Berita

Mahfud MD/Net

Wawancara

Mahfud MD: Pemilihan Langsung Itu Biayanya Mahal, Politik Uang Secara Masif Tak Bisa Dihindari

SENIN, 25 SEPTEMBER 2017 | 11:24 WIB | HARIAN RAKYAT MERDEKA

Baru-baru ini Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat melontarkan wacana agar ke depannya Gubernur Jakarta dipilih oleh DPRD saja, tak perlu dipilih langsung.

Alasannya, menurut Djarot, jika Gubernur Jakarta dipilih langsung banyak menimbulkan kerawanan-kerawanan sosial dan politik.

Berikut pernyataan Mahfud MD, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, kepada Rakyat Merdeka, menanggapi usulan Djarot itu:


Bagaimana pandangan Anda menanggapi usulan Gubernur DKI Jakarta yang menginginkan agar ke depan­nya gubernur Jakarta dipilih oleh DPRD saja, bukan mela­lui pemilihan langsung?
Oh bisa saja itu kalau undang-undangnya itu diubah. Itu kan hanya keputusan politik saja untuk dijadikan keputusan hu­kum.

Kalau alasannya dikarena­kan melihat pemilihan guber­nur yang dinilai banyak terjadi keributan dan kegaduhan?
Ya itu kan putusan politik ya, tapi kalau misalnya itu dijadikan alasan dan diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ya bisa sajalah. Keputusan politik saja, kalau misalnya undang-undangnya mau diubah lalu para politisinya memang mau mengubahnya, ya maka jadi aturan tersebut. Begitu saja, kan hukum hanya begitu saja.

Memang selain dari penilaian politik, apa alasan lainnya sehing­ga pemilihan gubernur Jakarta bisa dipilih oleh DPRD?

Faktor lain itu tetap meli­hat faktor politik juga. Faktor agama, faktor antropologi, fak­tor sosial, faktor budaya, itu ke­tika akan menentukan perubahan undang-undang yang mengubah cara pemilihan, maka itu diubah dengan politik kan, yaitu pem­buat undang-undang. Silakan saja kalau mau.

Tapi kan selama ini pemili­han gubernur Jakarta sudah menerapkan sistem pemilihan langsung oleh rakyat, apa itu tidak akan menghilangkan sistem demokrasi yang sudah berjalan selama ini?
Kalau saya sih secara sosi­ologis, secara umum kalau di Indonesia itu saya lebih setuju kalau dipilih oleh DPRD.

Alasan Anda lebih setuju semua daerah dipilih oleh DPRD apa?

Ya karena untuk menghindari money politic yang masif. Ya kan selama ini pemilihan itu kan biayanya mahal, pemilihan langsung apalagi. Bayar ke rakyat pakai amplop, membayar partai, membayar juru kampa­nye. Kalau misalnya pemimpin dipilih oleh DPRD, maka yang terlibat itu hanya sedikit kan. Misalnya juga kalau ada yang memakai uang atau money poli­tic, itu kan masih bisa diawasi. Misalnya saja itu DPRD tingkat II, kira-kira ada 50 orang, itu kan bisa diawasi.

Kalaupun seumpamanya bob­ol, itu kan jumlahnya sedikit dibandingkan dengan pemili­han langsung oleh rakyat yang money politic-nya langsung ke rakyat. Tapi kan kalau sekarang simbol-simbol masyarakat­nya juga massif terlibat dalam money politic juga, sudah terli­bat semua. Itu secara sosiologis menurut saya, tapi kan banyak orang yang tidak setuju.

Sehingga waktu itu undang-undang yang telah ditetapkan itu dibatalkan oleh Pak SBY oleh Perppu.

Tapi menurut saya kalau untuk Jakarta justru bagus jika diterapkan pemilihan langsung oleh rakyat dibandingkan den­gan dipilih oleh DPRD.

Kenapa Jakarta lebih baik diterapkan pemilihan secara langsung?
Ya karena kan masyarakat Jakarta itu hampir semua sudah melek informasi, kelas menen­gahnya banyak, jadi ya kalau ada pihak yang ingin main-main den­gan cara money politic ya nggak mempan. Lebih demokratislah kalau untuk Jakarta, Surabaya, Medan.

Kalau di kota-kota besar itu pemilihan walikota bisa saja dengan cara langsung. Tapi ka­lau untuk kabupaten-kabupaten terpencil ya menurut saya lebih baik dipilih oleh DPRD saja. Jadi pemilihannya itu asimetris. Artinya dibeda-bedakan pemi­lihannya disesuaikan dengan kondisi sosiologisnya.

Tetapi tetap itu semua tergan­tung kepada politiklah. Kalau Jakarta kan sudah terdidik, jadi agak sulitlah kalau ada money politic.

Bagaimana jika alasannya itu karena melihat jalannya pilgub Jakarta dinilai hanya menimbulkan kegaduhan?
Itu kan bukan Jakartanya, tapi karena media sosialnya dari mana saja. Medsosnya itu dari Australia, dari Amerika, dari Timur Tengah, itu ikut semua dalam pilgub, tapi bukan karena Jakartanya.

Pasukan media sosialnya itu kan dari seluruh Indonesia, dari berbagai daerah. Jadi bukan masalah kegaduhan yang terjadi di Pilgub DKI Jakartanya. ***

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Kepuasan Publik Terhadap Prabowo Bisa Turun Jika Masalah Diabaikan

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:46

Ini Alasan KPK Hentikan Kasus IUP Nikel di Konawe Utara

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:17

PLN Terus Berjuang Terangi Desa-desa Aceh yang Masih Gelap

Minggu, 28 Desember 2025 | 13:13

Gempa 7,0 Magnitudo Guncang Taiwan, Kerusakan Dilaporkan Minim

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:45

Bencana Sumatera dan Penghargaan PBB

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:27

Agenda Demokrasi Masih Jadi Pekerjaan Rumah Pemerintah

Minggu, 28 Desember 2025 | 12:02

Komisioner KPU Cukup 7 Orang dan Tidak Perlu Ditambah

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:45

Pemilu Myanmar Dimulai, Partai Pro-Junta Diprediksi Menang

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:39

WN China Rusuh di Indonesia Gara-gara Jokowi

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:33

IACN Ungkap Dugaan Korupsi Pinjaman Rp75 Miliar Bupati Nias Utara

Minggu, 28 Desember 2025 | 11:05

Selengkapnya