Berita

Ahmad Suadi/Net

Wawancara

WAWANCARA

Ahmad Suadi: Jadi Korban First Travel Bencana, Ada Terkait Kemenag, Ditjen Pajak & Kemlu

KAMIS, 05 OKTOBER 2017 | 08:31 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Ahmad Suadi prihatin melihat korban First Travel. Menurut dia menjadi korban First Travel ada­lah bencana. Berikut penuturan anggota Ombudsman Ahmad Suadi terkait kasus First Travel.

Apa saja hasil investigasi Ombudsman sejauh ini?
Pertama perlu saya sampaikan bahwa investigasi kami berang­kat dari laporan masyarakat yang tidak bisa berangkat, dan sebagian tidak bisa pulang (um­roh). Maksudnya pulangnya sem­pat tidak jelas kapan, meskipun pada akhirnya pulang.

Kami harusnya menyelesaikan laporan itu, tapi di lapangan ka­mi menemukan banyak masalah lainnya. Terutama dari para kor­ban First Travel yang lebih dari 58 ribu orang itu. Dengan be­gitu kami berkesimpulan bahwa menjadi korban First Travel itu adalah bencana. Kalau itu dis­ebut bencana, maka bencara itu belum berakhir, karena ada ban­yak masalah yang ditemukan. Kami coba menginvestigasi dari A-Z. Jadi terus terang ini bukan hanya masalah Kementerian Agama (Kemenag), tapi juga ke Ditjen Pajak, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan lainnya.

Kami harusnya menyelesaikan laporan itu, tapi di lapangan ka­mi menemukan banyak masalah lainnya. Terutama dari para kor­ban First Travel yang lebih dari 58 ribu orang itu. Dengan be­gitu kami berkesimpulan bahwa menjadi korban First Travel itu adalah bencana. Kalau itu dis­ebut bencana, maka bencara itu belum berakhir, karena ada ban­yak masalah yang ditemukan. Kami coba menginvestigasi dari A-Z. Jadi terus terang ini bukan hanya masalah Kementerian Agama (Kemenag), tapi juga ke Ditjen Pajak, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan lainnya.

Detail temuannya belum bisa saya berikan kepada rekan-re­kan media. Tapi secara umum bisa saya ungkapkan. Yang per­tama adalah soal peraturan. Jadi, Undang-Undang Haji, waktu itu judulnya Undang-Undang Haji belum umroh akhir tahun 2008. Waktu itu umroh masih sangat sedikit, dan diasumsi­kan umroh itu bagian dari haji. Nah, peraturan itu diperbarui pada 2012. Kemudian peraturan Kemenag yang terbaru adalah 2015. Sementara data yang kami lihat itu ada kenaikan yang cukup drastis sejak 2013.

Sebabnya ada banyak hal, misalnya karena kuota haji yang terbatas bisa sampai 15 tahun dan faktor-faktor lain. Tapi yang ter­penting adalah bahwa kenaikan itu belum diantisipasi dengan aturan baru, dan kecenderungan­nya yang terakhir umroh itu jadi industri.

Apa temuan selanjutnya?
Yang kedua adalah perlu adan­ya perbaikan dan prinsip dalam peraturan, supaya ibadah umroh tidak diindustrikan. Menurut kami, kalau tidak ada perbaikan yang prinsip, maka kasus seperti First Travel kemungkinan akan muncul terus menerus, bahkan berpotensi semakin membesar.

Kemudian yang ketiga kami lihat harus ada perubahan dan penegasan dalam peraturan um­roh. Kami menilai urusan umroh itu harus ada di Kemenag, meski undang-undang menyatakan penyelenggara umroh Kemenag dan atau swasta. Menurut kami kalimat dan atau ini menjadi masalah. Misalnya pemerintah jadi penyelenggara umroh, dan swasta juga.

Menurut kami itu bisa me­nyebabkan double peran, dan menimbulkan conflict of inter­est. Yang paling mungkin dari problem tadi adalah dipisahkan antara urusan ibadah dengan industri. Karena kalau dua hal ini dicampur akan terus ada problem.

Apalagi temuannya?
Berikutnya adalah masalah pengawasan dan penindakan terhadap PPUI. Kemenag meski oleh undang-undang diberi hak untuk mengontrol, tapi tidak mengerti bagaimana mengontrol PPIU yang tidak membayar pajak. Dalam lacakan kami, First Travel itu tidak bayar pajak tahun 2016. Jadi secara aturan ini sebetulnya sudah bisa ditu­tup sejak 2016 oleh Direktorat Jendral Pajak.

Aturannya sebetulnya sudah cukup lengkap ya. Misalnya aturan Kemenag 2015 itu mengatur tentang perijinan dari PPIU den­gan cukup lengkap. Contohnya harus sudah dua tahun jadi travel di Dinas Pariwisata, harus ada NPWP, dan lain sebagainya. Tapi temuan kami itu banyak yang tidak ada NPWP-nya tapi tetap jalan, ada yang tidak ada IMB-nya tapi bisa tetap jalan, dan seterusnya.

Data hanya di PPIU dan mereka umumnya tidak bersedia mem­berikan data kepada pemerintah. Akibatnya, terdapat perbedaan data antara data jumlah PPlU.

