apapun, sesuai dengan selera laki-laki. Ayat ini sesungguhnya turun unÂtuk menjawab pertanyaan kalangan sahabat yang menanyakan tanggapan Rasulullah tentang mitos orang-orang Yahudi yang mengatakan orang yang mendatangi istrinya dari arah belakang, anaknya akan terlahir dalam keadaan mata juling. Ayat ini sebenarnya berfungsi sebagai demitologisasi seksual yang berkembang di dalam masyarakat, bukannya untuk memberikan "SIM" terhadap laki-laki untuk melakukan seks bebas terhadap isteri tanpa memperhatikan faktor enjoyment istrinya.
Populer
Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21
Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58
Senin, 08 Desember 2025 | 19:12
Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53
Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46
Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25
Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00
UPDATE
Kamis, 18 Desember 2025 | 04:05
Kamis, 18 Desember 2025 | 04:00
Kamis, 18 Desember 2025 | 03:32
Kamis, 18 Desember 2025 | 03:09
Kamis, 18 Desember 2025 | 03:01
Kamis, 18 Desember 2025 | 02:40
Kamis, 18 Desember 2025 | 02:13
Kamis, 18 Desember 2025 | 02:01
Kamis, 18 Desember 2025 | 01:31
Kamis, 18 Desember 2025 | 01:09