Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) kembali meÂlayangkan gugatan sengketa informasi publik ke Komisi Informasi Publik (KIP) terkait keterbukaan informasi proyek reklamasi Teluk Jakarta. Kali ini mereka menuntut dibukanya informasi laporan dwi mingguan PT Kapuk Naga Indah dan PT Muara Wisesa Samudera keÂpada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Upaya hukum ini ditempuh setelah sebelumnya permintÂaan koalisi tak ditanggapi oleh kedua pengembang itu. Berikut penuturan Nelson Nikodemus Simamora, anggota KSTJ dari LBH terkait gugatan tersebut.
Kenapa koalisi menuntut laporan tersebut?
Jadi, kan waktu itu Rizal Ramli (saat menjabat Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Sumber Daya) umumkan moratoÂrium, 16 April 2016 kalau enggak salah. Moratorium itu juga disertai dengan konferensi pers tim gabunÂgan, dan mengumumkan adanya pelanggaran sedang, berat, dan ringan dalam proyek reklamasi. Atas pelanggaran itu KLHK keÂmudian menerbitkan SK (Surat Keputusan-red) Nomor 354 untuk Pulau C dan D, serta SK Nomor 355 untuk Pulau G. Nah, SKitu disertai 11 poin perintah perbaikan untuk Pulau C dan D, serta delaÂpan poin perintah perbaikan untuk Pulau G. Dari situ ada kewajiban untuk memberikan laporan per dua minggu, terkait progres peÂmenuhan poin-poin tersebut.
Nah, kami kan dapat SKitu, kami tahu ada kewajiban itu, maka kami minta laporannya supaya tahu, betul tidak telah terjadi perbaikan-perbaikan yang diwajibkan. Kami ajukan permintaan itu 29 Mei 2017. Juni mereka jawab permintaan kami, mereka menyatakan masih menÂcari dokumen tersebut dan memÂinta kami untuk menunggu. Nah, sampai September ini enggak ada hasil juga. Padahal, batas waktu untuk memenuhi permintaan itu harusnya tujuh hari.
Nah, kami kan dapat SKitu, kami tahu ada kewajiban itu, maka kami minta laporannya supaya tahu, betul tidak telah terjadi perbaikan-perbaikan yang diwajibkan. Kami ajukan permintaan itu 29 Mei 2017. Juni mereka jawab permintaan kami, mereka menyatakan masih menÂcari dokumen tersebut dan memÂinta kami untuk menunggu. Nah, sampai September ini enggak ada hasil juga. Padahal, batas waktu untuk memenuhi permintaan itu harusnya tujuh hari.
Kami sudah cukup bersabar selama empat bulan. Kami pikir berkasnya dua dus, mungkin ada foto-foto telah adanya perbaikan, dan dokumen-dokumen lingkunÂgan hidup banyak. Kami sudah siap untuk foto kopi semua itu. Ternyata empat bulan enggak ada jawaban, tiba-tiba Luhut ngomong moratorium akan dicabut oleh Menko Maritim. Katanya sudah ada pembahasan dan mereka menyimpulkan kalau sudah tidak ada lagi masalah.
Jadi yang ingin Anda keÂtahui terkait proses perubaÂhan sikap pemerintah yang tadinya menghentikan proyek reklamasi hingga akhirnya mencabut penghentian itu...Ya, jadi yang kami pertanÂyakan kesepakatan macam apa (yang terjadi dalam proses peÂrubahan sikap pemerintah) itu? Sebelumnya enggak pernah dijelaskan kalau kewajibannya sudah terpenuhi semua. Kalau sebelumnya Rizal Ramli menÂgumumkannya secara resmi setelah rapat yang disiarkan seÂcara live dengan Ahok, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastitu, Menteri Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada Jonan (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral), dan pejabat-pejabat penting lainnya. Tapi kok beda dengan (proses yang terjadi saat peÂmerintah mencabut penghenÂtian reklamasi) yang terakhir ini? Kalau dulu kan disebutkan ada penganggaran gini...gini...gini...kami memutuskan untuk menghentikan sementara. Dulu bahasanya membatalkan proyek reklamasi. Kalau (proses penÂcabutan penghentian reklamasi) ini kan serba tidak berdasar, dan serba tidak transparan.
Memang apa pentingnya seÂhingga Anda ingin mengetahui detail dari proses itu?
Kalau (laporan) itu diberikan nanti ketahuan, ini bener-bener ada perbaikan enggak? Salah satu poin yang dipermasalahkan itu kan soal sedimentasi (setelah adanya proyek reklamasi), karena banyak kapal yang karam. Pasir-pasir (yang digunakan untuk menÂguruk laut di proyek reklamasi) itu kan banyak yang kececer, enggak jadi pulau. Jadi KLHK itu memerintahkan supaya mereka mengeruk sedimentasi itu.
