Dadan S Suharmawijaya/Net
Polemik uang elektronik masih terus bergulir. Kemarin Ombudsman RI telah memanggil perwakilan Bank Indonesia, perbankan, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) terkait dengan beberaÂpa laporan mengenai biaya isi ulang dan elektronifikasi pembayaran jalan tol.
Hal itu merupakan tindak lanjut atas laporan pengacara kawakan David Tobing. Beberapa waktu lalu David melaporkan Gubernur BI Agus Martowardojo atas duÂgaan maladministrasi, atas terÂbitnya aturan yang mengizinkan bank memungut biaya top up e-money.
Berikut penuturan lengkap Komisioner Ombudsman, Dadan S Suharmawijaya terkait hasil pertemuan tertutup itu.
Apa saja yang dibicarakan dalam pertemuan tadi? Kami tadi mengidentifikasi beberapa isu. Tapi intinya ada dua isu utama, yaitu terkait dengan payung hukum atas kebijalan ini, kemudian juga latar belakang kebijakan ini dikeluarkan. Memang tadi tidak ada kesimpulan utuh atas isu ini. Tetapi ada satu kesimpulan yang menjadi pandangan bersama dari seluruh pihak yang diundang, yaitu gerakan non tunai ini menÂjadi concern bersama. Namun kami juga ingin bahwa kebijakan ini tidak hanya untuk kepentinÂgan masyarakat mayoritas, tapi harus juga ada unsur afirmatif yang mengakomodasi sebagian kecil lapisan masyarakat, yang masih ingin menggunakan uang tunai.
Terkait hal itu BI masih bersiÂkukuh bahwa uang dalam persÂfektif undang-undang tentang mata uang, dan undang-undang tentang BI yang dimaksud denÂgan uang ada yang berbentuk fisik, dan ada dalam bentuk yang lain. Tapi persfektif itu tentu akan kami telaah juga. Pada prinsipnya sih kami ingin di lapangan yang menggunakan uang tunai itu tidak ditutup sama sekali.
Adapun pilihan masyarakat dalam menggunakan tunai dan non tunai kami inginnya berÂdasarkan kesadaran, bukan atas pemaksaan karena diblokir sama sekali nontunainya.
Apa tanggapan mereka atas keinginan Ombudsman? Dari Kementerian PUPR dan BPJT tadi menyatakan pihaknya akan menyediakan sarana untuk masyarakat yang tetap mengÂgunakan uang tunai. Nanti dari 10 pintu tol, akan disisakan satu gerbang untuk melayani transaksi tunai. Meskipun satu itu akan berjubel orang sehingga akan mengalir ke sembilan pintu yang non tunai, tapi itu kan beÂralihnya bukan karena diblok sama sekali. Dari BPJT sudah memikirkan itu, sehingga diregÂulasinya mereka tetap memperÂtahankan ketentuan pembayaran tunai ini.
Kalau pembahasan terkait tarif top up bagaimana? Kami belum masuk ke besaran tarif. Karena besaran tarif itu sebetulnya ada dua bandulnya, yaitu 0 rupiah, dan di atas Rp 750 itu. Kalau dari sisi ituÂnya kami tadi hitung-hitungan tentang biaya itu muncul dari mana, cuma tadi beberapa bank menyampaikan bahwa biaya itu sebetulnya untuk infrastruktur.
Tapi dari diskusi ini sebetulnya kami menemukan kalau frekueÂnsi penggunaan kartu ternyata 90 persen yang top up itu di bawah Rp 200 ribu. Bahkan menurut BCA60 persen top up yang ada di dia itu di bawah Rp 20 ribu. Artinya, publik secara keseluruÂhan sebetulnya kena nol persen biaya top up.
Kalau begitu kenapa tidak digratiskan saja sekalian? Tidak semudah itu. Regulasi ini kan dibuat untuk mengakoÂmodasi perbankan yang ingin masuk di e-money ini juga. Jadi kalau tidak ada regulasiini, tidak disediakan ruang ini nanti akan menyebabkan bisnis oligarki, cuma bank besar saja yang bisa bermain. Padahal yang lain juga harusnya diberi kesempatan. Karena kan kondisinya beda antara bank yang sudah gede di bisnis ini dengan yang belum. Makanya disediakan ruang unÂtuk itu.
Berdasarkan perhitungan pihak bank, sebetulnya biaya top up ini bisa dihilangkan enggak sih? Memungkinkan dari sisi prakÂtek di lapangan. Karena dari tarif Rp 750 itu masih mungkin diperÂkecil, bahkan sampai nol. Itu BI sendiri yang menyampaikan. Menurut mereka pada dasarnya mereka hanya menyediakan ruang. Pada akhirnya terganÂtung dari si bank ini sendiri, dia memanfaatkan ruang ini atau tidak. Kalau mereka mau mengÂgratiskan, artinya di atas Rp 200 ribu juga tidak dikenakan biaya top up bisa saja.
Bank enggak salah kalau begitu? Enggak, BI kan hanya meÂnyediakan ruang. Ini digratiskan bisa. Tapi ada biaya infrastruktur dan sebagainya. Dimanfaatkan atau tidak terserah kepada bank masing-masing.
Apakah sudah ada dugaan maladministrasi terkait ketenÂtuan top up ini? Saat ini sepertinya belum ada. Kami kan tidak bisa hanya melihat aspek hukumnya, tetapi juga melihat dari aspek sosiÂologis masyarakat. Jadi kalau memang tidak ada kebijakan afirmatif atas hal ini, berarti kebijakan ini tidak seluruhnya untuk masyarakat Indonesia. Hanya untuk mayoritas. Padahal kebijakan yang diambil harusnya bisa mengayomi seluruh lapisan masyarakat. ***