Berita

Publika

Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, RI Menuju Neoliberalisme Paripurna

JUMAT, 20 OKTOBER 2017 | 14:41 WIB

BERBAGAI paket ekonomi yang berjumlah 16 dirilis oleh pemerintah melalui Menko Perekonomian dan Menteri Keuanganbukan hanya tidak efektif, tapi gagal total untuk meningkatkan kinerja dan performa ekonomi nasional.

Jika paket tersebut bekerja dengan baik cukup tiga hal saja sehingga kita bisa melihat perbaikan ekonomi, misalnya peningkatan daya saing industri, peningkatan daya beli masyarakat dan harga pangan, BBM, listrik yang murah serta terjangkau oleh masyarakat.

Padahal 16 paket ekonomi tersebut sudah menghapus yang namanya daftar negatif investasi (DNI). Namun setelah faktor DNI dihapuskan, negara ini menuju neoliberalisme paripurna.


UU 25/2007 tentang Penanaman Modal Asing ataupun Lokal. Undang-undang ini sesungguhnya merupakan regulasi yang didikte oleh negara asing neoliberal dengan alasan untuk perbaikan perekonomian Indonesia. Beberapa indikator peraturan atau undang-undang, misalnya, Jokowi menerbitkan PP No 1 Tahun 2017 terkait Perubahan Keempat PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba.

Kementerian ESDM menerbitkan Permen ESDM Nomor 08 Tahun 2017 Tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Dengan Gross Split Neoliberalisme secara brutal baru saja dimulai karena dengan sistem ini peran negara sebagai representasi rakyat sama sekali hilang dan sepenuhnya digantikan oleh Swasta lokal/BUMN atau Asing.

Apa saja hal yang dilakukan setelah faktor DNI dihapuskan, berikut inilah hasilnya :

Asing bisa kuasai 35 bidang usaha di Indonesia :
1. Warga asing dari 169 negara bebas visa masuk ke Indonesia.
2. Warga asing boleh miliki properti di Indonesia

Program Reforma Agraria model Jokowi juga terancam gagal dan omong kosong  karena tidak ada perubahan ideologi ekonomi politik.

Haluan ekonomi rezim neoliberalisme ini tidak mengacu ke Pancasila, Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 5/1960, Ini terbukti dengan banyaknya konflik agraria contoh reklamasi di Teluk Utara Jakarta, Bali, Meikarta, pembebasan lahan jalan tol, kereta cepat, perkebunan dan lain-lain. Neoliberalisasi agraria ini yang memicu konflik agraria di hampir setiap jengkal tanah Republik ini.

3. Pihak asing boleh kuasai 100% industi gula dan karet di Indonesia.
4. Asing boleh kuasai 100% saham restoran & perusahaan jalan.
5. Asing boleh kuasai 85% saham modal ventura.
6. Asing bisa kuasai 100% saham di pembangkit listrik.
7. Asing boleh kuasai 100% usaha bioskop di Indonesia.
8. Asing Boleh Kuasai 7 Usaha Pariwisata.
9. Asing Bisa Kuasai Mayoritas Pengelolaan Tol, Bandara dan Pelabuhan.

Prioritas utama pemerintahan Jokowi-JK adalah utang, bukan infrastruktur. Infrastruktur dari hutang jadi berhutang kemudian untuk membayar utang di saat negara kesulitan ekonomi, padahal hampir semua kementerian dan lembaga malah meminta tambahan anggaran terbukti dari pertumbuhan ekonomi yang terus menurun, pengangguran meningkat dan indeks gini ratio yang terus melebar adalah bukti kegagalan SMI dan Darmin Nasution serta anjloknya neraca perdagangan dan keuangan yang tidak sanggup dibendung oleh tim ekonomi Jokowi tersebut.

Daya beli masyarakat yang menurun selama tiga tahun terakhir. Tampak pada data pertumbuhan konsumsi rumah tangga milik Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2014, konsumsi rumah tangga masih mampu tumbuh 5,14 persen, namun turun ke 4,96 persen di tahun 2015. Tahun 2016, pertumbuhan konsumsi naik tipis ke 5,01 persen.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga tahun ini hanya akan mencapai 4,97 persen.
Berdasarkan data tersebut jelas seperti 'tanpa pemerintah pun' bangsa ini mampu bertahan hidup dan sanggup menghidupkan negara ini. Pertanyaannya adalah, ke mana dan apa yang dikerjakan oleh para menteri ekonomi Jokowi yang katanya tokoh berpengaruh di dunia itu?

Entah apa yang membuat Jokowi terlalu percayakan tim ekonomi kepada orang yang prestasinya berutang? SMI, Darmin Nasution dkk adalah tim ekonomi second hand yang sebenarnya merekalah bersama SBY yang membuat ekonomi Indonesia susah untuk take off.

Jokowi menargetkan pertumbuhan tujuh persen dalam Trisakti Nawacita-nya dengan mengandalkan pembangunan infrastruktur. Tapi setelah tiga tahun pertumbuhan hanya lima koma sekian saja dan akibat proyek pembangunan infrastruktur akhirnya memberatkan APBN dan peningkatan utang negara yang begitu progresif dalam waktu singkat.

