Berita

Foto/Net

Bisnis

Bank Jangan Berlindung Di Balik Persoalan Rasio Kredit Macet

Pemangkasan Repo Rate Direspons Lambat
SENIN, 02 OKTOBER 2017 | 09:38 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Industri perbankan terlihat masih ogah-ogahan memangkas suku bunga kredit. Lihat saja, secara rata-rata bunga kredit perbankan nasional masih double digit, yaitu di kisaran 11,73 persen.

 Bank Indonesia sendiri kem­bali memangkas suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate (repo rate) menjadi 4,25 persen, tetapi bank mengaku masih butuh waktu untuk membenahi rasio kredit macet (non perform­ing loan/NPL). Hal tersebut dipahami Gubernur BI Agus Martowardojo.

"Bunga kredit memang belum bisa turun lebih jauh, karena perbankan sendiri masih dalam konsolidasi. Mereka harus men­gelola kredit bermasalah yang masih dalam tekanan," kata Agus di Jakarta, akhir pekan kemarin.


Di samping itu, bank juga masih harus mengantisipasi karena Oto­ritas Jasa Keuangan (OJK) tidak melanjutkan kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit.

"Kami sudah dengar NPL meningkat. Itu adalah cerminan stimulus yang tidak diperpan­jang oleh OJK. Tapi secara umum, kami sambut baik non performing loan (NPL) netto di kisaran 1,4 persen," kata Agus.

Agus bilang, biasanya bank membutuhkan waktu satu hingga dua kuartal setelah dilakukannya penurunan suku bunga acuan oleh bank sentral. Namun pada segmen tertentu, khususnya kredit korporasi dan konsumer, sudah mengalami penurunan menjadi single digit.

"Kami harap bunga (segmen lainnya) sudah bisa terus turun, karena secara nasional masih di kisaran 11 persen. Bunga kredit itu masih sama-sama perlu dili­hat, kami yakin OJK juga terus meninjau," tutur eks menteri keuangan ini.

Lambannya penurunan suku bunga kredit perbankan menurut Ekonom dari Institute Devel­opment of Economics and Fi­nance (Indef) Bhima Yudhistira memang banyak faktor. Selain karena belum tumbuhnya pe­nyaluran kredit, masalah kredit bermasalah (NPL) memang menjadi salah satu alasannya.

"Sebenarnya, restrukturisasi kredit perbankan sudah dilaku­kan sejak awal tahun, apalagi sejak OJK melakukan relaksasi restrukturisasi kredit tersebut, harusnya perbankan sudah siap. Sehingga (NPL) jangan jadi alasan bank belum mau menu­runkan suku bunga kreditnya," sindir Bhima kala dihubungi Rakyat Merdeka.

Berdasarkan data OJK, rasio NPL diketahui memang naik 0,5 persen di Agustus 2017 menjadi 3,05 persen dari bulan sebelumnya sebesar 3 persen. Namun kata Bhima, hal itu dinilai masih wajar.

Menurut Bhima, saat ini peng­hapusan relaksasi restrukturi­sasi tidak berdampak signifikan terhadap kenaikan risiko kredit sampai akhir tahun. Apalagi mayoritas bank sudah memupuk pencadangan untuk memitigasi potensi kenaikan kredit mac­et. "Jadi sudah diantisipasi soal kredit macet ini," imbuhnya.

Bhima memproyeksi, untuk mencapai single digit suku bunga perbankan pun tak bisa dilakukan di tahun ini. "Apalagi tahun depan, belum tentu juga. Tahun depan itu tahun politik, akan banyak kondisi dalam dan luar negeri yang akan mempen­garuhi," tuturnya.

Tak hanya itu, Bhima men­catat kredit yang belum ditarik (undisbursed loan) di semester I-2017 pun masih cukup besar atau mencapai Rp 1.300 triliun. Hal itu menunjukkan, perbankan masih hati-hati dalam menyalur­kan kreditnya. Dan pelaku usaha masih melihat-lihat kondisi ekonomi yang ada saat ini.