Perbedaan data seperti apa?
Dari 387 PPIU yang berdomisili di DKI Jakarta dan terdaftar di Kemenag, hanya 83 PPIU atau sekitar 21 persen yang terdaftar di PTSP DKI Jakarta. Lalu, ter­dapat 304 PPIU yang terdaftar di Kementerian Agama, namun tidak ada di Dinas Penananaman Modal PTSP DKI Jakarta. Di samping itu, terdapat 100 PPIU yang terdaftar di Dinas Penanaman Modal PTSP DKI Jakarta namun tidak ada di Kemenag.

Dari keterangan 83 PPIU yang terdaftar di Kemenag dan di PTSP, keseluruhannya telah tercantum di data Ditjen Pajak. Namun, dari jumlah tersebut data yang berstatus KSWP (PER-43/PJ/2015), yang valid hanya 64 PPIU. Ada 19 PPIU tercantum tidak valid, misalnya karena memiliki masalah dalam data pajak seperti nomor NPWP tidak sama dengan nama perusahaan atau pimpinan perusahaan, dan ditemukan tidak menyerahkan SPT selama 2 tahun.

Hanya itu perbedaan da­tanya?
Tidak. Berdasarkan penye­suain data dari 83 PPIU yang berada di DKI Jakarta dan ter­daftar di Kemenag, ditemukan 36 PPIU atau sekitar 43 persen yang melampirkan IMB sebagai persyaratan menjadi Biro Perjalanan Wisata dan atau PPI U, 17 atau sekitar 21 persen PPIU yang tidak melampirkan IMB dan 30 PPIU, atau sekitar 36 persen yang tidak terdaftar,

Selain itu, berdasarkan hasil koordinasi dengan PTSP DKI Jakarta dalam penyesuaian terhadap 83 PPIU yang terdaftar di Kemenag dan PTSP DKI Jakarta, ditemukan 39 PPIU atau sekitar 47 persen melampirkan NPWP sebagai persyaratan dalam pengurusan izin Biro Perjalanan Wisata/PPIU. Dari jumlah itu terdapat 14 PPIU atau sekitar 17 persen yang tidak melampirkan NPWP dalam pengurusan izin dan 30 PPIU atau sekitar 36 persen yang tidak terdaftar.

Dengan adanya semua temuan ini, apakah ada in­dikasi kuat terjadi maladmin­istrasi?
Jelas. Dari aturannya saja sudah ada indikasi maladmin­istrasi, karena tidak cukupnya mekanisme pengawasan, koordi­nasi, dan kontrol yang dilakukan Kemenag, Kemenkeu, Kemenlu, Kemendagri, bahkan Kemenkum HAM. Termasuk soal penegakan hukum dari polri.

Apa masukan Ombudsman?
Pertama untuk Kemenag, kami minta supaya mengontrol secara langsung. Sekarang ini PPIU kan dibiarkan sendiri. Misalnya soal daftar orang yang umroh. Kemenag tidak punya daftar itu. Demikian juga dengan Konjen di Jeddah juga tidak punya daftar jamaah yang ada di sana. Kami minta pelayanan pelaksanaan ibadah haji dil­impahkan ke PTSP yang relevan. Jadi dibedakan tadi soal ibadah dengan industri. Dalam hak per­izinan tetap di Kemenag. Hanya kami minta supaya dilakukan secara online. Kami ingin su­paya bisa mengecek secara detail daftar orang yang umroh. Lalu Kemenag kami minta tingkatkan koordinasinya dengan PTSP. Memang sebelumnya udah ada koordinasi itu, tapi secara data saja tidak sinkron.

Saran buat instansi lainnya apa?
Kepada Kemenkumham kami minta berkoordinasi dengan Kemenag terkait kelengka­pan perizinan. Misalnya ketika proses dari Kemenpar untuk menjadi PPIU, kelengkaoan­nya bagaimana. Karena kami pernah menemukan yang tidak sinkron, antara Kemenag den­gan Kemenkum HAM. Kepada Kemlu kami minta berkoordi­nasi dengan Kemenag terkait perlindungan jamaah. Terutama ketika berada di Saudi Arabia.

Lalu soal provider, kami me­nemukan kalau provider bisa memonopoli informasi tentang visa. Boleh jadi PPUI tidak bisa mengontrol siapa yang mendapatkan visa. Itu menjadi hubungan antara provider den­gan Keduataan Saudi Arabia. Kemenlu harus mengecek ini, dan ini berhubungan juga den­gan Kemenkum HAM.

Kepada Kemenkeu kami minta beri sanksi yang tegas ke­pada PPIU yang tidak memenuhi syarat, dan yang tidak membayar pajak terutama. Ini menjadi san­gat penting. ***

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Kepuasan Publik Terhadap Prabowo Bisa Turun Jika Masalah Diabaikan

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:46

Ini Alasan KPK Hentikan Kasus IUP Nikel di Konawe Utara

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:17

PLN Terus Berjuang Terangi Desa-desa Aceh yang Masih Gelap

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:13

Gempa 7,0 Magnitudo Guncang Taiwan, Kerusakan Dilaporkan Minim

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:45

Bencana Sumatera dan Penghargaan PBB

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:27

Agenda Demokrasi Masih Jadi Pekerjaan Rumah Pemerintah

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:02

Komisioner KPU Cukup 7 Orang dan Tidak Perlu Ditambah

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:45

Pemilu Myanmar Dimulai, Partai Pro-Junta Diprediksi Menang

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:39

WN China Rusuh di Indonesia Gara-gara Jokowi

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:33

IACN Ungkap Dugaan Korupsi Pinjaman Rp75 Miliar Bupati Nias Utara

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:05

Selengkapnya