Posisi pemerintah dinilai di atas angin dalam melakukan negosiasi divestasi saham dengan Freeport. Pasalnya, sekalipun perundingan buntu (dead lock), Indonesia tetap diuntungkan.
Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu meminta peÂmerintah tidak lembek dalam negosiasi dengan PT Freeport Indonesia. Misalnya, mengenai negosiasi divestasi, sudah seharÂusnya Freeport yang ikut skema pemerintah.
"Mereka menolak skema diÂvestasi, kenapa harus diambil pusing. Posisi Indonesia di atas angin. Kalau tidak mau ikut skema (pemerintah), cuekin aja. Itukan artinya mereka tidak memiliki niat baik. Jadi nanti kontrak dengan Freeport pada 2021 bisa diakhÂiri," kata Irawan kepada Rakyat Merdeka, pada akhir pekan.
Irawan menuturkan, pemerinÂtah tidak rugi, tidak kerja sama dengan Freeport. Sebaliknya, malah diuntungkan. Karena, saat ini Indonesia sudah memiliki kemampuan mengelola tambang sendiri. Hal tersebut tercerÂmin dari kinerja PT Indonesia Asaham Aluminium (Inalum), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di sekÂtor tambang. "Sejak dipegang putra-putri Indonesia, kinerja Inalum tidak sekadar membaik, tetapi mengalami kemajuan yang cepat," imbuhnya.
Apalagi, lanjut Irawan, pemÂbentukan holding tambang yang dipimpin Inalum sudah hampir rampung. "Kami sudah datang ke Inalum, ngecek langsung ke siapan keuangan dan teknis. Mereka nyatakan siap 100 persÂen kelola lapangan tambang," terangnya.
Saat ditanya soal nilai panÂtas divestasi Freeport, Irawan berpendapat, banyak metode yang bisa digunakan antara lain merujuk nilai pasar seperti yang disampaikan Menteri EnÂergi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Atau menghitung dari nilai jika memÂbangun kembali. Teknisnya, bisa menunjuk tim independen.
Sebelumnya, Jonan memÂperkirakan 51 persen saham Freeport Indonesia 4 miliar dolar AS atau sekitar Rp 54 triliun (kurs Rp 13.500 per dolar AS). Perhitungan tersebut didasarkan pada nilai kapitalisasi pasar FreeÂport McMoran dan kontribusi keuntungan Freeport Indonesia terhadap induk usahanya tersebut di New York Stock Exchange.
Selain DPR, Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin juga menilai hitungan Jonan pantas dipertimbangkan.
"Saya rasa itu ancer-ancer yang bagus perhitungannya bagus. Aku ikut saja dengan aturan Pak Jonan dan Ibu Ani (Sri Mulyani)," ujar Budi di Jakarta, Jumat (13/10).
Budi mengatakan, pihaknya sudah siap menyerap saham Freeport. Menurutnya, salah satu alasan dirinya ditunjuk menjadi Dirut memang untuk menyiapÂkan divestasi.
Dia mengungkapkan, pemerÂintah sendiri telah menjelaskan terkait berapa persen saham FreeÂport yang bakal diakuisisi Inalum lewat holding BUMN tambang. Hanya saja dirinya belum bisa mengungkap angkanya.
Patuhi UUD 45 Sementara itu, anggota Komisi VII Kurtubi meminta, dalam negosiasi divestasi pemerintah mematuhi amanah konstitusi. Menurutnya, harus dibedakan cara menghitung aset pertamÂbangan di Indonesia dan negara lain. Karena, Indonesia memiÂliki Undang-Undang Dasar 45 yang posisi tertinggi dari aturan apa pun yang berlaku di negeri ini. Dan, isinya mengatur soal kekayaan sumber daya alam. "Di dalam Undang-Undang Dasar sudah sangat jelas bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya milik Negara. Artinya cadangan emas di perut bumi bukan milik Freeport tetapi milik IndoneÂsia. Tidak boleh kekayaan itu dihitung menjadi bagian aset mereka," tegas Kurtubi.
Dia mengatakan, aset Freeport hanya alat yang sudah mereka beli dan hasil tambang yang sudah ada dipermukaan.
"Kalau nggak mau ikut hitunÂgan kita, ya kontrak cukup samÂpai 2021 saja," pungkasnya.
Saat ini setidaknya ada dua hal dalam negosiasi antara peÂmerintah dengan Freeport yang masih alot. Pertama, soal skema divestasi. Freeport ingin divestasi mempertimbangkan nilai aset dan nilai pasar hingga 2041. Karena, Freeport merasa memiÂliki hak perpanjangan kontrak. Freeport juga ingin divestasi dilakukan secara bertahap tidak seperti keinginan pemerintah yang mesti selesai sebelum 2021. Kedua, sistem pajak, Freeport ingin pajak pungutan ditetapkan stabil, tidak seperti pemerintah yang inginkan besaran pungutan mengikuti aturan berlaku. ***