Polemik rencana pengenaan biaya top up atau isi ulang uang pelastik atau e-money mendapati sorotan dari berÂbagai pihak. Salah satunya dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Ardiansyah menyampaikan, pihaknya menÂdorong Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), namun janÂgan sampai kebijakannya itu bertentangan dengan gerakan tersebut.
Dia menjelaskan, BPKN memÂberikan lima rekomendasi kepada Presiden Jokowi hingga Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution. Dalam rekomendasiitu, ia meminta isi ulang uang elektronik atau e-money gratis, sehingga tuÂjuan GNNT bisa tercapai dan masyarakat bisa merasakan sistem keuangan yang efisien dan tidak membebani. Berikut penuturan selengkapnya kepada Rakyat Merdeka:
Bagaimana sikap BPKN terhadap rencana pemerintah menerapkan pembayaran uang elektronik dalam berbagai pembayaran khususnya pada pembayaran gerbang tol?
BPKN mendukung Gerakan Nasional Non-Tunai namun tindakan penerapan kebijakan BIsebagaimana tertuang dalam PADG Nomor 19/10/PADG/2017 Tanggal 20 September 2017 mengenai pembebanan biaya untuk isi ulang uang elektronik kepada konsumen kurang tepat.
BPKN mendukung Gerakan Nasional Non-Tunai namun tindakan penerapan kebijakan BIsebagaimana tertuang dalam PADG Nomor 19/10/PADG/2017 Tanggal 20 September 2017 mengenai pembebanan biaya untuk isi ulang uang elektronik kepada konsumen kurang tepat.
Alasannya apa? Kebijakan BI (Bank Indonesia) ini tidak sejalan dengan tujuan naÂsional GNNT dan jelas tidak adil bagi konsumen. Substansi terseÂbut cenderung mengedepankan kepentingan dunia usaha perÂbankan. Kebijakan BItersebut menyebabkan ketidakadilan bagi sebagian konsumen, khususÂnya masyarakat yang mengisi ulang di atas Rp 200.000 pada bank/lembaga penerbit atau mengisi ulang pada merchant atau bank/lembaga non penerbit. Konsumen seharusnya mendapat insentif dan bukan disinsentif dalam pelaksanaan program
cashless society. Seharusnya beban dari penguÂnaan uang elektronik tidak dibeÂbankan kepada konsumen, justru sebaliknya pemerintah memÂberikan kemudahan-kemudahan dan pilihan kepada konsumen. Program pembayaran non tunai harus dijalankan dengan tidak mengurangi nilai dana yang dimiliki konsumen dibandingÂkan dengan transaksi tunai. Harus dipahami bahwa program transaksi elektronik sendiri sudah memberikan banyak keÂuntungan, baik bagi pemerintah, perbankan, dan penyedia barang dan jasa. Melalui rekomendasi yang disampaikan BPKN keÂpada Gubernur BI.
Apa saja rekomendasi yang disampaikan BPKN kepada Gubernur BI? Kebijakan yang terkait e-money perlu mempunyai daya jangkau terapan jauh ke depan. Maksud kami ini kebijakannya jangan sampai baru dimulai lalu ada perubahan lagi. Pemahamannya adalah kita tidak boleh membatasi teknologi kan. Kemudian yang kedua, kebijakan e-money perlu mengarah kepada efisiensi dan kepraktisan sebaÂgai alat transaksi masyarakat, termasuk integrasinya dengan kartu-kartu lain yang berfungsi sejenis.
Lalu yang ketiga terkait dengan pengaturan top-up e-money, diÂharapkan konsumen tetap memiÂliki alternatif akses pada top-up tidak berbayar dan berbayar.
Maksudnya bagaimana itu? Ya kiranya itu harus memÂpetimbangkan agar masyarakat tidak dibebani dengan biaya isi ulang dilakukan pada bank, lembaga penerbit, dan/atau afiliÂasinya. Nah itu sudah jadi kebiÂjakan BI, kalau di top up di bank penerbit atau lembaga penerbit tidak lebih dari Rp 200 ribu kan bebas, namun kalau lebih dari Rp 200 ribu maka dikenakan biaya Rp 250 untuk sekali top up. Itu landasannya karena 96 persen orang top up di bawah Rp 200 ribu, nah kalau sisanya tingÂgal empat persen lalu dikenakan biaya itu, ya mending dibebasin saja sekalian biaya top up itu.
Bagaimana dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang jika diberÂlakukan uang elektronik ini? Nah pada setiap transaksi di wilayah NKRI, konsumen terjaÂmin tetap memiliki akses pemÂbayaran tunai, sesuai Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang masih berlaku. Artinya, setiap orang dilarang menolak pembayaran tunai rupiah.
Terkait dengan implementasi e-money dalam pelayanan jasa tol. Nah kami merekomendasikan harus dimungkinkan pembayaran cash itu harus tetap ada, karena kalau ditolak itu ya melanggar undang-undang. Teknis, impleÂmentasi diserahkan saja kepada pengatur.
Kemudian rekomendasi yang kelima semua bentuk pengaturan mengedepankan kepentingan dan keadilan bagi konsumen, termasuk pengaturan aplikasi uang elektronik pada transaksi jasa jalan tol.
Bukankah seharusnya konÂsumen itu mendapatkan keunÂtungan dari 'e-money' karena sudah menanmkan uangnya. Sekarang justru dikenakan biaya? Betul. Tapi BPKN tidak memÂbahas sampai sana lah ya. Tapi begini, seharusnya ini supaya gerakan nasional non tunai ini memasyarakat, khususnya bagi mereka yang jarang mengakses lembaga pembayaran formal, nah ini kan diperkenalkan suÂpaya masyarakat mengenal. Ini kan akses masyarakat terhadap perbankan meningkat. E-money kan sebenarnya uang cash naÂmun diubah dalam bentuk kartu atau chip itu. Jadi jika kartu ada hilang, ya seperti uang anda tercecer saja.
Kemungkinan konsumen e-money dapat bunga seperti produk keuangan lainnya? Kalau (e-money) itu kan uangÂnya harus standby terus, karena penggunaannya atau transakÂsinya kan cepat, jadi memang berbeda dengan tabungan atau lainnya yang bisa digunakan sebagai dana pihak ketiga yang jangkanya lebih panjang. Namun kalau dia (bank) menggunakan uang di e-money untuk memÂbiyai sesuatu, khawatirnya dia tidak siap kalau pemilik kartu akan menggunakan. ***