Hal lain yang kerap menjadi alasan perbankan masih enggan menurunkan suku bunga kred­itnya juga lantaran net interest margin (pendapatan bunga) yang masih tinggi di kisaran 5 persen.

NIM perbankan Indonesia, imbuh Bhima, masih yang terbe­sar di kawasan Asia Tenggara. Hal itu menjadi salah satu ala­san mengapa banyak investor tertarik untuk berinvestasi di Indonesia.

"Itu pun menjadi kendala mengapa konsolidasi perbankan menjadi dirasa masih sulit di­lakukan di Indonesia. Jumlah bank pun yang tercatat masih banyak yaitu 115 bank. Itu artinya, konsolidasi perbankan belum membuahkan hasil yang maksimal," cetusnya.

Sebelumnya, Direktur Group Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dody Ari­efianto memproyeksikan, NPL masih akan tinggi atau berada di level 2,8-3 persen hingga akhir 2017. Dalam laporan pereko­nomian dan perbankan Agustus 2017 LPS, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kenaikan NPL di semester kedua. Salah satunya adalah keputusan OJK yang mencabut aturan relaksasi restrukturisasi kredit perbankan pada pertengahan tahun ini.

"Pencabutan aturan relaksasi restrukturisasi ini tidak mem­berikan dampak yang signifikan terhadap NPL. Karena mayoritas bank besar atau Bank Umum Kategori Usaha (BUKU) IV dengan modal inti di atas Rp 30 triliun tetap menggunakan tiga pilar dalam melakukan restruk­turisasi," ucapnya.

Tiga pilar yang dimaksud Dody adalah terkait penilaian kemampuan calon debitor dalam membayar, kondisi finansial, dan prospek bisnis suatu sektor. Sem­ula, saat OJK merelaksasi aturan restrukturisasi, dua penilaian terakhir tidak dimasukkan. Na­mun, setelah aturan tersebut di­cabut, maka penerapan kembali dua pilar terakhir diduga menjadi penyebab NPL bank sedikit men­galami kenaikan.

Namun Dody melihat, se­jumlah bank skala kecil, yang justru menilai kebijakan relak­sasi restrukturisasi kredit masih dibutuhkan dan belum perlu di­cabut. Pasalnya, kelompok bank BUKU II dan BUKU I masih mencatat kredit bermasalah yang cukup tinggi dan permintaan kredit belum membaik.

"Perbankan sebenarnya sudah mengantisipasi terkait pencabu­tan aturan relaksasi ini. Bank juga diproyeksi akan melaku­kan write off untuk mengurangi kenaikan NPL sampai akhir tahun," tuturnya.

Menanggapi ini, Direktur Uta­ma PT Bank Mayapada Interna­sional Tbk Haryono Tjahjarijadi mengatakan, sebelum pencabutan relaksasi restrukturisasi dilaku­kan, regulator pasti memiliki per­timbangan tersendiri. Sehingga seharusnya hal ini sudah diantisi­pasi dengan baik oleh bank.

"Kami meyakini pencabutan aturan tersebut tidak akan ber­dampak pada kredit bermasalah perseroan. Secara hitung-hitungan untuk Bank Mayapada tidak ada dampaknya," terangnya. ***

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Kepuasan Publik Terhadap Prabowo Bisa Turun Jika Masalah Diabaikan

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:46

Ini Alasan KPK Hentikan Kasus IUP Nikel di Konawe Utara

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:17

PLN Terus Berjuang Terangi Desa-desa Aceh yang Masih Gelap

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:13

Gempa 7,0 Magnitudo Guncang Taiwan, Kerusakan Dilaporkan Minim

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:45

Bencana Sumatera dan Penghargaan PBB

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:27

Agenda Demokrasi Masih Jadi Pekerjaan Rumah Pemerintah

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:02

Komisioner KPU Cukup 7 Orang dan Tidak Perlu Ditambah

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:45

Pemilu Myanmar Dimulai, Partai Pro-Junta Diprediksi Menang

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:39

WN China Rusuh di Indonesia Gara-gara Jokowi

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:33

IACN Ungkap Dugaan Korupsi Pinjaman Rp75 Miliar Bupati Nias Utara

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:05

Selengkapnya