Langkah Bank Indonesia (BI) yang akan mengatur biaya isi ulang (top up) uang elektronik alias e-money sangat tidak tepat.‎ Kebijakan itu akan berbenturan dengan gerakan nontunai yang digalakkan pemerintah.
Demikian disampaikan peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara. Menurutnya, kebijakan BI juga menjadi sangat kontradiktif dengan pelaksanaan elektronifikasi pembayaran jalan tol.
"Di satu sisi menyuruh masyarakat memakai e-money dan mendorong gerakan nontunai, tapi justru dikenakan pungutan. Ini jelas disinsentif bagi nasabah e-money, khususnya masyarakat pengguna jasa transportasi umum dan tol," ujar Bhima saat dihubungi., Rabu (20/9).
Biaya isi ulang e-money dikhawatirkannya membuat masyarakat kembali ke cara tunai dalam bertransaksi. Ia mengkritik bank sebagai penyedia kartu e-money yang sebetulnya sudah mendapat untung tanpa harus mengenakan biaya isi ulang e-money.‎‎
"Dari awal masyarakat sudah bayar kartu e-money. Beli perdana Rp 50 ribu, dapat saldo Rp 30 ribu, harga kartu Rp 20 ribu. Uang hasil penjualan kartu sebenarnya tercatat sebagai fee based income bank. Harusnya dengan keuntungan dari penjualan kartu perdana tidak perlu lagi memungut fee topup," jelasnya. ‎
Ia mencontohkan octopus card di Hong Kong. Biaya perawatan mesin EDC dan investasi infrastruktur ditanggung perusahaan penerbit kartu dan operator jasa transportasi publik. Bahkan dengan sharing cost tersebut, si konsumen bisa dapat potongan harga. Insentif ini yang membuat 95 persen penduduk Hong Kong menggunakan octopus card.
"Dalam konteks Indonesia, sharing cost ini bisa dilakukan antara bank penerbit kartu, jasa penyelenggara jalan tol dan merchant penyedia top up. Jadi kalau kebijakan tarif ini tetap dilakukan, masyarakat kembali lagi pakai uang cash. Kecuali di tol karena terpaksa," tegasnya.
‎
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso, menyatakan bahwa besaran biaya suatu produk keuangan sebaiknya diserahkan ke industri. Tetapi, dia meminta agar masyarakat tidak dirugikan dengan penetapan biaya tersebut..
‎"Kalau masyarakat dirugikan, misalnya fee terlalu besar dan tidak masuk akal, ya otoritas akan melindungi masyarakat," tegas Wimboh.‎
[ald]