Selain itu apalagi perintah perbaikan yang dikeluarÂkan KLHK yang menurut Anda belum dikerjakan oleh pengembang? Ada juga kanal. Berdasarkan SK itu kan harus buat sekat ratusan meter supaya kapal bisa lewat. Nah, dari informasi yang kami dapatkan dari media dan nelayan, kapal nelayan yang lewat dekat Pulau C dan D itu masih sering karam. Dari media kami juga dapatkan informasi bahwa kanal itu cuma 10 meÂter dalamnya. Praktis dengan kondisi seperti itu enggak meÂmungkinkan dilewati kapal yang berapa gross ton begitu.
Jadi kami mau tahu, kewaÂjiban itu sebetulnya sudah terlakÂsana apa belum? Karena fakta di lapangan masih banyak masalah. Masalahnya yang dikasih ke kami itu cuma SK pencabutan sanksi administratif paksaan. Di sana hanya disebutkan SK pencabutannya, tapi tidak disÂebutkan alasannya apa. Itu pun dikasih tahu yang dicabut baru Pulau C dan D.
Lho Pulau G-nya belum?G belum. Tapi Menteri Luhut bilang Pulau C, D, dan G itu sudah dicabut. Kok jadi kayak main-main ini? Padahal ada ribuan orang yang terdampak proyek ini. Tidak hanya neÂlayan, warga di Kamal itu juga sekarang jadi sering kebanjiran, semenjak ada pulau.
Kalau untuk kondisi Pulau G sendiri masih ada masalah enggak?Di Pulau G juga masih ada masalah. Misalnya keluar masuk air untuk kebutuhan PLTU Muara Karang itu agak susah seÂmenjak ada pulau. Jadi akan
over heating. Air yang masuk itu kan dingin, sementara yang keluar itu panas. Semenjak ada pulau itu terjadi pencampuran antara air dingin dengan panas. Jadi airnya enggak bisa untuk mendinginkan generator PLTU. Bisa jebol PLTU kalau terus begitu. Padahal listrik Jawa-Bali dari situ. Bahkan listrik Istana Negara juga dari situ.
Memang kalau dokumenÂnya diterima nanti mau diaÂpakan?Ya kami teliti, kami akan geÂlar diskusi baik formal maupun informal dengan ahli-ahli yang kami punya. Misalnya dengan Profesor Muslim Muin dari ITB (Institut Teknologi Bandung), Pak Alan itu Pakar Oceanografi dari ITB, lalu dari LIPI(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) juga ada.
Nah itu kami akan tanya ke mereka, dan akan kami coÂcokkan dengan peraturan peÂrundang-undangan ini bener enggak? Memang dari awal kami yakin reklamasi ini enggak memungkinkan untuk dilakuÂkan, tanpa PLTU itu pindah. Kalau menurut Profesor Muslim Muin, PLTU itu harus pinÂdah kalau seandainya Pulau G jadi. Karena mesinnya (PLTU) akan jebol, karena tidak ada air untuk mendinginkan. Dan itu akan ganggu kabel bawah laut. Itu juga sebetulnya sudah dipermasalahkan oleh PLN sejak 2003. PLN sudah kirim surat yang menyatakan mereka terganggu dengan itu.
Perkembangan gugatan reklamasi oleh KSTJ saat ini seperti apa? Pulau G masih jalan, kami mau ajukan PK (Peninjauan Kembali-red) tapi belum daÂpat putusan kasasinya. Memang kami kalah, tapi bukan karena substansi. Kalau Pulau F, I, dan Kitu masih proses banding di Pengadilan Tinggi. Kami juga heran, proses hukumnya masih jalan tapi Luhut sudah bilang reÂklamasi dilanjutkan. Reklamasi mana yang dilanjutkan? Kalau semua dilanjutkan otomatis dia melangkahi proses hukum kan. Karena Pulau F, Pulau I, dan Pulau Kmasih kami gugat.
Kalau menurut KSTJ ini kenaÂpa moratorium sudah dicabut?Kalau menurut saya itu buru-buru aja, sebelum Anies-Sandi menjabat. Karena (Anies-Sandi) dilobi enggak kena kayaknya. Informasi yang beredar itu kan Luhut itu telepon Anies berkali-kali, ngelobi supaya dia enggak batalin reklamasi. Karena engÂgak bisa lewat cara halus, cara keraslah dipakai. ***