Ketika target ambisius pembangunan proyek listrik 35 ribu megawatt meleset dan direvisi, maka dipastikan pertumbuhan ekonomi di tahun 2018 akan berkurang dari lima koma sekian persen. Begitu juga target swasembada pangan tahun 2017, pemerintah justru impor pangan besar.  

Tim ekonomi pemerintah Jokowi di bawah komando Sri Mulyani dan Darmin Nasution telah memangkas anggaran belanja negara sebesar Rp 133,8 triliun. Pemangkasan anggaran yang mencakup pemotongan belanja kementerian dan lembaga Rp 65 triliun serta transfer ke daerah Rp 68,8 triliun juga disinyalir hanya untuk menyenangkan kartel internasional.

Selama tiga tahun ini Jokowi telah menambah utang lebih dari Rp 1.000 triliun. Tercatat utang pemerintah sejak 2014 naik Rp 1.261,52 triliun ke posisi Rp 3.866,45 triliun hingga September 2017.

Dengan retorika murahan untuk meraih kepercayaan publik dan membuat dunia usaha menjadi lebih yakin dalam melakukan aktivitas ekonomi, padahal ujung-ujungnya Rp 221 triliun dari APBN 2017 hanya untuk bayar hutang jika diakumulasi total utang dan bunga utang yang jatuh tempo di tahun 2018 dan 2019 berjumlah 810 T.

Melalui skema program Kerja Sama Pembiayaan Swasta (KPS/KPBU) dengan bentuk kerja sama utang negara maupun swasta asing dan asong lokal secara langsung, contohnya sebagian utang juga digelontorkan ke kepada kelompok oligarki penyokong kekuasaan yaitu para taipan dan perusahaan swasta lokal melalui skema kredit Bank BUMN, pembangunan infrastruktur yang mengatasnamakan kebutuhan rakyat dan dibangun atas dasar skema liberalisasi aset publik yang disembunyikan dalam skema tersebut.

Pengetatan anggaran atau austerity yang dilakukan SMI merupakan resep yang sudah terbukti gagal di kawasan Eropa. Di negeri-negeri Eropa yang sedang terlanda krisis, austerity yang dipaksakan oleh Troika (Bank Dunia, IMF, dan Uni Eropa) malah semakin memperburuk perekonomian dalam negeri Indonesia

Di bawah komando SMI, ia mencermati tim ekonomi Presiden Jokowi hanya mampu membuat pertumbuhan ekonomi di 2016 tidaklah maksimal, yaitu hanya sebesar 5,02 persen karena masih memegang prinsip kuno dan konservatif. Padahal pertumbuhan ekonomi dapat menembus 6,5-6,7 persen jika disertai dengan terobosan yang kreatif. Apalagi terbukti program pengampunan pajak atau Tax Amnesty juga gagal hanya mencapai Rp114 triliun dari target Rp165 triliun.

Lengkap sudah kegagalan SMI, Darmin Nasution dkk di dalam pemerintahan Jokowi saat ini. Negara tambah melarat, rakyat tambah sekarat.

Dengan sederat kegagalan SMI dan timnya, posisi Indonesia menjadi sangat berbahaya karena tidak memiliki kedaulatan politik dan ekonomi karena keuangan diserahkan ke Amerika dan sekutunya. Sementara sektor perdagangan diserahkan kepada China. Kondisi seperti ini menjadikan kepentingan nasional Indonesia menjadi subordinasi kepentingan global. Artinya, Indonesia untuk menjadi negara besar di kawasan Asia tidak akan pernah terjadi.

Rapor merah' pemerintahan Jokowi berdasarkan survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada 17-24 September 2017.

Dalam hal membeli kebutuhan pokok,  misalnya. Sebanyak 43 persen responden merasa semakin berat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari. Hanya 18 persen yang menyatakan pemenuhan kebutuhan pokok semakin ringan dibanding tahun lalu.

Selain itu, responden juga merasa pengangguran di Indonesia saat ini semakin banyak dibanding tahun lalu. Sebanyak 50 persen responden menjawab bahwa pengangguran makin banyak. Hanya 20 persen yang menjawab makin berkurang.

Sebanyak 54 responden juga merasa mencari pekerjaan makin sulit. Hanya 14 persen responden yang merasa mencari pekerjaan semakin mudah. Waspadalah! [***]


Satyo Purwanto

Sekjen Pro Demokrasi

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

UPDATE

Rumah Dinas Kajari Bekasi Disegel KPK, Dijaga Petugas

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:12

Purbaya Dipanggil Prabowo ke Istana, Bahas Apa?

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:10

Dualisme, PB IKA PMII Pimpinan Slamet Ariyadi Banding ke PTTUN

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:48

GREAT Institute: Perluasan Indeks Alfa Harus Jamin UMP 2026 Naik

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:29

Megawati Pastikan Dapur Baguna PDIP Bukan Alat Kampanye Politik

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:24

Relawan BNI Ikut Aksi BUMN Peduli Pulihkan Korban Terdampak Bencana Aceh

Jumat, 19 Desember 2025 | 19:15

Kontroversi Bantuan Luar Negeri untuk Bencana Banjir Sumatera

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:58

Uang Ratusan Juta Disita KPK saat OTT Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:52

Jarnas Prabowo-Gibran Dorong Gerakan Umat Bantu Korban Banjir Sumatera

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:34

Gelora Siap Cetak Pengusaha Baru

Jumat, 19 Desember 2025 | 18:33

Selengkapnya