Jajang masih ingat betul prosespembuatan film G30S-PKI. Dia mengungkapkan, seÂlama proses pembuatan pemerintah sama sekali tidak mengintervensi. Sayangnya, memang diakui Jajang, dalam proses riset, suaminya kesulitan untuk mendapatkan data dari keluarga atau pun pihak-pihak yang terkait dengan PKI. Dia bilang, saat itu para pelaku sejaÂrah dari unsur PKI tak ada yang berani mengungkapnya. Berikut penuturan lengkap Jajang C Noer;
Tanggapan Anda terkait peÂmutaran kembali film G30S-PKI karya almarhum suami Anda?
Tentunya saya senang sekali, karena memang target film itu, mesti saya tekankan sekali lagi supaya kita mengerti bahwa PKI tidak benar. Ya, kalau mau dikatakan jahat. Supaya kita membenci PKI karena apa yang telah mereka lakukan.
Tapi keluarga dan pelaku sejarah eks PKI banyak yang menilai isi film itu tidak beÂnar?
Tapi keluarga dan pelaku sejarah eks PKI banyak yang menilai isi film itu tidak beÂnar?
Untuk membuat film ini, Mas Arifin melakukan riset yang menÂdalam. Syutingnya saja hampir 2 tahun, kami alami dua kali lebaÂran, mulai dari casting sampai riset. Untuk membuat film ini biaya yang dihabiskan itu sampai Rp 800 juta, dan itu bukan jumlah yang kecil pada saat itu.
Produksinya lama sekali, karena apa itu?Karena riset dan castingnya. Sulit mencari yang mau menÂjelaskan situasi sesungguhnya saat itu. Lalu untuk mendapatÂkan para pemain yang berperan dalam filmnya juga butuh waktu lama. Sampai-sampai kami menyiapkan asisten yang setiap hari Jumat menunggu di masjid, dan ada juga asisten yang setiap hari Minggu menunggu di gereja untuk mendapatkan pemeran yang tepat.
Bagaimana sih awal ceriÂtanya sehingga suami Anda memiliki ide untuk membuat film itu?Awalnya itu G Dwipayana (pimpinan Perusahaan Film Nasional/PFN), mau memÂbangkitkan PFN menjadi pusat produksi film nasional. Dia tanya sama Mas Gun (Goenawan Muhammad), siapa sutradara andal. Mas Gun jawab, Arifin C Noer dan Teguh Karya.
Saat itu, belum tercetus film G30S/PKI, tetapi film Harmonika itu film untuk anak-anak. Lalu keÂmudian berubah jadi film G30S/PKI itu. Awalnya ya tidak setuju, karena film sejarah itu selalu berat dan harus detail. Tapi keÂmudian karena cintanya kepada bangsa, dia pun bersedia. Dia mau film ini jadi data sejarah bagi generasi selanjutnya.
Lalu?Karena ini film sejarah, maka direkrutlah sejarawan Nugroho Notosusanto. Setelah itu data diÂkumpulkan, dan dibuat skenario awal. Mas Arifin lalu mengolah dan buat skenario, semua
pure berdasarkan data yang kami kumpulkan saat itu.
Saya perlu tekankan demikiÂan, ada data yang mengatakan penyiksaaan kepada jenderal seperti mata dicungkil, (maaf) penis dipotong, tapi karena Mas Arifin tak percaya, ya dia hanya buat itu menjadi berdarah-darah. Kemudian jadilah film yang ada saat ini.
Dalam pembuatannya semÂpat ada intervensi dari pemerintah?Tidak ada. Dia itu orang yang tidak bisa diatur, jadi tidak ada intervensi sama sekali. Begitu skenario selesai dan dibaca Pak Harto, Mas Arifin jalan sendiri. Secara estetis dia tidak ada diatur siapapun. Kalau ada tentara di sekitar kami itu untuk amankan kami. Karena ini kan proyek negara dan masalah sensitif.
Meski Anda mengatakan tidak ada intervensi, tapi banÂyak yang menganggap film ini sebagai alat propaganda Orba?Bahwa itu dikatakan propaÂganda Soeharto, ya apa boleh buat. Kan itu memang dia ada di situ, dan bahkan dia yang danai film itu juga kan. Yang dia (Arifin) tidak sangka adalah akan ada pemutaran setiap 30 September dan menjadi film waÂjib untuk anak sekolah. Soalnya sepengetahuan dia film ini hanya akan jadi arsip nasional.
Presiden minta film ini dibuat ulang?Senang dong, biar jangan nyalahin film saya terus. Setiap tahun saya dihadapkan ada yang bilang Mas Arifin bohong, Mas Arifin penghianat bangÂsa. Padahal film yang Mas Arifin buat sudah berdasarkan pada penelusuran dan wawancara anggota PKI. Jadi kalau ada film baru saya terbebas kan. ***