Berita

Nasaruddin Umar/Net

Pancasila & Nasionalisme Indonesia (58)

Mendalami Persatuan Indonesia: Bangsa yang Plural & Heterogen

SENIN, 02 OKTOBER 2017 | 09:59 WIB | OLEH: NASARUDDIN UMAR

KATA plural dan heterogen berasal dari Bahasa Ing­gris kemudian dipopulerkan menjadi Bahasa Indonesia. Penggunaan kedua kata ser­ing rancu digunakan di dalam bahasa sehari-hari kita. Plural (pluralitas) bisa diartikan sifat dari sekumpulan kelompok nilai atau sub-kultur yang di­ikat suatu kekuatan nilai lebih tinggi yang memung­kinkan masing-masing kelompok dan subkultur itu menyatu di dalam suatu wadah kebersamaan. Se­dangkan heterogenitas sifat dari sekumpulan kel­ompok nilai atau sub-kultur yang berdiri sendiri tan­pa diikat oleh satu kesatuan nilai yang lebih tinggi. Penggunaan kata heterogen untuk menggambar­kan kondisi objektif bangsa Indonesia yang me­mang begitu majmuk juga dapat dipahami, tetapi tetap dalam koridor pluralism Indonesia.

Bangsa Indonesia lebih tepat disebut seba­gai negara plural daripada negara heterogen, karena, meskipun terdiri atas berbagai suku, et­nik, bahasa, dan agama namun tetap merupa­kan satu kesatuan budaya dan ideologis seba­gaimana tercermin di dalam motto "Bhinneka Tunggal Ika", bercerai-berai tetapi tetap satu. Segenap warga bangsa Indonesia bersepakat utnuk menghimpunkan diri di dalam satu wa­dah kesatuan yang disebut dengan Negara Ke­satuan Republik Indonesia (NKRI). Pemahaman seperti inilah yang dimaksud di dalam sila ketiga dari Pancasila, "Persatuan Indonesia".

Pluralitas Indonesia dipahami sebagai sebuah konsep kesatuan yang tersusun dari berbagai unsur keberagaman. Keberagamannya diikat oleh sebuah kesatuan yang kokoh, melalui persamaan sejarah sebagai penghuni gugusan bangsa yang pernah dijajah selama berabad-abad oleh bangsa lain, dalam hal ini Belanda dan Jepang. Kehadiran kolonialisme, setuju atau tidak, telah memberikan andil yang penting untuk menyatukan bangsa Indonesia, sebagai sesama warga bangsa yang mengalami nasib penderi­taan yang sama. Di samping persamaan seja­rah, pluralitas Indonesia juga diikat oleh kondisi objektif bangsa Indonesia sebagai suatu negara bangsa yang menjunjung tinggi azas kebersa­maan, baik kondisi objektif maupun kondisi sub­jektif. Kesatuan kebangsaan ini juga biasa diisti­lahkan dengan nasionalisme Indonesia.


Konsep Nasionalisme Indonesia adalah na­sionalisme terbuka, sebagaimana diuraikan da­lam artikel terdahulu. Di dalam UUD 1945 yang di dalamnya mengatur hak-hak azasi manusia, seperti hak berserikat, hak beragama, hak ber­budaya dan hak budaya itu sendiri, mengakui hak-hak internasional dan hak-hak kemanusiaan lainnya. Nasionalisme Indonesia bukanlah na­sionalisme tertutup dalam arti mengandalkan dan menonjolkan unsur kekuatan dalam (inner werkende gaist) seperti konsep nasionalisme Hegel yang kemudian diperkenalkan oleh Karl Marx. Adapa yang dimaksud "kekuatan dalam" menurut Hegel digunakan sebagai alat pem­bentur dengan unsur-unsur lain yang berasal dari luar dirinya. Misalnya, menolak kehadiran budaya dan aliran asing yang berbeda dengan kekuatan dalam tadi. Dialektika nasionalisme Hegel dapat dijadikan contoh nasionalisme tertu­tup, karena menganggap kekuatan dari luar se­bagai ancaman dan memperlakukannya sebagai "imigran asing" dan "imigran gelap" yang harus dimata-matai. Akibanya ketegangan konseptual selalu mewarnai ruang publik. Rezim politik par­uh pertama Orde Baru yang membentuk berba­gai perangkap pengaman nasionalisme, seperti Kopkamtib, Bakin, dan semacamnya.

Pemaknaan 'Persatuan Indonesia' dalam sila ketiga Pancasila tidak bisa difahami secara ek­lusif sebagai kekuatan tertutup yang mempro­teksi setiap nilai-nilai yang bersumber dari luar bangsa Indonesia. Nilai-nilai luar yang positif, baik nilai-nilai agama maupun budaya, asal tidak bertentangan dengan perinsip dasar nilai-nilai luhur Pancasila dapat saja diakomodasi dan diintegrasikan ke dalam nilai-nilai peradaban bangsa Indonesia.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Pidato Prabowo buat Roy Suryo: Jangan Lihat ke Belakang

Senin, 08 Desember 2025 | 12:15

UPDATE

Dituding Biang Kerok Banjir Sumatera, Saham Toba Pulp Digembok BEI

Kamis, 18 Desember 2025 | 14:13

Kapolda Metro Jaya Kukuhkan 1.000 Nelayan Jadi Mitra Keamanan Laut Kepulauan Seribu

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:56

OTT Jaksa di Banten: KPK Pastikan Sudah Berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:49

Momen Ibu-Ibu Pengungsi Agam Nyanyikan Indonesia Raya Saat Ditengok Prabowo

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:41

Pasar Kripto Bergolak: Investor Mulai Selektif dan Waspada

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:31

Pimpinan KPK Benarkan Tangkap Oknum Jaksa dalam OTT di Banten

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:21

Waspada Angin Kencang Berpotensi Terjang Perairan Jakarta

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:02

DPR: Pembelian Kampung Haji harus Akuntabel

Kamis, 18 Desember 2025 | 13:01

Target Ekonomi 8 Persen Membutuhkan Kolaborasi

Kamis, 18 Desember 2025 | 12:58

Film TIMUR Sajikan Ketegangan Operasi Militer Prabowo Subianto di Papua

Kamis, 18 Desember 2025 | 12:48

Selengkapnya