Istri Arifin C Noer, Jajang C Noer membeberkan awal mula pengarapan film G30S PKI yang disutradarai oleh sang suami. Mulai dari data yang minim, panjangnya pengambilan gambar di tiap-tiap adegan di rumah para jenderal hingga sulitnya mencari aktor pemeran Soekarno dan Aidit.
Awalnya, jauh sebelum menggarap film G30S PKI, Arifin diminta oleh Gurfan Dwipayana selaku Direktur Perum Produksi Film Negara (PPFN) untuk menyutradarai film Harmonikaku yang dirilis pada tahun 1979. Ditahun yang Gurfan kembali mempercayakan Arifin untuk menggarap film Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa.
"Jadi waktu itu pak Dwi ingin membangkitkan film nasional, dia tanya ke Gunawan Muhammad, siapa sutradara yang bisa, pilihannya ada dua Teguh Karya dan Arifin C Noer, dan pak Dwi memilih Arifin, tetapi itu untuk film Harmonikaku," ujar Jajang diskusi dengan topik 'Tentang Film Itu..' dikawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (23/9).
Jajang menambahkan, setelah melihat kedua hasil film yang sutradarai Arifin, Dwi kembali meminta Arifin untuk mengarap film G30S PKI. Menurut Jajang, sang suami sempat berdiskusi dengan dirinya dan rekan kerja sebelum memutuskan ajakan Dwi. Dengan segala pertimbangan Arifin menerima ajak Dwi.
"Buat film biasa aja itu berat apalagi buat film sejarah. Jadi musti detail. Petimbangan kenapa mau membuat karena ini untuk bangsa targetnya. Dengan cintanya kepada bangsa film ini menjadi bahan sejarah untuk generasi berikutnya," ujar Jajang.
Lebih lanjut, Jajang mengaku mengalami kesulitan dalam mencari data untuk menggarap film yang berdurasi hampir empat jam itu. Apalagi saat itu, data mengenai gerakan PKI sangat minim. Tentu film yang ada sekarang ini merupakan data yang ada pada waktu itu yang kebanyakan dari pihak TNI.
Menurutnya, butuh waktu dua tahun untuk menggarap film tersebut. Bahkan untuk pengambilan gambar di lubang buaya, pihaknya harus menghabiskan waktu dua minggu. Sementara pengambilan gambar di kediaman masing-masing jenderal yang diculik memakan waktu seminggu.
"Kami mengalami dua kali lebaran, dari mulai kebon karet di lubang buaya tidak berdaun sampai berdaun, sampai tidak berdaun lagi," ujar Jajang.
Jajang menjelaskan dalam pembuatan film tersebut sang suami sangat detail melihat setiap setiap scene yang diambil. Terlebih mengenai adegan penyiksaan tujuh jenderal.
Saat itu, kata Jajang, Arifin mendapat data tujuh jenderal disiksa dengan keji. Mulai dari dicongkelnya bola mata hingga pemotongan alat kelamin. Namun Arifin tidak memasukkan adegan tersebut. Arifin hanya menseting gambar seolah-olah para jenderal tersebut disiksa.
"Karena itu ada darah-darah, seolah-olah ada penyiksaan, tetapi dia tidak percaya mata itu bisa dicongkel dan penis dipotong. Karena dia tidak percaya jadi tidak ada adegannya," ungkap Jajang.
Terkait pemilihan aktor, Jajang mengaku mendapat kesulitan. Apalagi aktor yang cocok memerankan Presiden pertama Soekarno dan DN Aidit.
Menurut Jajang, ada aktor yang mirip secara fisik dengan Bung Karno tetapi tidak memiliki karakter, begitu juga dengan aktor yang memerankan DN Aidit. Meski secara fisik mirip namun aktor yang didapat tidak menggambarkan kecerdasan seorang Aidit.
"Dedi Mizwar ingin jadi Bung Karno, tetapi dia terlalu muda dipilihlah Umar Kayam. Mencari aktor untuk berperan sebagai Adit itu juga sulit, karena walaupun tampang begitu harus yang pintar mesti kelihatan bahwa ada sebuah kepintaran. Jadi pusinglah kami mencarinya akhirnya Syubah Asa," demikian Jajang.
[san]